Bung Karno sejak 72 tahun yang lalu, tepatnya 15 tahun sebelum dijatuhkan pada Maret 1967 selanjutnya digantikan oleh diktator Orde Baru Jenderal Soeharto, berpesan soal beras, saat itu kita masih impor dari Siam dan Burma, harga beras saat itu melambung tinggi, hingga ada warga negara mengalami kelaparan.
Pesan itu ditujukan untuk kita semua dan secara khusus jadi pegangan buat mereka yang memegang kekuasaan “…bahwa orang-orang yang duduk dalam badan-badan pemerintahan harus bersedia menjadi kambing-hitam itu, yang kepalanya diturunkan segala hujan-hujan tuduhan yang segar-segar, yakni harus bersedia dijadikan orang yang selalu dihantam…” dan situasi itu belum bergeser jauh, kita sampai saat ini masih impor beras dan harga beras dalam negeri hampir lebih banyak naiknya.
Badan Pusat Statistik (BPS) di Januari-Agustus 2024 menyampaikan Indonesia impor beras 3,05 juta ton dengan nilai US$ 1,91 miliar, meningkat tajam hingga 121,34% dibanding Januari-Agustus 2023. Negara asal impor di antaranya masih Thailand yang dulunya Siam dengan kuantitas tentunya bertambah menjadi 1,13 juta ton senilai US$ 734,78 juta, lalu Vietnam 0,87 juta ton senilai US$ 542,86 juta dan Pakistan 0,46 juta ton senilai US$ 290,56 juta.
Dengan harga beras yang cenderung naik, Badan Pangan Nasional (BAPANAS) pada 18 September 2024 menyampaikan harga beras premium naik Rp 20 menjadi Rp 15.560 per kilogram (kg). Kemudian beras medium tercatat naik Rp 20 menjadi Rp 13.590 per kg. Indonesia selalu masuk dalam lubang yang sama, seperti ancaman kelaparan. Menurut Andi Amran Sulaiman selaku Menteri Pertanian RI selama 3 bulan ke depan (Juli, Agustus, September) rawan krisis kelaparan dan bisa memengaruhi 7-16% penduduk. Ini artinya sekitar 19.712.266-45.056.608 jiwa rawan kelaparan dari total jumlah penduduk Indonesia yang pada 2024 mencapai 281.603.800 jiwa. Jika demikian situasinya, Indonesia dapat disebut dalam situasi darurat pangan. Prabowo-Gibran dengan Zaken Kabinet harus mampu mengatasi urusan beras dan pangan lainnya, sehingga Indonesia tidak lagi bergantung pada negara lain (Impor). Itulah jalan menghindari hujatan seperti yang disampaikan Bung Karno.
Bung Karno di momentum yang sama mengingatkan juga tentang kemungkinan perang dunia ketiga yang dapat mengganggu pangan Indonesia, berikut yang disampaikan “…kalau misalnya peperangan dunia ketiga meledak, entah besok entah lusa, dan perhubungan antara Indonesia dan Siam dan Burma terputus karena tiada kapal pengangkutan, — dari mana kita mendapat beras?” Yang disampaikan itu berpotensi terjadi, mengingat perang Rusia-Ukraina, Timur Tengah (Timteng) saat ini dalam kondisi yang tidak stabil.
Begitu juga dengan perang Israel-Palestina memicu keterlibatan beberapa milisi seperti Houthi di Yaman dan Hizbullah di Lebanon serta negara-negara seperti Iran dan Suriah yang semakin meluas, tidak menutup kemungkinan merembet ke negara-negara Asia yang sejak awal sudah ada bibit konflik seperti di Laut China Selatan, Tiongkok dengan Taiwan, Afganistan, India dengan Pakistan, Myanmar dengan situasi internalnya.
Keteteran Indonesia atas beras jadi fakta, walaupun hubungan kita dengan Thailand, Vietnam belum putus, namun kita merasakan dampaknya ketika Vietnam salah satu dari 19 negara yang mengurangi jumlah ekspor beras akibat efek domino El Nino yang menyebabkan kekeringan ekstrem dan mengganggu produksi pangan secara global. Selain itu Vietnam sedang fokus menyiapkan pangan di dalam negerinya dan beradaptasi dengan perubahan iklim serta dalam usaha meningkatkan ekspor beras berkualitas realisasi di tahun 2030.
Situasi alam dan dunia yang terus bergerak seharusnya jadi pijakan para pemimpin kita untuk meningkatkan jumlah produksi beras, mengingat dari 12 kelompok komoditas pangan, beras menduduki posisi paling utama yang menjadi tolak ukur satu orang atau rumah tangga disebut cukup pangan. Bila mendengar rumah tangga tidak ada berasnya sudah dapat diartikan tidak dapat makan (miskin), begitu juga bila tidak makan nasi (beras) belum dikatakan sudah makan.
Sementara itu penduduk miskin di Indonesia pada semester pertama tahun 2024 masih mencapai 25, 22 persen, tersebar di desa sebesar 13, 58 persen dan kota 11,64 persen (BPS, 1 Juli 2024). Di sisi lain, sektor pertanian penyerap tenaga kerja terbesar. Jumlahnya mencapai 38,14 juta orang di Februari tahun 2023.
Mengatasi kemiskinan itu mutlak dibutuhkan campur tangan pemerintah dalam wujud politik pertanian yang terpimpin, tersentral, dirumuskan secara musyawarah mufakat dan dilaksanakan secara gotong-royong, mengingat rantai kemiskinan begitu kusut, hampir-hampir tak berpangkal. Inilah timbal balik dari Indonesia yang mengalami perkembangan sementara sumber daya manusia maupun alam belum terkoordinasi, terkelola dengan baik.
Selamat Hari Tani Nasional yang Ke-64 Tahun
Ahmad Rifai (Waketum DPP PRIMA)
Foto : Diambil dari Bing Image Creator


