PP STN Menolak Kekerasan Dan Menuntut Keadilan Atas Konflik Agraria Di Kabupaten Konawe Selatan

Jakarta, Berdikari Online-Pimpinan Pusat Serikat Tani Nelayan (PP STN) dan pihak-pihak yang memperjuangkan keadilan agraria, dengan ini menyatakan sikap tegas terkait konflik agraria yang terjadi di Delapan Desa : Lamooso, Motaha, Lamoen, Puao, Puusanggula, Sandey, Teteasa, Puuroe, dan Sandarsi Jaya Kecamatan Angata, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, yang telah memuncak dengan tindakan kekerasan berupa pembacokan Dua petani pada Jumat 06 Juni 2025 oleh preman yang diduga bekerja atas nama perusahaan.

Ahmad Rifai Ketua Umum PP STN menyampaikan bahwa konflik agraria di Kecamatan Angata telah berlangsung lama, melibatkan petani dan perusahaan sejak 16 Desember 1996 dengan PT. Sumber Madu Bukhari sebelum masuknya PT Marketindo Selaras (MS) pada tahun 2010, yang bersengketa atas lahan seluas 1.300 hektare.

Menurutnya Konflik ini berakar dari tumpang tindih kepemilikan lahan, dimana lahan petani yang telah digarap secara turun-temurun dan sebagian telah bersertifikat, diklaim oleh perusahaan berdasarkan izin usaha perkebunan (IUP) atau hak guna usaha (HGU). Ketidakjelasan status lahan, dugaan pelanggaran prosedur pengalihan aset perusahaan, serta kurangnya mediasi yang adil dari pemerintah daerah telah memperburuk situasi, hingga memicu tindakan kekerasan terhadap petani.

Puncak eskalasi konflik ini lanjut Rifai terjadi ketika petani yang mempertahankan hak atas lahannya menjadi korban kekerasan fisik oleh preman yang diduga disewa oleh pihak perusahaan. Tindakan ini tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga mencerminkan ketidakadilan struktural dalam pengelolaan sumber daya agraria di wilayah tersebut.

“Kami mengutuk segala bentuk kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi terhadap petani yang memperjuangkan hak atas tanah mereka. Pembacokan yang dialami petani di Kecamatan Angata adalah pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan tidak dapat dibenarkan dalam situasi apapun,” ucap Rifai.

Pihaknya juga menuntut aparat penegak hukum dalam hal ini Bapak Listyo Sigit Prabowo selaku Kapolri untuk segera mengusut tuntas kasus kekerasan ini, menangkap pelaku, dan mengadili pihak-pihak yang bertanggung jawab, termasuk yang memerintahkan atau mendukung tindakan tersebut.

Rifai mengatakan bahwa Keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Pemerintah daerah, pemerintah pusat, serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dibawah kepemimpinan Bapak Nusron Wahid sebagai perpanjangan tangan Presiden Prabowo Subianto yang menghendaki rakyat selalu tersenyum dan hidup sejahtera harus segera melakukan mediasi yang transparan, partisipatif, dan berpihak pada petani. Ketidakjelasan status lahan, tumpang tindih HGU, dan dugaan korupsi dalam penerbitan izin harus diselesaikan dengan melibatkan masyarakat sebagai pihak utama.

Petani adalah tulang punggung ketahanan pangan nasional. Kami menuntut pemerintah untuk melindungi hak petani atas lahan mereka, termasuk dengan mempercepat redistribusi lahan melalui program reforma agraria yang sejati, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang berlandaskan Pasal 33 UUD 1945 yang kita tahu sering didengungkan Presiden Prabowo Subianto.
Kami menolak segala bentuk kriminalisasi terhadap petani yang memperjuangkan hak mereka.

Pemerintah dan aparat keamanan harus menghentikan pendekatan represif dan mengedepankan dialog untuk menyelesaikan konflik. Konflik di Kecamatan Angata adalah cerminan dari ketimpangan kepemilikan lahan di Indonesia, di mana 1% populasi menguasai 68% kekayaan tanah, sementara petani guram terus meningkat. Kami mendesak pemerintah untuk segera melaksanakan reforma agraria sejati yang mengutamakan kepentingan petani kecil, masyarakat adat, dan kelompok rentan lainnya. Berdasarkan situasi di atas, kami menuntut:

Pertama, Percepatan reforma agraria di Indonesia, mulailah dengan penyelesaian konflik agraria di Konawe Selatan, termasuk redistribusi lahan kepada petani dan pemberian legalitas lahan yang jelas.

Kedua, Penghentian segala bentuk kekerasan dan intimidasi terhadap petani di Kecamatan Angata.

Ketiga, Penyelidikan menyeluruh terhadap kasus pembacokan petani oleh preman perusahaan, dengan memastikan pelaku dan pihak yang mendalangi diadili secara adil.

Keempat, Audit menyeluruh terhadap izin usaha perkebunan (IUP) dan HGU yang diberikan kepada PT Marketindo Selaras, termasuk proses pengalihan aset dari PT Sumber Madu Bukhari (SMB).

Kelima, Penyelesaian konflik agraria melalui mediasi yang melibatkan petani, pemerintah, dan perusahaan, dengan memprioritaskan hak petani atas lahan mereka.

Keenam, Percepatan reforma agraria di Indonesia, mulailah dengan penyelesaian konflik agraria di Konawe Selatan, termasuk redistribusi lahan kepada petani dan pemberian legalitas lahan yang jelas.

Perlindungan terhadap petani dari kriminalisasi dan penggusuran paksa oleh perusahaan atau aparat.
Konflik agraria di Kecamatan Angata, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, adalah bagian dari darurat agraria yang melanda Indonesia.

“Kami menyerukan solidaritas dari seluruh elemen masyarakat untuk mendukung perjuangan petani dalam mempertahankan hak atas tanah dan kehidupan mereka. Keadilan agraria adalah keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kami menyerukan kepada semua pihak untuk bersama-sama mengawal penyelesaian konflik ini hingga tuntas, demi terciptanya keadilan, kesejahteraan, dan kedaulatan pangan nasional,” tutup Rifai.

(Feby)

[post-views]