Mengatasi Cuaca Ekstrem dan Kelembagaan Kuat Untuk Program Makan Bergizi Gratis

Pilpres 2024 kemarin, pasangan Prabowo-Gibran mengajukan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di samping program hilirisasi yang merupakan basis membangun Indonesia menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang terbangun jiwa dan raganya sebagaimana bait lagu kebangsaan Indonesia: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya.”

Program ini bisa dijadikan pemicu bagaimana cara dan dari mana mulainya untuk mendapatkan ketersediaan pangan, khususnya beras karena komoditas utama program MBG, sementara beras kita masih impor. Begitu juga dengan susu dan lainnya sehingga ada wacana mengganti susu sapi dengan susu ikan yang menjadi polemik di minggu terakhir ini.

Jika ditanya dari mana mulainya, tentu kita jawab umum saja: ya berdaulat dulu atas sumber-sumber agraria, barulah kita dapat berdaulat atau mampu menyediakan pangan dalam hal ini beras sebagai fokus dalam tulisan kali ini. Bung Karno sudah memberikan empat hal utama yang harus dilakukan berdasarkan kondisi objektif dan subjektif Indonesia saat itu: pemupukan, menjalankan seleksi pada tanah kering, melipatgandakan perhewanan ternak dan mekanisasi (teknologi). Detailnya dapat dilihat pada naskah pidato peletakan Batu Pertama IPB pada 27 April 1952.

Bukan mengambil jalan keluar seperti yang disampaikan pihak Bulog dengan mencari peluang kerja sama impor beras dengan negara lain ketika Vietnam mengurangi jumlah ekspor berasnya. Begitu juga dengan rencana pemerintah untuk melakukan akuisisi perusahaan beras di Kamboja dengan alasan antisipasi ketersediaan beras bagi Indonesia saat mau impor, memperbaiki mekanisme impor dan menjadikan Bulog sebagai pemain global.  Ini mah kelihatan betul nuansa bisnisnya.

Rencana di atas kurang tepat.  Lebih baik dana akuisisi itu digunakan untuk subsidi petani dalam rangka melindunginya sebagai produsen maupun konsumen dengan harapan menjadikan petani itu tidak hanya sekedar mulia tetapi mampu memberikan penghasilan yang berlipat ganda, digemari semua kalangan hingga jumlah petani kita terus bertambah dan tentunya meningkatkan produksi beras agar tidak tergantung pada impor.

Usaha memperkuat produksi pangan, Kementerian Pertanian (Kementan) Republik Indonesia menggandeng Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam usaha Perluasan Areal Tanam (PAT) dengan melakukan optimasi lahan (Oplah) rawa 400 ribu hektar, pompanisasi sawah 1 juta hektar, dengan harapan, adanya transformasi pertanian dari tradisional ke pertanian modern di 250 ribu hektar; juga menggandeng Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) agar Pemerintah Daerah terutama hasil Pilkada serentak punya program peningkatan produksi padi (beras) sebagai salah satu komoditi pertanian yang menopang program MBG, kemudian  peningkatan kapasitas sumber daya petani.

Tidak hanya itu,  Kementan RI juga akan mencetak sawah 3 juta hektar dalam kurun empat tahun ke depan. Jika ditarik ke belakang, sebenarnya identik dengan program seleksinya Bung Karno. Bayangkan, baru sekarang kita lakukan dan menjadi catatan kita bersama: program cetak sawah ini hampir banyak bermasalah sehingga butuh pengawasan yang serius.

Selain program Oplah di atas, Joko Widodo dalam upaya back up program MBG Prabowo-Gibran menggelontorkan anggaran untuk lumbung pangan nasional 15 triliun yang teralokasi ke Kementerian PUPR 7,5 triliun dan Kementan RI 7,5 triliun yang diharapkan dalam pemenuhan program pangan Makan Bergizi Gratis.

Unsur alam bisa menjadi penghambat dan menjadi pendukung kemakmuran. Jadi pendukung bila berpadu dengan Sumber Daya Manusia yang bijak, jujur dan cakap.  Maka jadilah tenaga produktif yang bisa menghasilkan komoditi. Unsur alam itu iklim (cuaca).  Kita sudah saksikan dampaknya cukup serius. Ada 19 negara  mengurangi jumlah ekspor berasnya akibat efek domino El Nino yang menyebabkan kekeringan ekstrem dan mengganggu produksi pangan secara global yang berpengaruh kuat ke Indonesia dalam wujud keteteran beras. Selain itu di Zimbabwe, sampai-sampai menyembelih 200 gajah untuk atasi kelaparan; Ekuador melakukan pemadaman listrik di separuh provinsinya karena kekeringan yang telah menurunkan tingkat air pembangkit listrik (PLTA).

