3 Alasan Mengapa Pilkada Harus Ditunda

Sudah 6 purnama pandemi virus korona mewabah di tanah air, tetapi kurva kasus positif belum juga melandai. Hari-hari penuh kecemasan, ratap tangis, dan menjenuhkan ini masih akan berlanjut.

Hingga Kamis (10/9), jumlah kasus covid-19 di Indonesia mencapai 207.203 orang. Angka itu menempatkan negeri tercinta di peringkat 23 dunia. Dari jumlah itu, 8456 diantaranya meninggal dunia.

Hari itu juga kasus baru covid-19 di Indonesia pecah rekor lagi: ada penambahan 3.861 kasus baru. Angka ini merupakan yang tertinggi sejak covid-19 masuk ke tanah air. Sudah begitu, sebanyak 65,56 persen kabupaten/kota masuk dalam risiko penularan sedang hingga tinggi.

Pahitnya, di tengah situasi penyebaran covid-19 yang tak terkendali, diperhadapkan dengan daya dukung fasilitas dan tenaga kesehatan yang makin kelelahan, pemerintah justru tetap ngotot menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada 9 Desember nanti.

Dan mirisnya, pusat dari segala kebingungan dan ketidakjelasan dalam menghadapi covid-19 ada di orang nomor satu di Negeri ini: Presiden.

Tanggal 7 September lalu, saat Rapat Kabinet Paripurna, Presiden Jokowi bilang kesehatan dan keselamatan rakyat sebagai fokus utama untuk dikerjakan pemerintah.

Eh, sehari kemudian, dia ngotot Pilkada tetap dilanjutkan, meskipun pandemi belum tertangani dengan baik.

“Penyelenggaraan pilkada harus tetap dilakukan dan tidak bisa menunggu sampai pandemi berakhir karena memang kita tidak tahu, negara mana pun tidak tahu kapan pandemi COVID ini akan berakhir,” kata Jokowi, seperti dikutip detik.com, Selasa (8/9).

Kita, warga Negara yang baik, tak boleh lelah mengingatkan Presiden Jokowi. Agar beliau tidak salah langkah, yang bisa membawa 270 juta rakyatnya dalam bencana yang semakin mengerikan.

Berikut ini tiga alasan mendasar mengapa Pilkada harus ditunda.

Pertama, pilkada memperluas penyebaran covid-19

Sekarang ini, ketika covid-19 belum terkendali, sebisa mungkin segala hal yang bisa memperluas penyebaran virus dicegah. Misalnya: kegiatan yang mengumpulkan massa dalam jumlah banyak.

Tentu saja, sebagai hajatan politik, Pilkada sangat mungkin mengumpulkan massa dalam jumlah besar. Juga mendorong kontak fisik lewat kunjungan calon, timses, atau relawan ke rumah-rumah penduduk. Belum lagi, pada hari H pemilihan, ada interaksi banyak manusia di satu titik: tempat pemungutan suara.

Ini bukan omong doang. Baru di tahap pendaftaran saja, jumlah calon calon kepala daerah dan penyelenggara pemilu (KPU/Bawaslu) yang terkonfirmasi covid-19 langsung banyak.

Hingga Kamis (10/9), sudah ada 60 bakal calon dari 1400 bakal calon yang mendaftar di Pilkada 2020 yang terinfeksi covid-19. Ini baru calon kepala daerah, belum tim sukses, relawan, dan massa yang ikut termobilisasi saat proses pendaftaran.

Di Boyolali, Jawa Tengah, ada 96 petugas pengawas yang terinfeksi covid-19 pasca proses pendaftaran tanggal 4-6 September lalu. Di Gresik, Jawa Timur, Ketua KPU setempat juga positif covid-19. Di Jakarta, salah satu anggota Komisioner KPU RI, Evi Novida Ginting Manik, juga terkonfirmasi positif covid-19.

Kalau pemerintah, DPR, maupun penyelenggara pemilu masih ngeyel, tetap ngotot mau melanjutkan pilkada, dengan dalih ada protokol kesehatan, cukup diberitahu saja: di proses pendaftaran kemarin, ada 361 paslon yang melanggar protokol kesehatan, termasuk paslon kerabat Istana di Solo dan Medan.

Kedua, prioritas anggaran untuk pandemi

Kita sedang berhadapan dengan situasi darurat akibat pandemi. Ada krisis kesehatan, yang disertai dengan krisis ekonomi.

Untuk menghadapi dua krisis itu, kita butuh anggaran yang tak sedikit. Kita butuh anggaran kesehatan yang lebih besar untuk memperbanyak data tampung fasilitas kesehatan kita. Juga membeli alat-alat kesehatan, seperti APD, ventilator, alat tes, dan lain-lain.

Secara ekonomi, pandemi telah membuat babak belur dunia usaha, terutama yang berskala menengah, kecil, dan mikro. Banyak orang yang kehilangan pekerjaan dan sumber penghasilan. Tentu saja, mereka butuh bantuan sosial agar bisa bertahan di tengah pandemi ini.

Di sisi lain, kalau Pilkada ngotot digelar pada Desember mendatang, ini akan menyedot anggaran yang cukup besar. Total anggaran Pilkada 2020 di 270 daerah dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD)  sebesar Rp 14,98 triliun.

Belakangan ini, KPU kembali meminta penambahan anggaran sebesar Rp 4,7 triliun. Kalau disetujui, maka penyelenggaraan Pilkada akan menghabiskan anggaran sebesar Rp 19,6 triliun.

Bapak Presiden, DPR, dan Penyelenggara Pemilu yang terhormat, kita sedang berhadapan dengan situasi darurat pandemi. Situasi darurat ini sifatnya memaksa, tidak bisa ditawar-tawar. Kalau kita tak mengatasinya, berarti bersiap-siaplah untuk roboh, ambyar.

Harusnya semua anggaran yang ada difokuskan untuk penanganan pandemi dan dampaknya. Harusnya diperuntukkan untuk menopang anggaran kesehatan, menstimulus dunia usaha (terutama UMKM), dan bantuan sosial.

Tiga, menggerus kualitas demokrasi

Dalam situasi tak ada pandemi, angka partisipasi Pilkada kita hanya di kisaran 70 persen. Itu pun, sebagian pemilih itu digerakkan oleh “politik uang”.

Nah, kalau pandemi belum terkendali, apalagi jika kasusnya makin meningkat jelang pemungutan suara, mungkinkah rakyat akan berbondong-bondong ke TPS untuk memberikan suaranya.

Jadi, jika dipaksakan pilkada di tengah amukan pandemi, boleh jadi tingkat partisipasi rakyat di dalam pemilih juga semakin menurun.

Namun, kualitas demokrasi bukan hanya ditentukan oleh hari-H pemilihan, tetapi juga proses-prosesnya. Dari pendaftaran, sosialisasi, kampanye, pencoblosan, hingga penghitungan suara.

Tentu saja, karena pembatasan sosial, tidak semua proses itu berjalan sebagaimana mestinya.

Kemudian juga, karena pandemi masih menjadi ancaman utama, perhatian orang terfokus pada isu-isu kesehatan. Sementara isu-isu yang bergulir di Pilkada kurang diperhatikan.

Dalam politik, keutamaan tertinggi adalah kepentingan rakyat banyak. Bukan kepentingan segelintir paslon dan donatur-donaturnya.

Jokowi harus menempatkan keselamatan rakyat di atas segala-galanya. Sesuai dengan mandat pembukaan UUD 1945: ..melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.”

Mahesa Danu

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid