Si nyonya gendut tertawa senang memandangi televisi di kamarnya. Pembantu Rumah Tangga (PRT) barunya adalah orang yang sangat rajin, tidak pernah menolak disuruh kemanapun dan apapun. Dengan itu ia bisa hanya berbaring dan ngemil di kamar, bermalas-malasan seenaknya.
Di kampung sudah dijanjikannya pada si pembantu, bahwa gaji yang akan diberikannya adalah Rp. 1.000.000. Rani, demikian nama PRT itu, menyetujuinya dengan antusias. Bayangan kota dan hal-hal baru yang tidak pernah ditemuinya di kampung, tergambar di kepalanya. Dikemasinya seluruh barang, ikut dengan mobil ber-AC nyonya dan keluarga ke kota. Ibu, bapak dan saudara-saudaranya hanya bisa melambaikan tangan dengan air mata berlinang.
Jalan yang berkelok-kelok dari desa ke kota, membuat mual perut Rani, yang berisikan nasi dan tempe. Melihat gelagat itu si nyonya meminta mobil di-stop, agar muntahan pembantu baru dari kampung ini tidak mengotori mobilnya yang mewah dan wangi. Jangankan muntahan, bau Rani saja sudah membuatnya berkali-kali mengayunkan kipas ke wajahnya yang dilumuri bedak demikian tebal.
Nasi dan tempe berlendir tumpah di atas rerumputan hijau pinggir jalan, debu-debu berterbangan ketika beberapa truk lewat di samping mobil, menyisakan angin dan getaran yang mengguncang mobil mewah itu.
“Dasar orang kampung ! nggak pernah jalan jauh ya ?!”. Bentak Nyonya Lastri dengan kasar pada pembantu barunya yang hanya bisa menunduk kan kepala dengan penuh ketakutan.
“Ma…maaf, Nyonya..” pinta Rani memelas penuh harap, yang hanya berbalas dengusan kesal sang nyonya.
“Tidak ada maaf !, maaf ! gaji mu dipotong ! biar kamu tidak bisa seenaknya lagi !” teriak Nyonya Lastri marah.
Rani hanya bisa bersedih dalam hati, menundukkan kepalanya dalam-dalam, memandangi karpet mobil yang dipenuhi butiran pasir. Dan Ia hanya bisa membisu.
Perjalanan dilanjutkan, dengan perasaan kesal dan jijik memenuhi hati Nyonya Lastri. Sementara sopir berkumis bapang dengan kaca mata hitam, Mang Diman tetap dengan acuh nya, menjalankan mobil dengan kecepatan 80 KM/Jam di-jalanan berkelok, tengah-tengah jurang dan perbukitan yang dipenuhi pepohonan rindang. Sore harinya, mereka sampai di depan pagar besi berwarna hitam, rumah milik Nyonya Lastri sekeluarga.
***
Sudah dua bulan setelah perjalanan itu. Dengan perintah dan bentakan, Rani menjadi seorang pembantu yang patuh. Sementara gaji yang di janjikan tidak juga kunjung dibayarkan oleh sang nyonya padanya.
Berkali-kali di mintanya pada sang nyonya. Karena ia telah berjanji pada orang tuanya di kampung, untuk mengirimkan setengah dari gajinya, demi membantu biaya hidup mereka, tetaapi Nyonya Lastri tidak pernah mengabulkannya.
“Jangan sekarang Rani, ibuk lagi tidak punya uang, nantilah kalau bapak sudah dapat uang,” begitu jawab Nyonya Lastri ketika untuk yang ke sekian kalinya Rani menagih janjinya.
Setelah itu biasanya, Nyonya Lastri akan kembali berbaring diatas spring bed di kamar ber-AC-nya, nonton film di tv berlangganan, sambil ngemil kacang mete goreng kesukaannya. Tubuhnya semakin mekar dalam dua bulan ini. Bulat, penuh lemak, layaknya babi peliharaan.
