Melihat Soekarno Dan Gebrakan Politiknya Di Ende

Film Soekarno: Indonesia Merdeka karya Hanung Bramantyo sengaja menghilangkan salah satu kisah penting dalam perjuangan Soekarno, yakni  saat menjalani pembuangan politik di Ende. Padahal, perjuangan Soekarno di Ende punya arti besar bagi bangsa ini.

Nah, selain film Soekarno karya Hanung itu, ada film Soekarno lain yang juga muncul di tahun 2013 lalu. Judulnya “Ketika Bung Di Ende (KBDE)”, yang disutradarai oleh Viva Westi. Film ini khusus menyorot kisah perjuangan Soekarno saat menjalani pembuangan di Ende.

Sayang, film KBDE tidak setenar film Soekarno-nya Hanung. Padahal, bagi saya, film ini cukup kaya dengan dialog-dialog yang mencerdaskan. Aktor-aktornya juga cukup punya nama: Baim Wong (Soekarno), Paramitha Rusadi (Inggit), dan Tio Pakusodewo (Martin Paradja).

Namun, ya, film ini memang kurang menarik bagi mereka yang kurang suka dengan film-film serius. Jangankan adegan ‘bercinta’, hal yang berbau humor saja nyaris tidak ada. Bayangkan, selama 2 jam lebih rahang anda harus terkatup karena tidak ada hal yang pantas ditertawakan di film itu. Yang ada, anda harus pasang telinga baik-baik untuk menyimak dialog-dialognya yang mengalir deras. Membosankan kan?

Namun, saya tetap punya beberapa catatan terhadap film ini. Saya akan melihat film ini dari beberapa hal: pertama, bagaimana KBDE memaknai ‘politik pembuangan’–nanti bisa dibandingkan dengan film Soekarno karya Hanung; kedua, seberapa besar KBDE didukung oleh riset sejarah dan pemahaman akan sejarah; ketiga, pelajaran penting apa yang bisa dibungkus pulang oleh para penononton usai nonton film ini.

/1/

Dalam sejarah pergerakan nasional, metode “pembuangan politik” bukanlah hal yang baru. Penguasa kolonial kerap menggunakan metode ini untuk menghentikan langkah pergerakan. Ada tokoh pergerakan yang dibuang ke luar negeri, seperti yang menimpa ‘Tiga Serangkai’ (Douwes Dekker, Tjipto, dan Suwardi), Tan Malaka, Semaun, dan lain-lain. Juga tidak sedikit tokoh pergerakan yang dibuang di tempat-tempat terpencil dan terisolir di dalam negeri, seperti Banda Neira, Boven Digul, dan lain-lain.

Esensi dari pembuangan politik adalah pemisahan antara tokoh terkemuka kaum pergerakan dengan massa-rakyat atau pendukungnya. Belanda berharap, dengan membuang para tokoh-tokoh penggeraknya, maka pergerakan pun akan menemui ajalnya.

Itupula yang terjadi dengan Soekarno. Ia dibuang ke tempat sepi dan nun jauh di bagian timur Hindia-Belanda, yakni Ende. Penduduk Ende jaman itu–versi Soekarno–hanya 5000-an jiwa. Jadi, bisa dibayangkan betapa sepinya daerah itu. Sekalipun seluruh penduduk Ende itu berhasil diorganisir Soekarno, itu belum menyamai kemeriahan rapat-rapat umum (vergadering) PNI di Jawa. Sudah begitu, Ende sangat sepi dari hingar-bingar pergerakan nasional yang berpusat di Jawa.

Belanda yakin, dengan membuang Soekarno ke Ende, pergerakannya di Jawa akan kehilangan induk. Sementara Soekarno, yang terbiasa dengan gelora massa, akan menemukan dirinya terasing. Pelan-pelan ia akan frustasi. Dan selanjutnya bisa gila atau meninggalkan dunia politik.

Bagaimana KBDE memaknai pembuangan politik Soekarno di Ende? Mari kita lihat detail filmnya. Film ini diawali dengan kedatangan Soekarno bersama keluarganya di Ende. Kedatangannya disambut sepi. Sampai-sampai dia bilang, “Mungkin perjuangan ini akan berakhir,” tutur Soekarno di permulaan film, untuk menggambarkan rasa frustasi itu.

Soekarno dan keluarganya ditempatkan di sebuah rumah kosong di sebuah kampung bernama Ambubaga. Rumahnya diapit dengan kebun. Di hari pertama, Inggit sudah mengeluh, “kenapa kita dikirimnya ke pulau ini?” Soekarno menjawab, “dulu Belanda berpikir membuang orang kita keluar. Tapi, di luar atau kemanapun kita dieksternir, kita masih bisa menyusun kekuatan untuk melawan mereka semua. Belanda akhirnya memutuskan untuk mengasingkan para pemberontak di dalam negeri saja, dimana mereka langsung dapat mengawasi kita.”