Cuaca, perannya tidak bisa kita abaikan dalam sektor pertanian karena  pertumbuhan dan perkembangan tanaman bergantung pada beberapa faktor; salah satunya  iklim yang harus dijadikan landasan penentuan kebijakan perencanaan penanaman pangan (padi) agar kita dapat mengatasi keteteran atas beras. Ditambah lagi dengan posisi geografis Indonesia yang cukup unik, diapit dua samudera, sehingga saat hadirnya musim El-Nino, ada wilayah yang akan terdampak kekeringan ekstrem, namun ada juga wilayah yang justru akan mengalami banjir.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan prediksi awal musim hujan di Indonesia pada tahun 2024 tidak dimulai secara bersamaan. Ada sebagian kecil wilayah sudah mulai musim hujan sejak bulan Agustus 2024 lalu. Sementara, sebagian wilayah lainnya baru terjadi September hingga November mendatang; waktu tanam padi ada kecenderungan bergeser. Petani di Nusa Tenggara Barat masih melakukan penanaman Padi rerata di Desember 2024, kemudian Jember Selatan Jawa Timur mundur ke Januari 2025.

Tidak hanya perubahan cuaca yang dihadapi petani, namun sarana produksi (Saprodi) pertanian seperti benih, pupuk, dan obat-obatan sebagai faktor pendukung suksesnya bercocok tanam; misalkan pupuk sebagian besar petani belum ada persedian. Harusnya di tangan petani selambat-lambatnya, November dan di pasaran sudah ada sejak Agustus. Pupuk yang langka  juga sering menjadi pemicu tidak maksimalnya hasil panen.  Pupuk subsidi ribet dalam penyalurannya, kadang-kadang harga tebusnya bertambah dengan alasan biaya mobilisasi, tenaga buruh; dampaknya faktor produksi jadi bertambah.

Kondisi yang dihadapi petani harus diantisipasi dengan baik dan tepat oleh pemerintahan Prabowo-Gibran, mulai dari konsep, bahkan lembaga serta regulasi yang jelas sebagai panduan bertindak agar masalah pangan (beras) lainnya teratasi dengan cara terpimpin di bawah Presiden.

Sebenarnya Badan Pangan Nasional (Bapanas) yang dibentuk Presiden Joko Widodo hajatannya untuk memastikan ketersediaan atas pangan.  Cuma sayang sekali lembaga ini tidak punya banyak kewenangan kecuali tiga hal yakni melaksanakan pengadaan, pengelolaan, dan penyaluran cadangan pangan yang hampir mirip tugasnya dengan Bulog yakni pengadaan dalam negeri, pengadaan luar negeri serta pengelolaan dan perawatan persediaan. Dua lembaga sama-sama berkelindan mengurus impor.

Sangat baik bila Bapanas diberikan tugas dan kewenangan mulai dari perencanan produksi dengan mengkoordinasikan beberapa Kementerian Pertanian, Kementerian PUPR agar terjadi modernisasi irigasi dan sarana prasarana lainnya; kemudian Kementerian Perindustrian dan Perdagangan guna memastikan jalannya produksi pupuk, benih yang kuantitasnya bersumber dari Rancangan Dasar Kebutuhan Kelompok (RDKK), begitu juga dengan BMKG, beberapa lembaga atau kementerian yang terpaut dengan penguatan pangan nasional.

Selanjutnya Bapanas disediakan anggaran dan kewenangan penggunaannya agar setiap saat dapat dikeluarkan sesuai kebutuhan lapangan. Misalkan saat menghadapi perubahan cuaca ektrem yang berubah begitu cepat maka dibutuhkan respon dengan sigap, cepat oleh segenap aparatus kita yang wajib ditopang oleh anggaran yang cepat dan memadai. Semua ini dalam usaha untuk kedaulatan pangan dengan fokus utama padi (beras).

 

Ahmad Rifai

Waketum DPP PRIMA.

 

 

 

[post-views]