Nyonya Lastri punya mimpi, bahwa suatu kali ia bisa pergi ke tempat orang-orang kulit putih dengan hidung mancung, yang sering dipandanginya di layar televisi. Dan Ketika memandangi sosok Rani dengan kulit sawo matang hidung pesek, ia akan tertawa mengejek dalam hati, seperti layaknya seorang manusia memandangi seekor kera.
Ia tidak paham kalau di barat sana, orang-orang tidak pernah membentak dan makan uang pembantunya. Yang ia tahu, di sana adalah surga dunia, semua produk yang diinginkannya ada di sana. Dari mulai makanan sampai pakaian-pakaian mewah yang harganya tak kan terjangkau oleh upah Rani setahun.
“Brrmmmm !!!”. Deru knalpot mobil terdengar dari luar pagar. Suami si nyonya pulang kerja. Dengan tergopoh-gopoh Rani berlari ke arah pagar, ditinggalkannya cucian yang menumpuk di kamar mandi. Sesuai perintah Nyonya Lastri, yaitu, ia tidak boleh terlambat membukakan pintu tuan kalau tidak mau dapat Bentakan, sampai air matanya bisa berlinang karenanya.
Sebelumnya, pagi-pagi sekali ia telah menjerang air dan menanak nasi untuk sarapan tuan dan nyonya sekeluarga. Behelai-helai kain dicucinya dari mulai tuan dan anak-anaknya pergi, sampai pulang lagi. Ketika malam tiba, ia tidak bisa bergerak lagi di kamarnya, sebelah kamar mandi samping rumah, karena seluruh badannya capek dan sakit, sampai kedua matanya menutup tertidur kelelahan.
***
Dua bulan berikutnya. Uang itu masih belum dibayarkan. Rani sudah semakin bingung. Beberapa kali surat datang dari orang tuanya di kampung. Yang isinya, salah satunya adalah :
Kepada YTS Magelang, 22 Maret 2024
Ananda Rani
Di Yogyakarta
Assalam Mualaikum WR.WB
Piye kabarmu nduk ? mugo-mugo sehat wal ‘afiat. Nang kene aku karo bapakmu apik-apik wae. Ming wingi adimu Siti loro. Butuh Duwit di nggo biaya pengobatan. Kepekso aku nge dol mas kalung. Adimu liane butuh duit di nggo bayar sekolah. Sing iki aku bingung arep bayar nganggo opo.
Piye gawean mu nangkono ? abot opo ora ? Bu Lastri piye ? nak duwitmu luwih tulung dikirimno nangkene. Soale nangkene butuh duwit, di nggo biaya sak dino-dinone lan kebutuhan liane.
Wis yo nduk, ngono wae. Mugo-mugo kowe betah kerjo nangkono. Apik-apik karo juraganmu, kerjo sing rajin. Aku, bapakmu lan adi-adimu, tetep dongakno kowe nang kene.
Wassalam
Ibumu
Setelah membaca surat itu biasanya Rani hanya bisa termenung lama. Tidak habis-habisnya otaknya berpikir, bagaimana caranya untuk membantu orang tuanya di sana tapi Nyonya Lastri tetap saja mengatakan hal yang sama, yaitu bahwa tuan belum dapat uang dan uangnya lagi seret.
Padahal semenjak Rani kerja disini. Nyonya Lastri sudah membeli satu perangkat tablet produk Amerika Serikat, keluaran terbaru, yang luar biasa mahal harganya dan satu mobil sedan yang juga sangat mahal harganya, upah Rani kerja sampai matipun, kalau dikumpulkan tidak akan mampu membelinya. Begitulah Rani, melewatkan bulan demi bulan tanpa gaji.
