Hari Rabu (27/7/2016), Presiden Joko Widodo mengumumkan perombakan atau reshuffle kabinet. Sudahkah wajah baru Kabinet memenuhi harapan rakyat?
Pada pertengahan November 2015, Lembaga Survei Jakarta merilis hasil survei terkait penilaian publik atas kinerja menteri Kabinet Kerja. Ada lima Menteri yang dinilai punya kinerja terbaik, yaitu Susi Pudjiastuti, Anies Baswedan, Rizal Ramli, Khofifah Indar Parawansa dan Yuddy Chrisnandi. Kemarin, tiga dari lima Menteri itu ditendang dari Kabinet Kerja.
Sebaliknya, jauh sebelum reshuffle, publik sudah mengungkapkan ketidakpuasan terhadap sejumlah Menteri. Ada yang karena dianggap tidak kompeten. Ada yang karena sering melontarkan pernyataan kontra-produktif dan menyakiti perasaan publik. Sebut saja diantaranya: Puan Maharani, Rini Soemarno, Nila F Moeloek dan Yohana Yembise. Namun, tidak satupun dari mereka yang terkena perombakan.
Yang lebih janggal lagi, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu tetap aman di posisinya. Padahal, mantan Jenderal yang memimpin Operasi Militer di Aceh itu terang-terangan membangkang perintah Presiden Jokowi terkait pencarian dan pembongkaran kuburan massal korban 1965. Bukankah Presiden Jokowi bicara menginginkan Kabinet yang solid?
Banyak harapan yang buyar. Menteri yang diusulkan diganti ternyata tidak diganti. Sementara menteri yang masih disukai, yang kinerjanya dianggap memuaskan, justru diganti. Penunjukan Menteri juga bukan karena kompetensi, tetapi karena kepentingan membayar utang dukungan politik.
Namun, bukan itu yang paling memupuskan harapan. Tetapi justru yang paling memupuskan harapan kita adalah agenda ekonomi-politik di balik reshuffle ini.
Melihat komposisi baru Kabinet Kerja hasil reshuffle Jilid II, saya menyebutnya “konsolidasi kapital”. Maksudnya, reshuffle ini justru untuk menguatkan kepentingan kapital.
Bagaimana reshuffle mendukung konsolidasi kapital? Pertama, dukungan kebijakan. Bagaimanapun, konsolidasi kapital ini membutuhkan dukungan kebijakan. Untuk itu, reshuffle memastikan orang-orang yang bisa merumuskan kebijakan yang selaras dengan kepentingan kapital.
Untuk itulah Sri Mulyani (SMI), salah satu arsitek neoliberal di era SBY, dipanggil pulang untuk mengisi posisi Menteri Keuangan. Dia akan tandem dengan Darmin Nasution dalam memimpin kebijakan ekonomi Jokowi-JK kedepan.
Masalahnya, seperti ditulis ekonom Drajad Wibowo, SMI adalah pendukung Konsensus Washington, yang di dalamnya terselip agenda neoliberalisme seperti liberalisasi pasar, deregulasi, liberalisasi investasi, privatisasi, disiplin fiskal dan lain sebagainya.
Dan kita jangan lupa, Konsensus Washington ini merupakan paket kebijakan yang sangat dibutuhkan oleh kekuatan kapital, khususnya kapital asing. Ini menjadi senjata mereka untuk menguasai ekonomi dunia ketiga.
Di Kementerian ESDM, Sudirman Said memang diganti. Dan harusnya memang begitu. Tetapi penggantinya, Archandra Tahar, tidak jauh berbeda. Alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) ini adalah salah satu pengusul off shore blok Masela, yang diingin oleh operator asing: Inpex dan Shell. Beda orang, tetapi mazhab-nya sama.
Ironisnya, Rizal Ramli ditendang keluar dari Kabinet. Kita tahu, semasa menjabat Menko Kemaritiman, dia banyak mengepret kepentingan kapital. Terutama dalam proyek Reklamasi dan pembangunan kilang Blok Masela.
Kedua, konsolidasi kapital butuh jaminan keamanan. Tenang, Presiden Jokowi sudah menunjuk orang yang tepat: Wiranto. Dia adalah petinggi militer di era Orde Baru. Dia berpengalaman memukul gerakan rakyat dan pro-demokrasi di era itu. Dan jangan lupa, dia juga pencetus ide Pam Swakarsa—milisi sipil yang dipersenjatai untuk memukul mahasiswa dan rakyat.
Upaya pengamanan kepentingan investasi juga terlihat dari penempatan baru Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Menteri Koordinator Kemaritiman. Ketika menjabat Menko Polhukam, Luhut tak segan-segan ingin mem-“buldozer” dan melibas siapapun yang menghambat investasi. Sekarang dia ditugasi mengurus “kekacauan” di sektor kemaritiman. Pesannya: berhati-hatilah kalian yang menentang proyek reklamasi!
Ketiga, konsolidasi kapital butuh stabilisasi politik. Saya kira, reshuffle kabinet juga berhasil memenuhi tujuan ini. Hampir semua partai pendukung pemerintah mendapat jatah posisi Menteri. Jatah PKB dan Nasdem tidak berkurang, hanya ganti orang. Sedang jatah Hanura berkurang, tetapi Ketua Umumnya diangkat jadi Menko Polhukam.
Tak kalah pentingnya, dua partai dari kubu oposisi (KMP), PAN dan Golkar, akhirnya mendapat tempat di Kabinet. Artinya, hampir semua kekuatan politik sudah berada di bawah tenda besar koalisi politik pemerintah berkuasa.
Dengan begitu, nyaris tidak ada lagi hambatan bagi agenda politik pemerintah di parlemen. Kegaduhan dan tarik-menarik kepentingan politik, seperti yang mewarnai Kabinet sebelumnya, juga bisa diredam.
Terakhir, bagi saya, reshuffle kali ini justru membuktikan bahwa Jokowi-JK belum menjadi antitesa terhadap rezim sebelumnya. Malahan, dengan masuknya Sri Mulyani dan Wiranto, dia merupakan kombinasi dari SBY dan Orba.
Dan saya kira, ini jelas memunggungi cita-cita Trisakti dan Nawacita.
Kalau sudah begitu, masih adakah harapan? Untuk saya pribadi, yang bermimpi negeri ini berdiri tegak karena visi Trisakti, nyaris kehilangan harapan.
Rauzan Fikrie


