Menata Ulang Regulasi Transportasi Online Berkeadilan Dan Anti Penjajahan

Latar belakang

Ojek online dan moda transportasi online lainnya di samping menghadirkan berbagai kemudahan yang disambut dengan penuh suka cita oleh masyarakat baik sebagai customer ataupun driver yang sama-sama memperoleh keuntungan berkat kehadiran perusahaan transportasi online, ternyata masih lekat dengan pendapat bervariasi. Ada yang pro dan ada yang kontra di tengah-tengah masyarakat. Bukan menjadi hal yang baru bahwa suatu inovasi akan mengundang pro dan kontra, akan tetapi pro dan kontra yang mengikuti di belakang kemunculan moda transportasi online ini adalah masalah yang cukup serius mengingat Indonesia merupakan Negara Hukum sebagaimana jelas termaktub di dalam konstitusi Pasal 1 ayat (3).

Perusahaan penyedia jasa transportasi online dinyatakan telah menjalankan sistem operasional bisnis yang ilegal. Hal ini dikarenakan mereka sejak awal tidak memenuhi ketentuan umum angka 21 dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang secara tegas mengatakan bahwa “Perusahaan Angkutan Umum yang diakui oleh negara adalah suatu badan hukum yang menyediakan jasa pengangkutan baik untuk orang maupun barang dengan kendaraan Bermotor Umum.” Perusahaanperusahaan penyedia moda transportasi online di Indonesia seperti Gojek misalnya, menyatakan claim dalam artikel Gojek Bukan Perusahaan Transportasi Umum dan pada situs resmi Go-Jek (terms of use pasal 1.5), bahwa perusahaannya merupakan pelaku usaha penghubung dan mereka adalah Perusahaan Teknologi. Sehingga karena hal tersebut lah tidak ada kewajiban untuk mengantongi izin usaha sebagai perusahaan penyedia transportasi umum.

Titik terang dari permasalahan subtansi undang-undang terkait dengan operasional ojek online belum juga diketemukan, namun pada Tahun 2019 Menteri Perhubungan Republik Indonesia justru mengeluarkan Permenhub Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat. Permenhub ini keluar menghiraukan kesemrawutan peraturan perundang-undangan lainnya sebagai terobosan baru yang diharapkan dapat menjadi solusi atas permasalahan pengaturan ojek online. Apakah peraturan menteri ini sungguh-sungguh dapat mengurai problematika legalitas ojek online di Indonesia, atau justru menambah persoalan peraturan hukum yang ada di Indonesia mengingat terang sekali peraturan menteri ini bertentangan dengan UU LLAJ yang secara hierarki peraturan perundang undangan merupakan peraturan yang lebih tinggi, Meskipun demikian kehadiran Peraturan Menteri ini dapat mengisi kekosongan hukum mengenai regulasi ojek online di Indonesia saat ini.

Selain permasalahan mengenai tidak adanya payung hukum untuk driver ojek online, Para pengemudi ojek online (ojol) juga di hadapkan pada permasalahan potongan tarif  yang semakin membengkak. Dalam keluhan terbaru, potongan dari perusahaan aplikasi dikabarkan mencapai 20 persen dari tarif yang dibayarkan penumpang. Kondisi ini dianggap tidak hanya memberatkan, tetapi juga “mengeruk” penghasilan para pengemudi yang sudah tertekan oleh situasi ekonomi sulit.

Potongan sebesar itu sangat tidak adil, terutama di tengah persaingan antar pengemudi yang semakin ketat, Secara umum, nilai tersebut terlalu besar. Di sisi mitra pengemudi, persaingan mendapatkan penumpang semakin ketat, potongan malah naik. Ini tentu menyulitkan bagi rekan-rekan Ojek Online.

Namun di sisi lain, perusahaan aplikator punya alasan untuk menaikkan potongan tersebut, Adapun alasan utamanya untuk menutupi biaya operasional perusahaan yang mengalami peningkatan, akan tetapi alasan itu pun tidak bisa di terima begitu saja, di karenakan selama perusahaan aplikator berdiri dan beroperasi, kalangan ojol yang notabene mitra usahanya, tidak pernah mengetahui audit secara transparan dan secara detail mengenai besaran pembiayaan biaya operasional itu, untuk apa dan untuk siapa saja serta dalam bentuk apa saja, sehingga perusahaan aplikator merasa di bebani dengan biaya operasional yang di indikasikan adanya biaya upeti legal dalam bentuk pajak, atau bahkan juga di indikasikan adanya upeti illegal untuk para pihak yang selama ini di duga menikmati bisnis yang di Kelola oleh aplikator.

Akibat dari beban biaya operasional yang membebani perusahaan aplikator tersebut, maka tidak ada jalan lain perusahaan aplikator membebani para ojol sebagai mitra usahanya, dengan menaikkan potongan sewa aplikasi dalam nilai yang tidak wajar dan tidak adil. Memang kebijakan aplikator itu tidak adil, tapi juga tidak adil lagi adanya pihak yang menikmati hasil bisnis ini tanpa harus kerja keras, tanpa harus mengeluarkan modal. Tentunya indikasi tersebut sesungguhnya yang menjadi obyek penderita adalah kalangan ojol, yang selama ini memang tidak pernah di posisikan sebagai subyek dari penyelenggaraan bisnis transportasi online ini.