Sampai pada suatu hari, di tv tetangga, ia melihat berita bahwa, mantan menteri diadili karena kasus korupsi. Terlihat jelas dalam pandangannya, bagaimana lelaki gemuk dan berhidung besar itu, duduk di depan hakim untuk mempertanggung jawabkan korupsi yang dilakukannya. Banyak orang-orang bilang kalau mantan menteri itu makan uang rakyat! Ia juga jadi mulai tidak percaya pada apologi-apologi yang di ucapkan oleh ketua mantan menteri itu.
Malamnya di kamarnya, dengan penerangan lampu remang-remang, Rani duduk sendirian, otaknya berisikan wajah ketua mantan menteri siang tadi dan Nyonya Lastri. Tak habis-habisnya ia berpikir, bagaimana orang-orang itu, tega-teganya memakan uang yang menjadi hak orang lain.
***
Pagi, satu minggu kemudian. Hari ini Rani sudah bertekad untuk meminta haknya. Tidak bisa ditawar-tawar lagi. Perkataan Susi temannya sesama pembantu, masih terngiang di telinganya:
“Kita bukan budak Ran! Jangan mau kerja kalau tidak dibayar secukupnya!” kata Susi berapi-api, ketika Rani main ke kamarnya Susi, yang bekerja di rumah yang tak jauh dari rumah tempat ia bekerja.
“Jangan biarkan mereka makan uang yang seharusnya jadi hak mu!”
“Ta..tapi Sus..”.
“Tidak ada tapi-tapian, kau dan keluargamu bisa mati kalau kau diam saja !”
Ia harus menuntut haknya tapi ia masih takut untuk bersikap terang-terangan. Sosok Nyonya Lastri yang judes dan kasar terbayang olehnya. Itu Menghambat langkahnya yang menuju kearah pintu kamar nyonya Lastri.
“Nyonya…, nyonya.., nyonya !” panggil Rani mengetuk pintu kamar.
Nyonya Lastri tidak dengan segera menemui Rani, tapi memilih untuk berguling dulu ke kiri dan ke kanan.
Baru setelah ketukan yang ke sekian kali ia membuka pintu yang terbuat dari kayu jati bercat coklat tua itu.
“Ada apa ?!” tanyanya dengan wajah sinis dan nada tidak setuju, agak tinggi.
“Saya minta uang gaji saya nyonya”.
“Apa ?!”
“Saya minta uang gaji, nyonya,” jawab Rani dengan nada tenang dan dingin.
“Berani perintah kau sekarang, ya !”
“Iya nyonya !”
“Dasar orang kampung! Berapa bulan di kota sudah mulai nglunjak !”
“Saya tidak mau jadi budak nyonya”.
“Budak?! kapan aku memperbudakmu !” balas nyonya Lastri dengan nada lebih tinggi.
“Kalau tidak dibayar, saya sama dengan budak, nyonya.”
“Terus maumu apa ?!”
“Uang gaji, nyonya” jawab Rani datar dan tetap dingin.
“Kalau saya tidak mau bayar kenapa ?!” tantang nyonya Lastri, “Ya sudah, saya minta berhenti, nyonya”.
Agak gamang juga nyonya Lastri melihat kenekatan PRT barunya ini. Sebenarnya dari tadi nyalinya sudah surut tapi ia menutupinya dengan sikap garang. Kali ini ia tidak bisa menutupinya lagi, nada suaranya mulai menurun.
“Tidak kau pertimbangkan lagi, masak-masak itu keputusanmu Ran?”.
“Sudah, nyonya, beberapa hari ini saya sudah memikirkan itu. Hari ini adalah hasil dari pemikiran saya itu”.
“Aku tidak bisa membayarmu Ran..”.
“Kalau begitu, saya berhenti kerja, nyonya” balas Rani berbalik arah meninggalkan Nyonya Lastri sendirian memandangi punggungnya.
Dikemasiya barang dan diangkatinya dengan tabah, melewati pintu pagar besi dan berjalan lurus menjauhi rumah nyonya Lastri dengan tenang.
Yogyakarta, Suatu Ketika
Karya: Harsa Permata

