Socrates dan Politik Kiri di Sepak Bola

Brazil adalah raksasa sepak bola dunia. Di sepanjang sejarah, negeri Samba ini selalu punya bintang besar di lapangan hijau. Tidak terkecuali di tahun 1980-an. Di era tersebut, ada satu nama yang tak bisa dilupakan: Socrates.

Di masa jayanya, di tahun 1980an, Socrates menjadi tulang punggung Brazil di lapangan tengah. Pada piala dunia 1982, di Spanyol, kekuatan Brazil memang di lini-tengah. Di situ ada Socrates, Zico, Falcao, Cerezo, dan Eder. Brazil tampil cemerlang. Satu per satu timnas negara lain dilumatnya, seperti Uni Soviet, Skotlandia, Selandia Baru, dan Argentina. Sayang, Brazil ditaklukkan oleh juara dunia saat itu, Italia.

Namun, Socrates dan kawan-kawan tetap banjir pujian. Penulis Uruguay, Eduardo Galeano, menyebut permainan mereka sebagai yang tercantik di dunia saat itu. Mereka ibarat menari samba di lapangan tengah. Kata Socrates, ”Saat itu, dengan bola, kami menyatakan perasaan kami.”

Di Piala Dunia 1986 di Meksiko, Socrates masih dianggap bintang. Sayang, Brazil kembali kandas di perempat final. Socrates dan kawan-kawan ditaklukkan oleh Perancis melalui adu penalti. Socrates, yang menendang pertama, gagal menjebol gawang Perancis.

Socrates tampil 60 kali membela negaranya, Brazil. Di semua pertandingan itu, Socrates mencetak 22 gol. Telê Santana, manajer Timnas Brazil, sering mempercayakan ban kapten kepada Socrates.

Politik Di Lapangan Hijau

Namun, siapa sangka, selain pemain bola hebat, Socrates adalah seorang filsuf, aktivis politik, penulis, dan dokter. Ia juga merupakan pengagum Fidel Castro, Che Guevara, dan John Lennon.

Socrates memulai karirnya sebagai pemain sepak bola professional di klub Corinthians, Sao Paulo. Konon, cikal bakal klub ini dibangun oleh kaum pekerja kereta api di Sao Paulo. Namun, versi lain menyebutkan, klub ini tumbuh dari gerakan pro-demokrasi penentang kediktatoran.

Pada tahun 1964, sebuah kudeta militer menggulingkan pemerintahan sayap kiri, João Goulart. Semasa berkuasa, João Goulart melaksanakan reforma agraria dan nasionalisasi industri. Begitu ia terguling 1964, Brazil segera diperintah oleh kediktatoran militer.

Di klubnya, Corinthians, Socrates membangun sel perlawanan anti-kediktatoran. Ia juga menciptakan gerakan demokratisasi di dalam klub-nya. Ia membentuk apa yang disebut “Time do Povo” atau “Team untuk Rakyat”. Dengan persetujuan Presiden klub, Waldemar Pires, para pemain menciptakan proses demokratis dalam pengambilan segala keputusan. “Semua orang punya hak yang sama untuk menentukan nasib klub,” kata Socrates.

Socrates tampil 297 kali membela Corinthians dan mempersembahkan 172 gol. Salah seorang supporter fanatiknya adalah aktivis Serikat Buruh, Lula Da Silva, yang kelak menjadi Presiden Brazil (2003-2011)

Socrates paham betul arti penting demokrasi dan kebebasan bagi manusia. “Di tahun 1966 ada kudeta militer. Aku masih 10 tahun dan ingat bagaimana ayahku membakar buku-buku tentang Bolshevik. Itu mengapa aku tertarik pada politik,” ungkapnya.

Socrates dilahirkan dari keluarga miskin. Sekalipun miskin dan tak berpendidikan, ayahnya sangat suka bacaan. Ia mendirikan perpustakaan besar di rumahnya. Di situ ia mengunyah buku-buku filsafat Yunani. Dan tertarik menamai anak-anaknya dari nama filosof besar Yunani: Socrates.

Pada tahun 1984, Socrates berbicara di depan rapat umum yang menghimpun 1,4 juta orang. Ia berjanji kepada massa aksi yang mengele-elukan, kalau kongres mengamandemen konstitusi untuk mengembalikan pemilu bebas, dirinya akan menolak tawaran untuk bermain di Italia.

Socrates adalah anggota aktif Partai Buruh (PT) Brazil. Bersama PT, ia aktifberkampanye tentang pemilihan langsung di tahun 1980-an. Dia menyatakan diri sebagai pendukung revolusi Kuba dan Venezuela. Anak pertamanya diberinama “Fidel Castro”.

Socrates juga mengeritik model pembangunan kapitalistik. Dia bilang, “kita harus mengubah fokus pembangunan. Kami harus memprioritaskan kemanusiaan. Ironisnya, dalam dunia yang terglobalisasi, orang justru berfikir tentang uang.”

Bagi Socrates, terlibat dalam politik adalah kewajiban. Dan dia mengaku, rakyat telah memberinya inspirasi dalam bermain bola. “Jika rakyat tidak punya kekuatan untuk menyampaikan sesuatu, maka saya akan menyampaikannya atas nama mereka. Jika saya berada di pihak lain, bukan di pihak rakyat, maka tidak ada orang yang akan mendengar saya,” katanya kepada BBC.

Legenda Brazil yang bernama lengkap Socrates Brasileiro Sampaio de Souza Vieira de Oliveira ini menghembuskan napas terakhir tanggal 4 Desember 2011, dalam usia 54 tahun, di sebuah rumah sakit di Sao Pauolo, Brazil.

Socrates memberitahu kepada kita, bahwa dimanapun kita berada, bahkan di lapangan hijau sekalipun, tugas kemanusiaan itu selalu melekat. Dan Socrates menggunakan sepak bola untuk membela kemanusiaan dan demokrasi.

Rudi Hartono pimred berdikarionline.com

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid