BRICS: Jalan Lama Yang Harus Ditempuh Kembali

Sebelum kita bicarakan tema diskusi “Untung Rugi BRICS: Indonesia?”, saya ingin menyampaikan bahwa BRICS ini merupakan cerminan politik internasional yang sama halnya dengan semua politik yakni perebutan kekuasaan.

Apa pun tujuan akhir kekuatan politik, kekuasaan selalu merupakan salah satu tujuan. Suatu negara dan rakyatnya dapat berusaha memperoleh kemerdekaan, keamanan, kemakmuran ataupun kekuasaan itu sendiri dan cita-citanya akan terwujud melalui kekuatan yang ada dalam diri atau melalui cara-cara non politik seperti kerjasama seperti BRICS ini.

BRICS dicetuskan oleh ekonom Jim O’Neill di tahun 2001 yang tertarik atas pertumbuhan ekonomi Brasil, Rusia, India dan China dengan tujuan untuk memberikan pandangan optimis kepada para investor di tengah keraguan pasar setelah serangan teroris di Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001. Awal bergabungnya (2003 sampai 2008) negara anggota BRICS mencatat pertumbuhan ekonomi rata-rata delapan persen per tahun dalam artian negara yang tergabung dalam BRICS punya komitmen menjaga ekonomi dunia dan mendongkraknya untuk terus tumbuh dengan wajah segar dan baru.

Yang menarik: ada beberapa hal yang dikuasai oleh negara yang tergabung dalam BRICS, mulai dari teritorial: menguasai seperempat tanah dunia, 40 persen penduduk dunia dan 18 persen ekonomi dunia hingga memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi dunia 32,1 persen. Tidak seperti negara-negara yang tergabung dalam G7 seperti Amerika Serikat, Britania Raya, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, dan Prancis dan di dalamnya Uni Eropa yang hanya mampu tumbuh 29, 9 persen di tahun 2023 (laporan Bloomberg). Inilah basis perkiraan BRICS di tahun 2028 akan mencapai 35 persen dalam pertumbuhan ekonomi, sementara negara-negara G7 hanya 27,8 persen. Artinya bahwa ekonomi dunia akan terpusat di sekitar 20 negara dan setengahnya di pegang BRICS. Langkah memasukkan Afrika Selatan secara politik sangat penting mengingat negara termaju di Benua Afrika ini sangat menjanjikan sebagai pemasok energi, bahan tambang, dan bahan pangan di masa depan.

Kegagalan Kapitalisme

Sesungguhnya kemunculan BRICS sebagai kekuatan dunia tidak lepas dari dinamika Kapitalisme. Gerak modal (kapital) selalu melekat kontradiksi dengan semua hukum sebelumnya yang meliputi sifat komoditi, nilai, uang bahkan sifat dalam peredaraannya yang mengharuskan untuk terus berkembang (global) hingga tersentral atau melahirkan Unipolar.

Posisi BRICS haruslah kita melihatnya sebagai juru bicara dari negara-negara berkembang dalam menyuarakan dan melaksanakan demokrasi (kesetaraan) ekonomi dan keuangan internasional. Organisasi dunia seperti Bank Dunia, IMF yang dikendalikan Amerika Serikat membelenggu, menghambat negara untuk berkembang. Wajar negara-negara yang tergabung dalam BRICS bersepakat membangun Bank Pembangunan Baru atau New Development Bank (NDB) sebagai lawan tanding dari IMF maupun Bank Dunia.

Kita bisa menyimak siaran beberapa media atas kemajuan negara-negara yang tergabung dalam BRICS seperti Brazil yang mengalami pertumbuhan positif karena melalukan kombinasi perkembangan industri yang kuat dengan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA). Begitu juga dengan India: angka pertumbuhan 6, 8 persen, sementara Rusia sebesar 3,2%, melebihi tingkat pertumbuhan yang diharapkan. Meskipun China hanya mampu dengan pertumbuhan 4,7 persen di kwartal kedua tahun 2024 tidak tembus seperti yang diperkirakan yakni 5,1 persen, namun tetap lebih unggul jika dibandingkan dengan Amerika Serikat menurut IMF di angka 2,7 persen, Inggris 0,5%, Jerman 0,2%, dan Prancis 0,7%.

Menempuh Jalan Lama

Perbaikan tatanan dunia lewat gagasan BRICS sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia (baru) yang sedang berkembang, terus bergerak keluar mengajak negara-negara yang senasib keluar dari hegemoni Amerika Serikat, merupakan jalan lama bagi Indonesia menuju dunia baru yang tertutup akibat pertentangan kekuatan ekonomi politik pasca Perang Dunia kedua saat itu.

Presiden pertama Republik Indonesia Bung Karno menegaskan di dua momentum yakni 1). Konferensi Asia-Afrika pada 1955, mencetukan Dasa Sila Bandung, 2). Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 30 September 1960 tentang Membangun Dunia Kembali, yang secara umum mencerminkan nilai Pancasila dan UUD 1945 (pembukaan) yang menghendaki memajukan perdamaian dunia, non-agresi, non-intervensi dalam urusan internal negara (kedaulatan), kesetaraan, saling menguntungkan sehingga hidup berdampingan secara damai.

Presiden Joko Widodo saat menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS di Johannesburg, pada 24 Agustus 2023 menyebutkan: “Segala tindak diskriminasi terhadap upaya kemajuan negara-negara berkembang harus dihilangkan dan kerja sama yang setara dan inklusif harus terus disuarakan. Diskriminasi perdagangan harus kita tolak. Hilirisasi industri tidak boleh dihalangi. Kita semuanya harus terus menyuarakan kerja sama yang setara dan inklusif.”

Hal ini secara hakikat sejalan dengan gagasan para pendiri bangsa. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto Presiden terpilih hasil PEMILU 2024 tegas mengatakan : “Tak perlu ada gerakan non-blok seperti zaman dahulu. Dia menekankan yang paling penting ada langkah konkret dari Indonesia di tengah persaingan geopolitik dan ekonomi global saat ini.”

Sikap dua tokoh Indonesia di atas cukup sebagai basis kita memberikan dukungan agar pemerintahan ke depan masuk dan terlibat aktif dalam BRICS mengikuti beberapa negara yang telah bergabung seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Iran, Ethiopia, Mesir, dan Argentina, sebagai topangan internasional mewujudkan Indonesia Emas tahun 2045 yang dijalankan dengan dua strategi besar yakni mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia dan melakukan hilirisasi (industrialisasi nasional) seperti yang telah dilakukan Brazil.

Jakarta, 18 Juli 2024

Penulis : Ahmad Rifai (Waketum DPP PRIMA)

*Catatan: Tulisan ini dengan beberapa tambahan merupakan pandangan yang telah disampaikan dalam Diskusi Geopolitik Seri III dengan tema: “Untung-Rugi BRICS: Indonesia?”, yang diselenggarakan Berdikari Online, bekerja sama dengan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Jumat, 19 Juli 2024 di Jakarta.

[post-views]