Kendati dibuang di Ende yang terpencil, Soekarno dan keluarganya tetap diawasi ketat oleh Belanda. 7 orang Polisi Belanda bergantian mengawasi aktivitasnya tiap hari. Belum lagi polisi yang menyamar sebagai ‘preman’. Tak hanya itu, Soekarno harus melapor atau melakukan absensi setiap hari.

Digambarkan Soekarno, pada hari-hari pertama kedatangannya di Ende, merasa sangat terasing dan agak frustasi. Istilah anak muda sekarang: dia (Soekarno) galau. Berhari-hari dia hanya terduduk melamun saja. Buku-buku politik, yang seharusnya menjadi temannya dalam pengasingan, sudah disortir oleh Belanda.

Awalnya, masyarakat Ende pun mengacuhkan Soekarno. Siapa yang kenal Soekarno? Jaman itu belum ada TV dan internet! Paling-paling yang mengenal Soekarno hanya mereka yang bisa mengakses informasi, seperti koran dan radio. Golongan yang biasa mengakses informasi hanyalah golongan elit, yakni orang-orang Belanda, orang-orang pribumi yang menjadi amtenar, dan penguasa lokal (Raja dan keluarganya). Tetapi golongan itu sangat alergi dengan pergerakan, apalagi orang buangan politik. Sementara rakyat jelata tidak mengenal Soekarno dan perjuangannya. Sampai-sampai Soekarno berujar, “orang di sini yang mengerti tidak bicara dan yang bicara tidak mengerti.”

Dalam situasi seperti itu, peran keluarga menjadi penting. Ada dua yang berperan penting untuk terus menyemangati Soekarno: pertama, istrinya sendiri, Inggit Garnasih, dan kedua, mertuanya Ibu Amsi. Kedua orang inilah yang terus menyemangati Soekarno dengan caranya. Mulai dari memasak masakan kesukaan Soekarno hingga dukungan moral.

Tetapi kegalauan Soekarno tak berlangsung lama. Bukan Soekarno kalau ia menyerah pada keadaan. Ia mulai berjalan-jalan, ditemani pembantunya, Riwu, untuk menemui penduduk Ende. Karena merasa diacuhkan oleh kalangan elit, Soekarno memilih berkawan dengan rakyat jelata: nelayan, petani, pedagang, dan orang biasa. Kawan pertama Soekarno di Ende bernama Kota, seorang nelayan. Kemudian Darham, seorang tukang-jahit.

Saya kira, alur utama yang hendak diketengahkan oleh KBDE adalah bagaimana menggambarkan Soekarno keluar dari perasaan dan suasana keterasingannya dan kemudian menciptakan panggung-panggung pergerakan yang baru. Atau, istilahnya: membangun “PNI kecil-kecilan” di Ende.

Sekarang, kita tengok bagaimana Hanung Bramantyo menggambarkan pembuangan Soekarno di Bengkulu. Di film Hanung, Soekarno seolah menikmati pembuangannya di Bengkulu. Nyaris tidak terlihat ada rintangan politik dan sosial.

Padahal, kehidupan Soekarno di Bengkulu tak seenak itu. Pertama, sebagai orang buangan, ia tetap diawasi ketat oleh pihak kolonial Belanda. Penduduk setempat juga dilarang mendekati Soekarno. Kedua, soekarno mengeluh dengan karakter feodal dan kolot masyarakat bengkulu. Soekarno berkali-kali bermasalah dengan tokoh tua dan golongan konservatif di Bengkulu karena berupaya mendobrak tradisi tua, seperti tindakannya menyingkirkan tabir/pembatas antara pria dan wanita di sebuah acara pertemuan keluarga.

Jadi, di banding Ende, Bengkulu lebih berat bagi Soekarno. Di Ende, masyarakatnya lebih terbuka. Di sana, penduduknya memeluk agama berbeda-beda. Mereka pun berasal dari suku-suku yang berbeda. Jadinya, mereka tidak alergi dengan perbedaan. Di Bengkulu, Soekarno berhadapan dengan masyarakat yang tertutup. Kondisi social itu membatasi ruang-gerak Soekarno untuk menjalankan aktivitas politik.

Tetapi lagi-lagi Soekarno tak patah arang. Seperti di Ende, di Bengkulu Soekarno juga membentuk kelompok sandiwara. Namanya Monte Carlo. Di sini Soekarno menghasilkan beberapa naskah drama, seperti Rainbow (Poetri Kencana Boelan), Hantoe Goenoeng Boengkoek, Si Ketjil (Klein Duimpje), dan Chungking Djakarta.