Dari Fenomena tersebut, maka disampaikan  pandangan sebagai berikut :

Mengenai Regulasi Bagi Ojek Online :

Bahwa keberadaan usaha ojek online sudah menjadi keniscayaan terbukanya lapangan usaha yang pada perkembangannya sangat pesat mampu mengurangi angka pengangguran di negeri ini, Ojek online dan moda transportasi online lainnya disamping menghadirkan berbagai kemudahan yang disambut dengan penuh suka cita oleh masyarakat baik sebagai customer ataupun driver yang sama-sama memperoleh keuntungan berkat kehadiran perusahaan transportasi online, oleh karena kami berpendapat perlu adanya Revisi UU no 22 tahun 2009 tentang transportasi umum, maka perlu di tambahkan suatu klausul yang di atur dalam BAB tersendiri tentang Transportasi berbasis Digital beserta turunan pasal-pasal nya antara lain:

  1. Pengertian Transportasi Digital, dan jenisnya, yakni transportasi digital roda dua maupun roda empat, bahwa Transportasi Digital atau online merupakan moda transportasi yang memanfaatkan teknologi digital atau online dalam penyelenggaraan jasa layanan transportasi hantaran barang maupun hantaran penumpang.
  2. Terminologi Mengenai Ojek Online : Bahwa dalam menyelenggarakan jasa layanan transportasi hantaran penumpang maupun barang, bermodalkan motor maupun mobil milik pribadi beserta perangkat teknologi Handphone yang terhubung dengan perangkat teknologi digital yang di sediakan oleh perusahaan penyedia jasa aplikasi.
  3. Penyelenggaraan jasa layanan transportasi Digital atau online : bahwa jasa layanan transportasi online dapat terselenggara melalui :
  4. Menjalin Relasi Usaha ( bukan kemitraan, melainkan jalinan relasi usaha yang setara ) Dengan Perusahaan Jasa Penyedia aplikasi
  5. Membangun Koperasi melalui terbangunnya kebersamaan sesama pelaku usaha jasa transportasi online untuk bekerja bersama untuk menciptakan kesejahteraan bersama dengan membuat aplikasi secara mandiri.
  • Standar operasional layanan transportasi digital/online : panduan tertulis yang berisi langkah-langkah dan prosedur yang harus diikuti dalam kegiatan transportasi, baik untuk pengoperasian kendaraan, pemeliharaan, keselamatan, maupun pengiriman barang. SOP transportasi bertujuan untuk memastikan kegiatan transportasi berjalan lancar, aman, dan efisien, yang meliputi :
  • SOP Pengoperasian Kendaraan
  • SOP Pemeliharaan Kendaraan
  • SOP Keselamatan Transportasi
  • SOP Pengiriman Barang
  • Relasi usaha : Persyaratan pelaksanaan relasi usaha dengan penyedia teknologi transportasi digital, yakni :
  • Penyedia jasa transportasi digital, harus berbentuk badan usaha di bidang layanan jasa transportasi dan logistik, bukan perusahan di bidang IT (selama ini yang terjadi adalah perusahaan penyedia aplikasi transportasi online berijinkan sebagai perusahaan IT)
  • Pelaku usaha jasa transportasi yang memiliki modal motor, mobil serta perangkat teknologi penunjang yang memadai
  • Relasi usaha berprinsip sinergi setara dengan menanggung untung-rugi secara bersama, serta mengelola bersama dan dengan sharing profit yang jelas & tegas.
  • Siap di audit secara berkala di audit Oleh Panitia Pengawas Auidtor Independent yang di bentuk Pemerintah, Kejaksaan, Kepolisian, Kementerian Keuangan, Perwakilan Komunitas Ojek Online yang menjalin relasi usaha dengan Badan Usaha Jasa Penyedia Aplikasi, Perwakilan Badan Usaha Jasa Penyedia Aplkasi
  • Koperasi :

Sesuai Undang-undang Koperasi yang berlaku saat ini, Koperasi telah menjadi salah satu Badan Usaha yang boleh melakukan berbagai bidang usaha Jasa maupun Non Jasa, oleh karena dalam penyelenggaraan usaha jasa transportasi digital ini, bisa di selenggarakan melalui pembentukan Koperasi yang dalam pelaksanaannya tentu berdasakan ketentuan peraturan perundang-undangan koperasi yang berlaku saat ini, namun demikian penyelenggaraan jasa transportasi digital melalui Koperasi ini juga harus di terapkan adanya Audit secara transparan, kredibel dan akuntabel yang juga di awasi oleh negara.

