Jalur Rempah Di Tengah Perang Dagang

Menelusuri jalur rempah seperti menelusuri sejarah kolonialisasi. Berawal dari rempah-rempah, bangsa-bangsa Eropa mulai berlomba dalam pencarian kepulauan rempah.

Pada abad ke 15 dan 16, penjelajah Eropa seperti Christopher Columbus dari Italia dan Vasco da Gama dari Portugis mencari jalan ke daerah asal rempah-rempah. Para pedagang Asia Selatan menyembunyikan peta ke daerah tersebut, hingga orang Eropa tak dapat menemukannya. Portugis menjadi bangsa Eropa pertama yang tiba di kepulauan itu, lalu berturut-turut diikuti oleh Spanyol, Inggris dan Belanda. Agar dapat menguasai komoditas rempah, ekspedisi penjelajah Eropa sangat agresif.

Di tengah kehidupan feodal masyarakat Eropa, penguasaan atas rempah dianggap penting agar pemiliknya dapat disejajarkan dengan golongan elit. Para penjelajah mengorbankan hidup mereka untuk menguasai rempah-rempah di Asia Tenggara. Ratusan awak da Gama, salah satu penjelajah paling obsesif, tewas dalam ekspedisi 1498. Mereka mengincar rempah-rempah seperti pala, lada dan cengkeh, lalu menjualnya setelah mereka menaklukan Malaka pada 1511. Pala yang paling dicari karena dapat nenyembuhkan beberapa penyakit, terutama untuk menghentikan wabah sampar. Kepulauan rempah yang dimaksud adalah kepulauan Banda tempat asal mula rempah pala berada.

Pala merupakan sumber kehidupan Kepulauan Banda. Rempah pala berevolusi di kepulauan ini dan selama berabad-abad lamanya Banda jadi satu-satunya tempat pala tumbuh.

Sejarah pala bisa ditelusuri jauh hingga abad ke-6. Pala mencapai Byzantium yang berjarak sekitar 12.000 kilometer dari Banda. Sekitar tahun 1.000 Masehi, Ibnu Sina mendeskripsikan pala sebagai ‘jansi ban’ atau biji Banda. Masyarakat Arab kala itu menggunakan pala sebagai barang barter, yang akhirnya membawa pala ke Venesia, Italia yang dijadikan perasa untuk makanan para bangsawan Eropa di sana. Pala benar-benar mahal saat itu.

Pada abad ke-14 di Jerman, harga satu pon atau sekitar setengah kilogram pala bisa dihargai sama dengan tujuh ekor lembu yang gemuk. Komentar. Perburuan pala bisa dikatakan telah membantu pembangunan dunia modern komersial.

Pada 1453, bangsa Turki Ottoman menaklukan Konstantinopel yang sekarang jadi Istanbul, Turki. Hal tersebut berdampak pada embargo perdagangan di sepanjang tempat yang mereka lalui, sehingga banyak pedagang akhirnya menghindari monopoli rempah. Monopoli tersebut dilakukan bangsa Arab dan Venesia, memaksa orang Eropa untuk menemukan rute perdagangan baru di timur.

Para doktor fisika di London makin sering membuat klaim-klaim tentang kemanjuran pala, menganggap rempah tersebut bisa menyembuhkan mulai dari wabah sampar hingga berak Sarah. 

Minat yang melingkar dalam nilai pengobatan pada tanaman tersebut telah menyebabkan meledaknya jumlah buku-buku diet dan herbal. Salah satu buku yang populer adalah buku karya Andrew Borde berjudul Dyetary of Health (Pulau Run-Giles Milton hal. 24-25)

Pengembangan ilmu pengobatan

Sekitar tahun 1518, Ferdinand Mahellan, seorang bangsawan Portugis dan navigator ulung, melanjutkan pelayaran ke kepulauan rempah. Ia membawa seorang ilmuwan bernama Antonio Pigafetta. Ketika tiba di garis pantai Amerika, perhatian awak kapal teralihkan pada kelakuan warga lokal. Kaum lelaki Patagonia ketika sakit perut memasukkan panah setengah yar ke tenggorokan yang membuat mereka muntah cairan empedu dan darah. Pengobatan untuk sakit kepala dilakukan dengan cara menetak kepala hingga terbuka dan membersihkan darahnya. Pada musim dingin, mereka akan membebat tubuh untuk menyembunyikan alat kelamin di dalam tubuh. Ekspedisi rempah juga mencatat perkembangan ilmu pengobatan.

Ilmu pengobatan berangsur-angsur berkembang di berbagai tempat terpisah yakni Mesir kuno, Tiongkok kuno, India kuno, Yunani kuno, Persia, dan lainnya.

