Disinformasi dan fabrikasi yang merupakan penyebaran informasi palsu dengan maksud menipu atau memengaruhi opini publik telah menjadi ciri dalam wacana publik modern. Dampaknya terasa terhadap hidup sosial manusia. Sejarah panjang menunjukkan bahwa penyebaran informasi tidak akurat telah mencederai kemanusiaan dan mengancam demokrasi, mulai dari kampanye anti semit hingga konspirasi 9/11, penindasan etnis Rohingya di Myanmar etnis Meitie dan Kuki di pelosok India, upaya referendum kaum Aborigin di Australia hingga serangan dan penculikan Hamas yang dibalas dengan genderang perang penumpasan terhadap kelompok tersebut dari Israel.
Berita palsu seputar Black Lives Matter (BLM) yang terjadi pada bulan Februari 2012 memiliki dampak negatif pada organisasi tersebut dan bahkan meningkatkan prasangka serta rasisme terhadap orang Afrika-Amerika. Sebuah penelitian pada tahun 2022 menemukan bahwa paparan terhadap berita palsu tentang BLM menyebabkan peningkatan sikap negatif terhadap orang kulit hitam, dibandingkan dengan mereka yang terpapar sumber berita yang akurat. Penelitian ini menyoroti dampak berita palsu terhadap persepsi masyarakat terhadap orang kulit hitam di Amerika. Sebagai upaya untuk memerangi berita palsu, Black Lives Matter telah mengalokasikan sebuah tab di situs web mereka yang berjudul “Help Us Fight Disinformation” agar orang dapat melaporkan situs dan berita mencurigakan yang mereka temui online.
Di Cina, banyak warga percaya bahwa pemerintah mereka mempekerjakan sekitar 2 juta orang, yang dikenal sebagai Partai 50c, untuk menyebarkan propaganda di media sosial dan situs web pemerintah. Partai 50c dikabarkan menerima bayaran sebesar 50 sen untuk setiap postingan media sosial palsu yang mereka buat. Pada Juli 2016, para peneliti yang mempelajari Partai 50c menggunakan email pemerintah yang bocor yang berisi 43.000 unggahan mereka menemukan bahwa pegawai Partai 50c menghasilkan sekitar 448 juta postingan per tahun.
Disinformasi menjadi realitas modern di Australia, dengan kampanye yang hampir setiap minggu mencoba memengaruhi debat publik. Fokus utamanya saat ini adalah Referendum Australia yang akan memberikan suara kepada Aborigin di Parlemen. Klaim palsu yang mencuat di September 2023 mengenai Pernyataan Uluru, yang digambarkan sebagai “teori konspirasi,” menyebar secara online dan offline. Meskipun dokumen tersebut hanya satu halaman, banyak politisi dan komentator politik mengulangi klaim bahwa itu berukuran 26 halaman.
Masalah berita palsu lebih pilu di Myanmar. Di sana, Facebook menjadi tempat berkembang biak untuk postingan merusak tentang Rohingya, kelompok etnis minoritas. Terutama, saluran pemerintah di Myanmar menjadi sumber utama penyebaran propaganda, menyebarkan informasi palsu mulai dari tuduhan bahwa Rohingya membakar desa mereka sendiri hingga memperlihatkan mayat tentara yang sebenarnya mungkin berasal dari konflik lain, tetapi diatribusikan sebagai hasil serangan Rohingya.
Dilansir sesudah kejadian 11 Maret 2021 ketika 21 warga sipil disiksa, ditembak dan dibunuh di biara Nam Nein di kota Pinlaung dengan korban termasuk seorang wanita, tiga biksu Buddha dan 18 pria, di bawah terik matahari, seorang biksu Pa-O berorasi pada demonstrasi tersebut dan mencanangkan orang Karenni sebagai ras yang lebih rendah, menggambarkan Karenni National Defense Force (KNDF) dan Pasukan Pertahanan Rakyat secara umum lebih buruk daripada ISIS. Biksu Pa-O lainnya menyerukan ajakan pembakaran desa-desa Karenni jika KNDF tidak menghentikan kekerasan yang dituduhkan.
Serbuan Rusia ke Ukraina, yang menyandang julukan sebagai Perang Dunia Kabel, menciptakan gelombang informasi yang dipelintir di media sosial. Meskipun banyak akun media sosial berasal dari individu otentik, kekhawatiran tentang jumlah berita palsu di platform tersebut tampak meruncing. Sebuah investigasi oleh NewsGuard’s Misinformation Monitor pada Maret 2022 melaporkan bahwa dalam 40 menit setelah bergabung dengan TikTok, sejumlah akun menampilkan konten yang menyesatkan tentang perang di Ukraina dengan klaim pro-Rusia dan pro-Ukraina, yang semuanya ternyata salah. Sementara perang berlanjut, berita palsu terus menyebar di berbagai platform media sosial.
