Jakarta, Berdikari Online-Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker) akan menyelenggarakan konferensi nasional sastra, acara ini akan diselenggarakan pada tanggal 4 Juli 2025 mendatang. Tema dari konferensi nasional sastra, Jaringan Kebudayaan Rakyat tersebut adalah Sastra Bersama Rakyat Mewujudkan Masyarakat Adil Makmur.
Tujuannya adalah untuk membahas bagaimana seharusnya sastra sebagai salah satu alat perjuangan rakyat bisa mengekspresikan aspirasi rakyat dan mengarahkan kesadaran rakyat untuk bahu-membahu bersama pemerintah mewujudkan masyarakat adil makmur, yaitu Indonesia Emas, pada tahun 2045.
Harsa Permata merupakan ketua panitia Konferensi nasional menyebut bahwa sastra adalah bagian dari masyarakat Indonesia, bahkan sebelum abad modern, yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jenis-jenis sastra seperti pantun, syair, gurindam, dan hikayat, sudah lazim digunakan oleh masyarakat di wilayah Nusantara, semenjak beberapa abad yang lalu.
lanjut ia juga menjelaskan bahwa pada masa pergerakan nasional Indonesia, yaitu dari sejak awal abad ke-20, sampai proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, tahun 1945, sastra saat itu berperan sebagai alat perjuangan untuk melawan kolonialisme dan imperialisme, yang mencengkeram wilayah Nusantara.
“Karya-karya sastra dari para pejuang pergerakan nasional Indonesia, seperti Marco Kartodikromo, dengan novel Student Hidjo, Semaoen, dengan novel Hikayat Kadiroen, Armijn Pane, dengan puisi Bertemu, dan lain-lain, pada dasarnya berisikan keresahan dan protes terhadap kolonial Belanda. Seperti yang tertulis pada salah satu baris dalam puisi bertemu karya Armijn Pane, Yang penuh sengsara, penuh duka, Karena negeri digenggam bangsa asing,” ujar Harsa.
Pasca proklamasi kemerdekaan, puisi-puisi penyair Chairil Anwar, lanjutnya dengan gamblang menyuarakan dukungan rakyat terhadap perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kita bisa lihat ekspresi tersebut pada puisi-puisi seperti “Diponegoro”, dan “Karawang-Bekasi”.
“Era kediktatoran Rezim Orde Baru, juga ditandai dengan kehadiran dua penyair yang cukup vokal melawan kediktatoran. W.S Rendra, dan Wiji Thukul, adalah nama dari kedua penyair tersebut. Rendra dalam puisinya yang berjudul Sajak Sebatang Lisong, dan Thukul, salah satunya dalam puisinya yang berjudul Peringatan, yang baris terakhir puisinya sangat populer di alam pikiran para aktivis pergerakan mahasiswa dan rakyat kala itu, yaitu Hanya ada satu kata Lawan!”, katanya lagi.
Oleh karena itulah, menurutnya apa yang tertulis dalam berbagai jenis sastra tersebut, pada dasarnya sangat krusial, dan selalu berada dalam alam pikiran masayarakat, khususnya masyarakat Indonesia. Untuk itulah, penulisan sastra, khususnya yang ditulis oleh para sastrawan dan penyair dalam sebuah organisasi kebudayaan rakyat, seperti Jaringan Kebudayaan Rakyat (JAKER) haruslah mampu menyuarakan suara rakyat dan menuntun kesadaran rakyat untuk bersatu padu mewujudkan masyarakat adil makmur. Bangsa dan negara Indonesia, yang sudah berhasil melewati berbagai rintangan dalam sejarah, seharusnya bisa merealisasikan masyarakat adil makmur tersebut, dengan cara kembali pada budaya asli Indonesia, yaitu gotong royong atau kerja sama mutualistik, antar seluruh elemen bangsa.
(Amir)