Sekitar tahun 1400-an terjadi sebuah perubahan besar yakni pendekatan ilmu kedokteran terhadap sains. Hal ini mulai timbul dengan penolakan–karena tidak sesuai dengan fakta yang ada–terhadap berbagai hal yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh pada masa lalu (bandingkan dengan penolakan Copernicus pada teori astronomi Ptolomeus.

 Beberapa tokoh baru seperti Vesalius (seorang ahli anatomi) membuka jalan penolakan terhadap teori-teori besar kedokteran kuno seperti teori Galen, Hippokrates, dan Avicenna.

Perkembangan Jalur Rempah

Memanasnya kompetisi perdagangan ini menyebabkan negara yang saling bersaing untuk beralih ke cara-cara militer untuk menguasai perdagangan rempah-rempah. Salah satu peristiwa yang terkenal adalah tragedi pembantaian massal di Ambon yang dilakukan atas orang Inggris dan Jepang dari hasil tipu muslihat Belanda dibawah pimpinan Van Speult.

Direktur East India Company memesan pada seniman Richard Greenbury untuk membuat lukisan minyak yang besar yang menggambarkan penderitaan Towerson dan para sahabatnya dengan van Speult dan sang jaksa tertawa atas kemenangan berdarah mereka. Karya itu dipajang di markas besar Company. 

Lebih dari lima puluh tahun kemudian penyair John Dryden menerbitkan kisah tragedinya Amboyna, or The Cruelties of the Dutch to the English Merchants. Akibat peristiwa ini English East India Company terpaksa meninggalkan perdagangan dengan kepulauan rempah. Pada tahun 1641, Maluku Portugis dikuasai Belanda. Setelah Maluku, Belanda terkonsentrasi pada perkebunan cengkih dan pala, dan kemudian mnggunakan Perjanjian Batavia (1652) Belanda berupaya untuk menghancurkan pohon cengkih dan pala di semua pulau-pulau lain untuk menjaga pasokan dan mengontrol pasar penting rempah-rempah.

Upaya ini mengganggu pola kuno perdagangan Nusantara dan bahkan menyebabkan depopulasi seluruh kepulauan, terutama Kepulauan Banda. Pada musim dingin 1656 East India Company menyerah setelah lebih dari empat dekade para pedagangnya berjuang untuk bersaing dengan Belanda. Namun sesungguhnya sesudah itu peperangan dengan Belanda masih terus berlangsung.

Perjanjian demi perjanjian dibuat untuk memperebutkan kepulauan rempah (Pulau Run) hingga pada suatu malam tanggal 9 Agustus 1810 Kapten Cole beserta pasukannya berhasil menggempur benteng Belanda di Neira. Cole bertahan di kepulauan Banda hingga tahun 1817. Saat meninggalkan kepulauan rempah, Cole mencabuti ratusan bibit dan memindahkannta ke Sri Lanka, Penang, Bengkulu dan Singapura. Dalam beberapa dekade, perkebunan ini melampaui produksi Di kepulauan Banda.

Kepulauan Banda mulai menuju kehancuran ditambah dengan meletusnya gunung api yang diikuti gempa bumi. Keturunan Belanda yang tersisa tidak mampu meneruskan dan mengelola perkebunan peninggalan Inggris. Sementara perkebunan Inggris di luar kepulauan Banda semakin subur. Permintaan pala dari Eropa ke kepulauan Banda semakin turun. Akhir abad 19, kepulauan rempah memasuki senja kala.

Komoditi Rempah di Abad 20

Rempah-rempah nusantara kembali menjad primadona karena nilai ekspor yang tinggi, baik di pasar lokal maupun intenasional.

Berdasarkan Laporan Akhir Peningkatan Produksi Komoditas Perkebunan Berkelanjutan Tanaman Semusim dan Rempah 2017 dari Direktorat Jenderal Tanaman Semusim dan Rempah Kementerian Pertanian, produksi rempah Tanah Air didominasi oleh lada, pala, dan cengkeh. Di antara ketiga komoditas tersebut, lada yang menduduki peringkat pertama sebagai komoditas ekspor. Indonesia merupakan produsen utama komoditas lada di dunia selain Vietnam dan India. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Lampung merupakan produsen utama lada putih (Muntok White Pepper) dan lada hitam (Lampung Black Pepper). Bangka Belitung menjadi penyumbang produksi lada terbanyak yakni mencapai 39 persen dari total produksi lada keseluruhan di Indonesia.

