Presiden Joko Widodo baru saja mengumumkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), Sabtu (3/9/2022). Kebijakan itu, seperti sebelum-sebelumnya, memicu aksi protes berskala besar.
Sejak dua hari ini, protes menolak kenaikan harga BBM meledak di seantero tanah air. Berbagai lapisan sosial, dari mahasiswa, sopir angkot, ojek, hingga rakyat biasa, turun ke jalan.
Pernah terjadi dalam sejarah, aksi protes kenaikan harga BBM memicu kerusuhan besar. Efek politiknya berskala besar dan berjangka panjang. Bahkan, kejadian itu memicu pemberontakan militer dan perubahan politik beberapa tahun kemudian.
Sejarah mencatat kejadian itu dengan sebutan Caracazo. Itu terjadi di kota Caracas, Ibu kota Venezuela, pada 27 Februari 1989. Nah, bagaimana ceritanya?
Pada pertengahan 1980-an, harga minyak dunia anjlok drastis dari 30 USD per barel menjadi 10 USD per barel. Venezuela, negeri yang menggantungkan ekonominya pada minyak, sangat terpukul oleh anjloknya harga minyak dunia itu.
Utang Venezuela menumpuk. Di sisi lain, ruang fiskal untuk belanja negara makin menipis. Untuk mencegah krisis lebih mendalam, Presiden Venezuela kala itu, Jaime Lusinchi, terpaksa meminta uluran tangan Dana Moneter Internasional (IMF).
Pada Desember 1988, Venezuela menggelar pemilu. Carlos Andrés Pérez, capres dari partai Aksi Demokrasi (AD), memenangi pemilu dan terpilih sebagai Presiden. Dia memulai jabatannya pada 2 Februari 1989.
Hanya menghitung hari pasca dilantik, Pérez menerima skema yang didiktekan oleh IMF untuk mengatasi krisis ekonomi: mencabut subsidi, privatisasi BUMN, menghapus pajak impor, dan lain-lain.
Singkat cerita, pada 15 Februari 1989, Pérez mengumumkan penghapusan subsidi BBM. Harga BBM pun naik 100 persen, disusul kenaikan harga barang yang lain. Tarif angkutan umum juga melonjak 30 persen.
Rakyat Venezuela pun menjerit. Hari itu, 27 Februari 1989, tarif baru angkutan umum memicu protes. Bermula di Guarenas, kota kecil di negara bagian Miranda, berjarak 30 kilometer dari Caracas, rakyat biasa menggela aksi protes.
Guarenas merupakan tempat tinggal sebagian besar pekerja dan pelajar yang bekerja dan belajar di Caracas. Para pelajar dan pekerja menolak membayar sesuai tarif baru.
Menjelang siang hari, protes mulai menyebar ke kota Caracas. Bermula dari sebuah terminal bus di Nuevo Circo, para pelajar dan pekerja menggelar aksi protes. Tak menunggu lama, rakyat biasa ikut serta dalam aksi protes itu.
Menjelang sore, jalanan di Ibu kota Caracas disesaki oleh rakyat biasa yang marah. Di beberapa tempat, kemarahan itu menyulut penjarahan dan pembakaran. Asap hitam mulai membumbung tinggi di atas kota Caracas.
Presiden Pérez pun bereaksi. Dia mengirimkan tentara untuk membungkam aksi protes itu. Bukannya bernegosiasi, polisi dan tentara justru mengedepankan senjata. Banyak pemrotes dan rakyat biasa yang menjadi korban.
Malam harinya, demi mengendalikan situasi, pemerintahan Pérez memberlakukan jam malam dan darurat militer. Tentara dan polisi dikerahkan ke pemukiman warga—di Venezuela disebut “barrio”—untuk mencegah siapa pun untuk tidak keluar rumah.
Esok harinya, larangan protes berlaku. Jalan-jalan berada di bawah kendali polisi dan tentara. Kejadian itu tak hanya berlaku di Caracas, tetapi juga kota-kota lain di negara bagian.
Akan tetapi, larangan aksi protes dan represi tak menghentikan perlawanan. Demonstrasi terus berlangsung hingga 8 Maret 1989 (berlansung selama 9 hari).
Tidak ada data pasti soal korban jiwa dalam peristiwa itu. Data pemerintah menyebut korban jiwa berjumlah 277 orang. Tetapi versi tidak resmi menyebut korban jiwa hingga 2000 jiwa.
Meski pemerintah berhasil menindas aksi protes itu, tetapi dampak politiknya tak tertanggulangi. Kejadian itu memicu sekelompok tentara, yang menamai dirinya Pergerakan Revolusioner Bolivarian 200 (MBR-200), untuk melancarkan kudeta militer.
Pada 4 Februari 1992, MBR-200 di bawah pimpinan Letnan Kolonel Hugo Chavez melancarkan kudeta. Chavez bersama 6000-an mengepung Istana Presiden. Tujuan mereka: menangkap Presiden Pérez.
Namun, aksi kudeta gagal. Presiden Pérez berhasil melarikan diri. Setelah hari ke-4, Chavez menyerah. Dia bersama 300-an orang pasukannya dijebloskan ke penjara.
Akan tetapi, kudeta itu telah mengerek popularitas Chavez. Dia menjadi pahlawan baru. Begitu keluar dari penjara, ia segera mengubah MBR-200 menjadi gerakan politik: Pergerakan untuk Republik Kelima (MVR).
Pada tahun 1998, Venezuela menggelar pemilu. MVR ikut serta dan mengusung Chavez sebagai capresnya. Hasilnya: Chavez dan MVR menang pemilu. Sejak itu, sejarah Venezuela mulai ditulis ulang.
RAYMOND SAMUEL


