Pilkada di Indonesia, sebagai manifestasi dari demokrasi langsung, idealnya adalah momentum rakyat untuk menyuarakan aspirasi dan memilih pemimpin yang mampu mewujudkan harapan mereka. Namun, praktik yang berlangsung justru sering kali berlawanan dengan cita-cita demokrasi yang luhur. Di balik kemeriahan kampanye, praktik politik uang telah merajalela, merusak integritas proses demokrasi dan mereduksi kedaulatan rakyat menjadi sekadar transaksi material. Fenomena ini tidak hanya terjadi di wilayah yang minim pengawasan, tetapi juga di kota-kota yang seharusnya menjadi benteng demokrasi yang bersih.
Salah satu contoh mencolok terjadi pada Kampanye Damai Pilkada Kota Pematangsiantar, 24 September 2024. Seharusnya, acara ini menjadi ruang bagi masyarakat untuk memahami visi dan misi para calon secara lebih mendalam, serta sebagai kesempatan untuk memperkuat kesadaran politik mereka. Namun, apa yang terjadi justru adalah pembagian uang oleh sejumlah pasangan calon kepada masyarakat yang hadir, bersembunyi di balik dalih “tradisi lokal” dalam sesi hiburan. Lebih ironis lagi, tindakan ini berlangsung di hadapan lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi penjaga integritas demokrasi, seperti Bawaslu dan KPU, yang bungkam dan abai. Ini bukan hanya kelalaian tugas, melainkan juga indikasi kuat bahwa demokrasi kita telah dijual kepada oligarki.
Dasar hukum yang melarang praktik politik uang dalam Pilkada sebenarnya sudah sangat jelas. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 pada Pasal 187A menyebutkan bahwa siapapun yang dengan sengaja memberikan uang atau materi lain kepada warga negara Indonesia untuk mempengaruhi pilihan politiknya bisa dipidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan, dengan denda minimal Rp200.000.000 hingga maksimal Rp1.000.000.000. Sanksi ini tidak hanya berlaku bagi calon, tetapi juga pemilih yang menerima suap. Selain itu, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 55 dan Pasal 149, tindakan penyertaan dalam tindak pidana termasuk politik uang dapat dihukum, baik kepada pemberi maupun penerima suap. Semua ketentuan ini seharusnya menjadi pedoman bagi para penyelenggara pemilu untuk menjaga moralitas dan kebersihan proses demokrasi.
Namun, kenyataan menunjukkan bahwa dasar hukum yang sudah tegas sering kali tidak diimplementasikan secara optimal. Lembaga-lembaga pengawas seperti Bawaslu dan KPU yang seharusnya menjadi benteng terakhir dalam menjaga demokrasi justru acap kali terjebak dalam kepentingan politik tertentu atau bersikap pasif terhadap pelanggaran yang terjadi. Diamnya lembaga-lembaga ini dalam kasus pembagian uang di Pilkada Pematangsiantar menunjukkan bahwa demokrasi kita telah mengalami degradasi moral yang serius. Pertanyaannya adalah, jika lembaga-lembaga ini sudah tak lagi dapat diandalkan, kepada siapa rakyat harus berharap?
EK-LMND (Eksekutif Kota Pematangsiantar Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi) melihat bahwa politik uang adalah bentuk penjajahan modern yang tidak lagi datang dari kekuatan asing, tetapi dari oligarki domestik yang secara sistematis menggerogoti demokrasi kita. Ini adalah bentuk penghinaan terhadap hak politik rakyat yang harus dilawan dengan segala cara. Kami menolak untuk membiarkan demokrasi terperangkap dalam jerat uang dan kekuasaan. Karena demokrasi sejati hanya bisa dibangun melalui integritas dan keterlibatan aktif rakyat, bukan melalui transaksi murahan yang menjual masa depan bangsa kepada para elite.
Solusi atas masalah ini adalah penegakan hukum yang tegas dan pendidikan politik yang masif. Undang-undang yang ada sudah cukup jelas, tetapi implementasinya yang lemah membuat praktik politik uang terus terjadi. Lembaga pengawas harus menjalankan fungsi mereka tanpa kompromi, sementara rakyat, terutama generasi muda, harus dibekali dengan pemahaman tentang bahaya politik uang. Ini bukan hanya soal moralitas, tetapi soal keberlangsungan demokrasi kita.
Kami percaya bahwa masa depan demokrasi Indonesia ada di tangan generasi muda yang berani menolak praktik politik uang. Mereka harus menjadi agen perubahan yang tidak hanya berpartisipasi dalam Pilkada, tetapi juga mengawasi jalannya proses demokrasi dan menolak segala bentuk kecurangan. Hanya dengan keberanian melawan oligarki, kita bisa mewujudkan demokrasi yang benar-benar berdaulat di tangan rakyat.
Saatnya bergerak, membangun kesadaran politik yang tinggi dan menegakkan keadilan dalam Pilkada. Demokrasi bukanlah ritual lima tahunan yang diselewengkan oleh elite politik. Ini adalah perjuangan harian untuk mempertahankan kedaulatan rakyat. Dan perjuangan ini harus kita menangkan, karena hari-hari esok adalah milik kita yang percaya pada demokrasi yang sejati.
Penulis: Yuda Christafari, (Ketua EK LMND Pematangsiatar)