Menurut data Direktorat Jenderal Perkebunan, produktivitas lada di Bangka Belitung mencapai 1,25 ton per hektar. Menurut Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat tingginya permintaan rempah periode Januari-April 2020 sebesar USD 218 juta atau meningkat 19,28 persen di bandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan ekspor rempah pada 2019 didominasi oleh Lada. Biji lada USD 141,84 juta (22,04 persen), biji cengkeh USD 107,11 juta (16,65 persen), Kayu manis USD 78,23 juta (12,16 persen), biji vanilla USD 67,02 juta (10,42 persen), dan Pala USD 64,92 juta (10,09 persen). Sebagai gambaran potensi, ekspor pertanian Indonesia per Desember 2019 mencapai 0,37 miliar dolar. Meningkat 24,35 persen dari tahun sebelumnya di bulan yang sama, dimana komoditas yang mengalami kenaikan ekspor diantaranya tanaman obat aromatik dan rempah-rempah (Kompas.com). 

Bahan rempah digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Selain sebagai obat tradisional, rempah juga merupakan bahan baku industri yang tidak tergantikan. Sebagai produk industri,  rempah digunakan pada produk obat, jamu, herbal, kecantikan, farmasi (fitofarmaka), bumbu masak parfum dan sabun.

Namun demikian rempah-rempah tidak termasuk dalam 10 produk ekspor unggulan Indonesia. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian (Kementan) terus meningkatkan akselerasi ekspor ke negara-negara besar di dunia. Dari sekian banyak produk yang diproduksi dan menjadi andalan komoditas ekspor Indonesia, empat di antaranya bertengger di posisi teratas produk pertanian yang diminati pasar internasional. Keempat produk pertanian itu di antaranya karet, sawit, kakao, dan kopi.

Presiden Jokowi mengatakan, “Saya juga enggak ngerti barangnnya. Ini paling mahal. Tapi meskipun ada komoditas yang paling mahal di dunia seperti tadi, tapi paling mahal adalah waktu. Ini perlu digarisbawahi.”

“Nah sekarang kita bicara sekarang hidup di era WA, twitter, Facebook, instagram. Irama hidup jadi cepat sekali, info cepat sekali. Dibandingkan dulu nelpon nunggu sampai di kantor, sekarang di mana pun kita langsung WA, dan update status Facebook, IG. Waktu lewat makin cepat,” tuturnya.

Dengan perkembangan teknologi ini potensi produktivitas yang mengisi waktu semakin tinggi. Untuk itu, jika mampu memanfaatkan potensi ini, maka produktivitas harus dikerjakan dengan baik.

Berabad setelah pembukaan jalur rempah, dunia memasuki era persaingan dagang dalam bentuk yang berbeda. Kini dunia memasuki era baru, era tehnologi yang ditopang oleh kemajuan di bidang tehnologi digital. Persaingan dagang kemudian termasuk adalah persaingan percepatan penyebaran informasi dan kemampuan untuk menciptakan alat penyebarannya. Termasuk aplikasi beserta perangkat alat komunikasinya

Kalau dulu perebutan akses untuk menguasai rempah-rempah juga diikuti oleh perkembangan di bidang lainnya, dimana salah satu tujuannya adalah untuk pengobatan dan menghentikan wabah sampar, bagaimana persaingan dagang di masa kini? Terutama di saat dunia menghadapi pandemi COVID-19? Ada kebutuhan untuk segera mendapatkan obat atau vaksin atau mungkin metode paling efektif dalam menghentikan laju penyebaran pandemi COVID-19.

Semoga saja yang terjadi bukan kompetisi dagang namun demi kebaikan seluruh umat manusia sehingga pandemi dapat segera berlalu dan kehidupan kembali berseri tanpa khawatir untuk berjabat tangan, berpelukan dan bercengkerama seperti waktu-waktu yang lalu

ERNAWATI, aktivis perempuan dan kader Partai Rakyat Demokratik (PRD) Daerah Istimewa Yogyakarta

Rujukan:

[1] https://travel.kompas.com/read/2020/04/19/213100327/sejarah-pala-rempah-dengan-kisah-penuh-darah?

[2] https://www.wartaekonomi.co.id/read233619/4-dari-10-produk-ekspor-andalan-indonesia-adalah-komoditas-pertanian

[3] https://kumparan.com/kumparannews/pulau-run-magnet-rempah-nusantara-yang-ditukar-dengan-manhattan

[4] https://www.liputan6.com/bisnis/read/4288390/deretan-rempah-indonesia-yang-jadi-primadona-ekspor

[5] https://economy.okezone.com/read/2018/04/30/320/1892764/presiden-jokowi-bukan-emas-komoditas-termahal-di-dunia-adalah-waktu

[6] https://genagraris.id/post/mengenal-potensi-ekonomi-dan-kegunaan-rempah-rempah-indonesia

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid