Olympe de Gouges, Singa Betina Revolusi Perancis

Revolusi sering ditulis dengan nama-nama besar yang didominasi laki-laki. Nama-nama perempuan hanya menyempil, yang itu pun kadang ditempatkan di garis belakang revolusi. Tidak terkecuali Revolusi Perancis.

Padahal, pada revolusi terbesar di abad ke-18 itu, ada banyak perempuan yang tampil ke muka. Salah satu nama besar yang patut dikenang adalah Olympe de Gouges.

Penulis Radikal

Lahir dengan nama Marie Gouze, pada 7 Mei 1748, de Gouges sudah jatuh cinta dengan dunia tulis-menulis sejak kecil. Dia menikah muda di usia 16 tahun dengan seorang laki-laki yang lebih tua.

Namun, setelah kelahiran anak pertamanya, suaminya meninggal. de Gouges menolak menggunakan menempelkan nama suaminya di nama belakangnya. Ia juga menolak untuk menikah lagi.

Sejak itu de Gouges mulai aktif menulis. Dia banyak menulis naskah drama. Karya pertamanya, Mémoire de Madame de Valmont, ditulis pada 1784. Karya keduanya, Zamore et Mirza, ou l’Heureux naufrage (1784), merupakan naskah drama orang Perancis yang membahas soal perbudakan.

de Gouges merupakan salah satu penulis pertama Perancis yang berbicara tentang perlunya penghapusan perbudakan di koloni-koloni Perancis. Karena itu, banyak yang menyebut de Gouges sebagai abolisionis.

Karya lainnya, L’Homme Généreux (1786), berbicara tentang hak-hak perempuan. Dari 40-an naskah drama yang ditulis de Gouges, sebagian besar berbicara tentang hak-hak perempuan dan penghapusan perbudakan.

Pembela Hak-Hak Perempuan

Selain menulis naskah drama, de Gouges juga banyak menulis famplet politik. Dia banyak menulis famplet tentang hak-hak politik warga negara.

Pada 1791, dia mulai menjadi bagian dari perkumpulan-perkumpulan diskusi, yang umumnya sebuah salon, yang menjamur menjelang revolusi Perancis. 

Tahun itu juga dia menulis famplet politik berjudul “Déclaration des Droits de la femme et de la citoyenne” sebagai reaksi terhadap Deklarasi HAM dan Warga Negara (Déclaration des droits de l’Homme et du citoyen de 1789), yang mengabaikan hak-hak perempuan dalam negara pasca revolusi Perancis.

Menurutnya, revolusi tidak bisa dianggap berhasil manakala hak-hak perempuan belum diakui dalam masyarakat. Sikapnya yang mengedepankan hak-hak perempuan membuat jengkel para revolusioner laki-laki, seperti Jean-Paul Marat, Georges Danton, dan Maximilien Robespierre.

Tak lama kemudian, dia juga menulis kontrak sosial yang mengambil pelajaran dari Jean-Jacques Rousseau, yang mengharuskan pernikahan berbasis kesetaraan hak laki-laki dan perempuan.

Singa Betina Revolusi Perancis

Suara keras de Gouges lewat famplet dan naskah dramanya ternyata bisa menggerakkan orang. Pemberontakan budak meletus di sejumlah koloni Perancis, seperti Haiti. 

Meski seorang revolusioner dalam gagasan, de Gouges menolak penggunaan kekerasan, apalagi pembunuhan dan pertumpahan darah atas nama revolusi. Dia menolak eksekusi mati raja Louis XVI. Sikapnya itulah yang dianggap menentang revolusi.

Puncaknya, pada 1793, seiring dengan famplet politiknya yang makin nyaring mengeritik arah jalannya revolusi, de Gouges dikaitkan dengan faksi Girondin.

Ia kemudian ditangkap dan diadili. Pada November 1793, pengadilan menjatuhkan hukuman mati. de Gouges, perempuan yang ingin meluruskan jalannya revolusi, dituduh penghasut dan hendak mengembalikan monarki. 

Pada 3 November 1793, dia dihukum mati dengan guillotine. Dia merupakan perempuan perancis kedua yang dihukum pancung dengan Guillotine.

Sukarno, presiden RI yang pertama, mengagumi Olympe de Gouges lewat bukunya Sarinah (1947). Dia menyebut Olympe de Gouges sebagai singa betina revolusi Perancis.

RINI HARTONO

[post-views]