Tentang Permasalahan Potongan Tarif:

Kenaikan tarif ojek online (ojol) yang beberapa waktu belakangan ini menjadi sorotan publik, ternyata tidak serta-merta membawa angin segar bagi para pengemudi. Di balik kenaikan tarif yang cukup signifikan, tersimpan cerita pahit para mitra pengemudi yang merasa tak kunjung merasakan manisnya keuntungan.

Banyak pengemudi ojol yang mengeluhkan bahwa kenaikan tarif tidak berbanding lurus dengan peningkatan pendapatan mereka. Pasalnya, potongan yang diambil oleh perusahaan aplikasi justru ikut membengkak. Alhasil, kenaikan tarif yang dinantikan justru terasa seperti angin lalu, dan para pengemudi tetap saja harus berjibaku dengan penghasilan yang minim.

Berkaitan dengan kondisi tersebut, maka di sampaikan beberapa pendapat sebagai berikut :

  1. Bahwa untuk menaikkan ataupun menurunkan potongan aplikasi, sudah semestinya terlebih dahulu di lakukan Audit Keuangan dari pihak Perusahaan Aplikator secara transparan dan akuntabel, sehingga dapat di ketahui besaran aliran dana yang masuk maupun besaran aliran dana keluar yang di manfaat kan untuk apa, diberikan kepada siapa serta siapa saja yang menikmati aliran dana tersebut.
  2. Bahwa audit keuangan perusahaan aplikator harus di lakukan oleh Auditor yang terpercaya, dan di lakukan secara terbuka, akuntabel dan kredibel, serta mesti di awasi oleh aparatur negara yang berwenang.
  3. Bahwa tanpa  adanya Audit secara terbuka, akuntabel dan kredibel, maka pihak perusahaan aplikator tidak berhak menaikkan potongan aplikasi dengan seenaknya, begitu pula dari pihak luar perusahaan semisal anggota DPR, LSM dan komponen masyarakat lain  tidak bisa mengusulkan penurunan potongan tanpa mengetahui secara komprehensif hasil Audit Keuangan Perusahaan Aplikator yang di umumkan secara transparan, akuntabel dan kredibel.
  4. Bahwa apabila dari hasil Audit tersebut memunculkan adanya indikasi tindak gratifikasi yang di nikmati oleh aparatur negara, maka indikasi tersebut akan di laporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi maupun Kejaksaan Agung, yang kemudian harus di tindaklanjuti dalam tempo sesingkat-singkatnya, dan selanjutnya dapat di tindaklanjuti dalam ranah hukum dan dalam proses peradilan.

Kesimpulan :

  1. Bahwa system kemitraan yang di terapkan dalam hubungan usaha pihak penyedia teknologi aplikasi dengan  pihak pengendara transportasi online,  sistem kemitraan dalam transportasi online, khususnya pada ojek online (ojol), dinilai berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM) karena adanya ketidakseimbangan kekuasaan antara aplikator (perusahaan penyedia aplikasi) dan pengemudi ojol. Kementerian HAM bahkan menilai model kemitraan ini tidak ramah HAM dan mendorong perubahan, bahkan di dalam system kemitraan ini terjadi pemerasan dan penindasan.
  2. Peraturan seharusnya memenuhi unsur sosiologis berupa karya cipta masyarakat guna memenuhi banyak aspek kebutuhan yang menyangkut kondisikondisi tertentu mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan rakyat. Selama ini ojek online terus beroperasi dan menjadi jawaban atas kebutuhan (nessity) masyarakat yang perlu diakomodir negara. Ketika Ojek online menjadi tranportasi terbesar dan negara enggan mengaturnya maka yang terjadi adalah pengingkaran negara terhadap kepentingan perlindungan masyarakatnya. Justru disini akan muncul celah dimana pihak swasta atau perusahaan dapat membuat ketentuan yang akan diberlakukan sesuai kehendak mereka diluar kontrol negara.
  3. Perusahaan aplikasi perlu membuka diri dan memberikan informasi yang jelas mengenai struktur biaya yang dikenakan kepada para pengemudi. Rincian potongan biaya seperti biaya layanan aplikasi, biaya asuransi, biaya servis, dan biaya promosi harus disampaikan secara terbuka dan mudah dipahami. Dengan adanya transparansi, pengemudi dapat mengetahui dengan pasti berapa banyak pendapatan yang mereka peroleh dan ke mana saja uang tersebut dialokasikan. Oleh karena itu audit adalah kebutuhan mendesak yang mesti di laksanakan oleh Badan Usaha Jasa Penyedia Aplikasi maupun Koperasi yang di awasi oleh negara.
  4. Salah satu solusi yang paling konkret untuk mengatasi permasalahan potongan besar yang diambil oleh perusahaan aplikasi adalah dengan adanya regulasi pemerintah yang membatasi besaran potongan tersebut. Pembatasan ini sangat penting untuk melindungi hak-hak para pengemudi dan memastikan bahwa mereka mendapatkan bagian yang layak dari hasil kerja mereka.

Ign Tricahyo

Penulis Pengguna Jasa Transportasi Online

[post-views]