Delapan puluh tahun Indonesia merdeka. Wah, kalau ini manusia, udah bisa jadi sesepuh RT yang tiap pagi ngasih makan burung, tiap sore ngajak cucu naik sepeda keliling gang sambil pakai daster batik. Tapi sayangnya, negara bukan simbah-simbah. Negara harus terus waras, adil, dan mikirin masa depan rakyat — bukan sekadar nostalgia zaman Proklamasi sambil nyanyi “Hari Merdeka” dengan semangat 17-an yang cuma hidup dua hari.
Nah, ngomong-ngomong soal merdeka, mari kita nyebrang dikit ke Eropa abad ke-18. Waktu itu, rakyat Prancis bangkit. Capek jadi ATM-nya bangsawan dan raja. Roti mahal, pajak gila-gilaan, hidup makin susah. Akhirnya mereka bilang: “Liberté, Égalité, Fraternité!” — yang artinya: “Woi, kami juga pengin hidup layak, ya!”
Karl Marx, yang waktu itu belum lahir (tapi akhirnya komentar juga di kemudian hari), ngeliat revolusi ini kayak nonton film: dramatis, penuh aksi, tapi ending-nya plot twist. Kata Marx, yang tumbang memang raja, tapi yang naik tahta adalah kelas borjuis — pemilik modal. Alias: rakyat berhasil gulingin raja, tapi yang duduk di kursi empuk malah bos-bos yang hobinya mepetin UMR. Revolusi macam apa itu?
Indonesia? Mirip. Kita usir penjajah, merdeka tahun 1945, terus bangun negara. Tapi setelah 80 tahun, rakyat masih harus ngantri minyak goreng, disuruh bersyukur meski hidup pas-pasan, dan dituduh malas kalau miskin. Ada juga yang percaya bahwa kaya itu karena “rajin” dan miskin itu “karma buruk” — padahal kadang itu karena sistemnya udah disetting buat bikin orang kecil tetap jongkok.
Kalau kamu nanya, “Lho, kok bisa?” Nah, mari kita panggil Antonio Gramsci, teoritikus dari Italia yang hobi mikir di penjara. Gramsci bilang: dominasi bukan cuma pakai pentungan. Tapi juga pakai ideologi. Dibungkus cakep, masuk lewat kurikulum, sinetron, omongan ustaz sampai influencer. Jadinya, ketimpangan sosial dianggap wajar, bahkan alami. Rakyat dicekoki ide bahwa hidup susah itu nasib, bukan hasil dari struktur ekonomi-politik yang timpang.
Dan kalau kamu merasa “kok kayaknya negara ini dikuasai elite sendiri terus ya?”, jangan khawatir, kamu nggak gila. Itu memang pernah dibahas sama Frantz Fanon, dokter sekaligus revolusioner asal Aljazair. Menurut Fanon, setelah penjajah angkat kaki, yang sering naik ke kursi kekuasaan adalah elite lokal yang meniru gaya penjajah. Bukan revolusi, tapi franchise kolonialisme lokal. Isinya sama, cuma logonya aja beda.
Jadi, ketika kita nyanyi “merdeka, merdeka!”, pertanyaannya bukan cuma “merdeka dari siapa”, tapi juga merdeka untuk siapa. Kalau yang merdeka cuma grup WhatsApp para pemilik konsesi tambang, ya rakyat cuma diajak nonton dari tribun.
Sekarang bayangkan: sudah 80 tahun merdeka, tapi petani masih dibikin repot soal pupuk, buruh disuruh bersyukur meski kontrak 3 bulan, dan mahasiswa dikira idealis hanya karena punya jaket almamater.
Maka dari itu, kita butuh semangat revolusi baru — bukan pakai parang, tapi pakai kesadaran. Revolusi yang ngerti bahwa kemerdekaan itu bukan event tahunan, tapi kerja harian. Bukan sekadar kibar bendera, tapi perjuangan biar semua orang bisa hidup wajar: makan cukup, kerja manusiawi, sekolah gratis, dan kalau ngomong di medsos nggak langsung diundang polisi.
Karl Marx bilang: tugas kita bukan cuma menafsirkan dunia, tapi mengubahnya. Nah, kalau kita masih sibuk mikirin baju adat buat lomba Agustusan, tapi nggak mikir kenapa gaji UMR nggak naik-naik, berarti kita baru setengah merdeka.
Jadi, selamat menyambut 80 tahun Indonesia merdeka. Semoga tahun ini, upacara-nya nggak cuma pakai topi SMA bolong, tapi juga pakai akal sehat dan keberanian untuk nanya:
“Kenapa negara ini belum bisa bikin rakyatnya hidup tenang padahal udah merdeka dari zaman mbah?”.
Agung Nugroho, Penulis adalah Direktur Jakarta Institut


