Soal Demo Sopir, Aktivis Buruh: Pangkalnya Adalah Hubungan Kerja Yang Tidak Jelas

Aksi massa ribuan sopir taksi dan angkutan umum menentang transportasi online, seperti Uber dan Grabcar, Selasa (22/3/2016), yang berujung bentrokan fisik dan perusakan, mengundang keprihatian banyak pihak.

Ketua Umum Federasi Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia (FSBTPI) Ilham Syah mengatakan, bentrokan fisik antara supir, yakni antara sopir konvensional dengan sopir aplikasi online, menunjukkan kebobrokan sistem dan pelayanan transoprtasi umum di Indonesia.

Menurut dia, persoalan mendasar yang dihadapi buruh trasportasi atau sopir adalah persoalan hubungan kerja. Di mata Organisasi Angkutan Darat (Organda), hubungan kerja antara pengusaha angkutan dengan supir bukan pekerja atau karyawan, melainkan mitra.

“Di situlah semua persoalan yang dialami oleh pekerja transportasi itu bermula,” ujar Ilham.

Karena sopir dianggap mitra, kata Ilham, mereka tidak mendapatkan hak-hak normatif, seperti upah bulanan, upah lembur, tidak dilibatkan program BPJS, dan dapat dipecat kapan saja.

Sudah begitu, lanjut Ilham, kebanyakan perusahaan menerapkan sistim setoran atau komisi, sehingga tidak ada kepastian pendapatan bagi sopir atau pekerja transportasi.

“Kita sering dengar sopir kebut-kebutan karena kejar setoran. Dan apabila setoran tidak tercapai, maka supir yang harus nombokin,” ungkapnya.

Menurut Ilham, di tengah ketidakpastian pendapatan, ditambah lagi hadirnya taksi aplikasi online, supir taksi konvesional pun resah. Inilah yang mendorong mereka melakukan pemogokan.

“Sopir plat kuning tidak akan begitu resah apabila mereka mempunyai upah bulanan dan jaminan sosial lainnya, meskipun ada saingan baru,” tandasnya.

Ilham menegaskan, terkait persoalan ini, pemerintahlah yang harus bertanggung-jawab. Belakangan ini, pemerintah justru meliberalisasi sektor transportasi dan mematikan PPD secara perlahan.

“Transportasi publik lalu di serahkan pada swasta. Tetapi swasta sendiri tidak memprioritaskan pada anggkutan masal seperti bus, tapi lebih banyak angkutan perorangan seperti taksi,” jelasnya.

Untuk mengatasi itu, Ilham mengajukan dua solusi. Pertama, pemerintah harus memastikan hubungan kerja para pekerja transportasi dan hak-hak normatifnya. Kedua, pemerintah harus menjadi fasilitator atau penyedia utama angkutan publik yang nyaman, aman, dan murah.

Mahesa Danu

[post-views]