Modernisme memang menjanjikan hal-hal muluk menggiurkan yang banyak melahirkan, ibaratkan, sampan-sampan yang akan membawa kita melaut dan menggapai pulau-pulau yang yang dalam bayangan kita elok. Semangat berkemajuan dan ikhtiar untuk menjalankannya, ironisnya, sering dibeli dengan mengenyampingkan modal-modal yang pernah memberikannya ruang untuk tumbuh.
Taruhlah kisah Mustafa Kemal Attaturk di Turki, demi apa yang dibayangkan, pernah menerapkan salah satu anak kandung modernisme atau “berkemajuanisme,” sekularisme, dengan cara yang gigih dan gagah, seperti halnya kepala regu berbaris yang dengan lantang dan sigap merapikan barisannya.
“Leader,” adalah sosok yang memang banyak dilahirkan dari situasi-situasi yang dianggap kurang greget atau situasi-situasi yang dianggap kurang memuaskan atau mengecewakan dalam menggapai impian. Kemal Attaturk, dalam bayangan kita, sudah pasti adalah seperti kepala regu sebuah barisan, yang jelas mengharamkan apapun yang berpotensi merusak barisan, dan bahkan tujuan dari baris-berbaris itu.
Di tengah situasi yang ingin serba rapi seperti baris-berbaris di Turki, muncullah seorang sufi, yang percaya bahwa iman itu tak dapat dikerangkeng, yang melakukan hal-hal yang haram dalam sekularisme: melantunkan adzan di ruang-ruang publik.
Sufi itu bernama Nadzim al-Haqqani, yang dalam catatan sejarah, akhirnya menumbangkan sekularisme hanya dengan melantunkan adzan di masjid-masjid Siprus. Sebab, setelah pemerintahan bergulir, presiden terpilih membuka kembali ruang-ruang yang pernah dianggap tak relevan bagi tujuan dari sekularisme.
Latar-belakang agama jelas bukanlah menjadi hal yang penting bagi saya dalam kisah tumbangnya kepemimpinan yang gagah Kemal Attaturk dan iman yang bersayap sang Haqqani. Yang menjadi penting, dalam kisah di atas, adalah bagaimana dan sejauh mana baris-berbaris, yang jelas-jelas membutuhkan keterpimpinan, memengaruhi sebuah kehidupan.
Dari proses keterpilihan pasangan Prabowo-Gibran pada pilpres 2024 yang lalu, kita semua paham, bahwa tak ada proses baris-berbaris di dalamnya. Bahkan pun dalam salah satu debat pilpres, Prabowo justru tampil dengan tak gagah, sebagaimana bayangan kita akan sosok pemimpin, dan bahkan bayangan kita atas dirinya selama ini. Jelas, Ganjar dan Anies tampil jauh lebih gagah, jauh lebih leader daripada mantan TNI itu.
Di lapangan pun, tak bisa diperdebatkan, masa pendukung Ganjar dan Anies jauh lebih berkemajuan, jauh lebih baris-berbaris. Maka, dengan memproyeksikan impian yang memang menuntut keterarahan, jangan sampai kita terjebak pada ideal leader baris-berbaris sebagaimana yang telah dibuktikan oleh Ganjar ataupun Anies dalam suasana pilpres kemarin, yang bisa jadi justru dihindari oleh para pemilih yang sebenarnya.
Kejelian memang dibutuhkan untuk membaca situasi, apalagi ketika menyangkut orang banyak. Taruhlah karakter kepemimpinan Jokowi yang seolah-olah jauh dari gagah dan banyak dicibir orang. Ketika pemerintahan orang dari Solo itu lolos dari segala goyangan, bisa jadi apa yang terjadi hanyalah peramaian semata yang dilancarkan oleh sebagian orang, yang kemudian, ketika seolah-olah seluruh orang melakukannya, dianggap mewakili keseluruhan. Kembali pada Haqqani, dan barangkali Turki di masa kini, iman yang tak bisa dilangsungkan dengan jalan baris-berbaris, sebagai yang dituntut oleh modernisme atau “berkemajuanisme,” ternyata mampu mengantarkan Haqqani-Turki-Islam-Timur di tatanan global, meskipun setidaknya pada tataran peradaban, bahwa tak selamanya Timur (Islam) lebih rendah daripada Barat.
Penulis: Heru Harjo Hutomo
Foto : Sumber Bing Image Creator