Media yang bias, disinformasi dan berita palsu memicu kebencian dan bentrokan etnis antara Meitie yang beragama Hindu dan Kuki yang beragama Kristen di sebuah daerah terpencil di India. Manipur, sebuah negara bagian di timur laut India dengan populasi sekitar tiga juta jiwa, telah menjadi tempat terjadinya kekerasan etnis dan bentrokan selama bertahun-tahun karena masalah hak atas tanah dan kuota pekerjaan. Pada bulan Mei 2023, kekerasan meningkat dan menimbulkan kekacauan ketika pengadilan memutuskan bahwa pemerintah negara bagian harus memberikan status kesukuan terjadwal kepada komunitas Meitie yang merupakan kelompok mayoritas. Kekerasan tersebut telah menewaskan lebih dari 180 orang, melukai banyak orang, dan membuat 70.000 orang mengungsi. Perempuan dan anak-anak terkena dampak yang tidak proporsional.
Serangan Hamas yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Israel pada tanggal 7 Oktober 2023 dan perang Hamas-Israel yang sedang berlangsung di Gaza sekali lagi menunjukkan dampak yang sangat besar dari disinformasi dan informasi yang salah di era digital. Lanskap digital menjadi pusat pandemi disinformasi. Kasus yang baru-baru ini terjadi adalah penyebaran video yang diduga menggambarkan serangan udara Israel. Namun, setelah diteliti lebih lanjut, ternyata video-video tersebut diambil dari video game, terutama Arma 3.
Media-media arus utama juga mengalami hal yang sama dengan rekaman palsu. Sebuah video yang diproduksi diklaim menunjukkan laporan BBC yang menyatakan bahwa senjata yang diberikan oleh NATO kepada Ukraina telah dijual kepada Hamas. Peredaran konten tersebut terus menyebar meskipun BBC menyangkal adanya laporan tersebut. Terakhir, Kedutaan Besar AS di Lebanon harus mengeluarkan pernyataan yang menyangkal bahwa kedutaan tersebut dievakuasi setelah laporan palsu menarik perhatian di dunia maya.
Indonesia tidak luput dari ancaman disinformasi dan fabrikasi ini. Bentrok di Bitung, Sulawesi Utara, Sabtu (25/11) menjadi salah satu indikasi ‘kecil’ dari raksasa jahat yang tidur yang suatu saat akan bangun. Sebuah youtube media sosial menampilkan keberingasan peristiwa tersebut dengan unggahan deskripsi “Saat Malam Hari, kumpulan masyarakat yang atas namakan bela palestina mengamuk, dikarenakan sudah ada korban jiwa saat aksi damai di siang harinya”. Fakta yang terjadi adalah korban yang meninggal berasal dari kelompok yang berseberangan, bukan dari kelompok yang mengamuk. Tampak media tersebut memiliki intensi lain dari pada menyampaikan fakta.
Eropa dan Australia telah memulai perjuangannya dalam mengatasi disinformasi dan fabrikasi yang menghebat di abad kejayaan teknologi informasi mutakhir.
Saat ini Uni Eropa memperjuangkan transparansi dan akuntabilitas perusahaan teknologi melalui DSA, ini bukan hanya langkah regulasi, tetapi juga usaha untuk menjaga demokrasi dan wacana publik selama krisis, terutama dalam era berbagi informasi instan di mana tindakan cepat diperlukan untuk melawan disinformasi. Contoh seperti perang Israel-Hamas menunjukkan bahwa konsekuensi dari informasi palsu bisa sangat drastis, memperluas konflik dan menyebabkan penderitaan yang nyata.
Sementara itu di Australia, pemimpin kota dan staf di semua tingkatan sedang menghadapi tantangan baru dalam merespons disinformasi, terutama menjelang pemilihan umum pemerintah daerah di Victoria dan New South Wales. Melbourne Centre for Cities baru-baru ini meluncurkan kampanye untuk menyusun buku pedoman bersama dengan pemerintah daerah agar dapat merespons disinformasi secara konstruktif dan efektif tanpa mengurangi hak-hak demokratis dan keterlibatan masyarakat. Mereka mengundang pejabat kota, peneliti multidisiplin, dan ahli disinformasi dari dalam dan luar Australia untuk berpartisipasi dalam proses perancangan bersama melalui tiga lokakarya pada awal tahun 2024, dan pendaftaran untuk berpartisipasi saat ini sudah dibuka.
27 November 2023
Lino Sanjoyo – Aktivis Pengungsi
Sumber Foto :Unsplash.com


