Mantan Presiden Soeharto dianugerahi gelar Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 116/TK/Tahun 2025 tertanggal 6 November 2025, selain mantan Presiden Soeharto ada 9 (Sembilan) nama lainnya yakni Alm. Abdulrahman Wahid, Marsinah, Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Hj. Rahmah El Yunusiyyah, Sarwo Edhie, Sultan Muhammad Salahuddin, Syaikona Muhammad Kholil, Tuan Rondahaim Saragih dan Zainal Abidin Syah.
Dari kesepuluh pahlawan nasional yang sudah ditetapkan, Soeharto-lah yang mendapatkan penolakan luas oleh masyarakat, dikutip dari media Tempo, ada sepuluh alasan penolakan Suharto menjadi Pahlawan oleh Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GMSAS).
Pertama, Soeharto berperan dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), korupsi, kolusi dan nepotisme.
Kedua, rezim orde baru menindas rakyat dan juga membungkam rakyat.
Ketiga, periode Orde Baru dibawah Soeharto kurun waktu tahun 1965 dan 1998 terjadi pelanggaran HAM berat.
Keempat, Soeharto melanggengkan kekerasan yang dilakukan oleh Negara.
Kelima, Perempuan menjadi korban represi dan kekerasan seksual seperti kasus Marsinah yang terjadi 1993.
Keenam, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor XI/MPR/1998 yang menegaskan Soeharto harus dimintai pertanggungjawaban atas berbagai kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Ketujuh, manipulasi hukum yang sering terjadi untuk menjadikan Soeharto menjadi pahlawan
Kedelapan, dugaan kasus korupsi diberbagai Yayasan milik Soeharto.
Kesembilan, rekam jejak Soeharto bertentangan dengan nilai kemanusian, keadilan juga kerakyatan.
Kesepuluh, Soeharto merupakan pemimpin yang tidak menunjukan interitas.
Alasan lain penolakan gelar Pahlawan kepada Soeharto datang dari Andi Arief, politis Partai Demokrat juga mantan aktivis 98, bersama 44 tokoh lainnya mengungkapkan alasan menyematkan gelar kepada Soeharto yakni klaim jasa sebagai dalih untuk menutupi, menyamarkan, dan mengaburkan kesalahan atau kejahatan Sejarah sama saja dengan menyutikkan bius amnesia Sejarah ke tubuh bangsa.
Andi Arif dan rekan-rekannya setuju rekonsiliasi, sebagaimana dipublikasikan oleh Kompas.id edisi 10 November 2025, rekonsiliasi yang mereka maksud berguna untuk menyembuhkan luka bangsa. Namun, demikian halnya, mereka mempertanyakan mengapa negara secara tidak konsekuen mengakui peran tokoh-tokoh kiri Indonesia, seperti para pejuang antikolonialisme dan antiimprealisme, yang dihapus dari catatan Sejarah kemerdekaan hanya karena perbedaan ideologi.
Apakah seluruh alasan yang sudah disebutkan dapat membatalkan gelar pahlawan yang sudah diberikan negara kepada Soeharto?.
Selama menjadi semacam gerakan yang terikat pada etis, penolakan ini hanya dinamika sosial-politik dari keputusan pemerintahan yang sedang dijalankan dan tidak berdampak apa-apa, keseriusan penolakan hanya berakhir pada pemahaman masa lalu dan penggalangan opini.
Gelar pahlawan kepada Soeharto dapat dibatalkan atau tetap berlaku dengan jalan mengkonstruksikan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 116/TK/Tahun 2025 menjadi objek gugatan kepada Negara melalui Pengadilan, tanpa ini semuanya tidak lebih hanya omon-omon.
Merujuk Pasal 1 Ayat (9) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, objek sengketa Tata Usaha Negara (TUN) bersifat kongkrit, keputusan pejabat tata usaha Negara yang tidak abstrak tetapi berwujud serta telah dinyatakan secara tegas dan jelas maksud dikeluarkannya surat keputusan tersebut, sebagaimana objek sengketa tersebut diterbitkan sesuai kewenangannya dan dikeluarkan secara tertulis. Selanjutnya bersifat individual, keputusan pejabat tata usaha Negara yang ditujukan kepada Perorangan, sebagaimana Objek Sengketa tersebut diterbitkan Tergugat ditujukan dan berlaku khusus bagi seseorang. Serta bersifat final atau telah menimbulkan akibat hukum.
Pasal 87 huruf (a), (b), (c), (d), (e) dan (f) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan menyebutkan bahwa dengan berlakunya undang-undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara Sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Harus dimaknai sebagai :
- Penetapan Tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
- Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara dilingkungan Eksekutif, Legislatif, Yudkatif dan Penyelenggara Negara Lainnya;
- Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan dan AUPB;
- Bersifat Final dalam arti lebih luas;
- Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum dan/atau;
- Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat;
Berdasarkan landasan yuridis yang sudah diuraikan di atas, syarat materil sudah terpenuhi, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 116/TK/Tahun 2025 menjadi objek gugatan dikualifikasi menjadi Keputusan pejabat administrasi yang dikeluarkan oleh pejabat eksekutif yang bersifat final, kongrit dan mengikat, digolongkan menjadi Perbuatan Melanggar Hukum (PMH) oleh Badan atau pejabat negara (Onrechtmatige Overheidsdaad) yang yuridiksinya berada pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagaimana disebutkan Peraturan Mahakamah Agung Nomor: 2 Tahun 2019 Tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan Dan/Atau Pejabat Perintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad).
Siapakah pihak yang dirugikan dari Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 116/TK/Tahun 2025? Tentu saja yang mengajukan keberatan hari ini terhadap pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, merekalah yang memenuhi syarat formil mengajukan pembatalan gelar pahlawan kepada Soeharto.
Pintu masuk menjadi pihak penggugat secara hukum adalah pasal 1 ayat (6) Peraturan Mahakamah Agung Nomor: 2 Tahun 2019 menyebutkan posisi penggugat adalah warga Masyarakat yang kepentingannya dirugikan sebagai akibat terbitnya penetapan gelar Pahlawan kepada Soeharto. Mereka bisa saja seperti direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, pengajar Hukum seperti Bivitri Susanti, direktur Kontras (Komisi Untuk Orang Hilang untuk Korban Tindak Kekerasan).
Tanpa adanya syarat formil dan pengajuan uji hukum melalui Pengadilan sebagaimana asas negara hukum, sengkrawut gelar Pahlawan kepada Soeharto hanya kecap manis dipercakapan media sosial dan susunan kata-kata yang jadi berita.
Adi Prianto, Penulis merupakan Wakil Sekretaris Jendral (Wasekjen) DPP Partai PRIMA