Soekarno juga mengajar di Sekolah Muhammadiyah atas permintaaan ketua Muhammadiyah setempat, Hassan Din–bapaknya Fatmawati. Tetapi dilarang membicarakan soal-soal politik kepada siswanya. Selain itu, untuk merapatkan hubungannya dengan rakyat, Soekarno menjadi arsitek gratis bagi penduduk yang membangun rumah baru. Di Bengkulu, Soekarno juga mulai menulis dengan nama samaran Guntur atau Abdurrachman untuk menyebar-luaskan pandangan politiknya.

Sayang, Hanung kurang membentangkan hal tersebut. Terlebih lagi, Hanung gagal memaknai pembuangan politik. Alhasil, Soekarno digambarkannya seolah-olah manusia bebas di Bengkulu sana. Saking bebasnya, Soekarno sibuk pacaran dengan salah seorang muridnya, Fatmawati.

/2/

Film KBDE didukung oleh sejarawan-sejarawan yang banyak bergumul dengan kisah perjuangan Bung Karno, seperti Peter A Rohi, Peter Kasenda, dan Roso Daras. Saya kira, kontribusi mereka sangat penting untuk memperkaya riset sejarah film ini.

Karena itu, film KBDE cukup jeli. Misalnya, panggilan terhadap Soekarno di film ini adalah ‘Tuan’ dan ‘Bapak’. Bukan panggilan “Bung” sebagaimana film Soekarno-nya Hanung. Jelas, jaman itu panggilan ‘Bung’ belum dikenal. Yang paling banyak adalah panggilan ‘Tuan’ atau ‘Saudara’. Panggilan ‘Bung’ baru dipopulerkan oleh Bung Karno pasca Proklamasi 17 Agustus 1945.

Film ini juga mengetengahkan kisah Soekarno di Ende yang jarang diketahui publik atau dituturkan oleh sejarah resmi. Misalnya, persahabatan Soekarno dengan pastor-pastor SVD, terutama Pater Gerardus Huijtink. Di film KBDE, Persahabatan Soekarno dengan Pater Huijtink digambarkan cukup dekat. Keduanya kerap berdiskusi saat Soekarno mengunjungi perpustakaan SVD. Tak hanya itu, Pater Huijtink-lah yang memperjuangkan agar kelompok sandiwara Soekarno bisa berlatih di gereja. Dia pula yang menjamin agar kelompok Sandiwara Soekarno boleh menggelar pertunjukan di depan umum.

Film KBDE juga cukup detail menggambarkan hal-hal sederhana tetapi penting ketika Soekarno dibuang di Ende, seperti sebutan ‘keluarga Jawa’–sebutan masyarakat lokal untuk keluarga soekarno, penggunaan bahasa dan dialek Sunda di tengah lingkungan keluarga Soekarno–terutama antara Inggit Garnasih (Paramita Rusady) dan ibunya, Ibu Samsi (Niniek L Karim).

Tetapi ada yang cukup kontroversial di film itu. Yakni, kemunculan tokoh bernama Martin Paradja. Dalam sejarah, Martin Paradja dikenal sebagai salah satu tokoh di balik pemberontakan di atas Kapal Perang De Zeven Provincien (kapal Tujuh) tahun 1933. Namun, dari berbagai versi sejarah, termasuk tulisan Peter A Rohi sendiri berjudul “77 Tahun Pemberontakan Di Atas Kapal Zeven Provincien”, dikatakan bahwa Martin Paradja gugur dalam pertempuran di atas kapal itu tanggal 10 Februari 1933. Saat kapal itu dihujani bom oleh pesawat Dornier.

Di film itu, diceritakan Soekarno bertemu tokoh Martin Paradja di dekat toko Tionghoa. Awalnya Martin yang menegur Soekarno. Martin menceritakan soal pemberontakan Seven Provincien kepada Soekarno. Lalu, setelah menuturkan sekilas soal pemberontakan itu, Martin mengatakan, “ketika bom-bom dijatuhkan, kapal kami diserang habis-habisan oleh torpedo, Belanda bodoh itu mengira aku mati….tapi Tuhan masih melindungi aku, aku sempat meloncat keluar kapal dan masuk ke laut.”

Saya kira, ini sebuah kontroversi. Apalagi, dalam film KBDE, peranan Martin sangat besar. Dia menyelundupkan surat-surat rahasia Soekarno, memasok informasi ke Soekarno, menawarkan pelarian menggunakan kapal kepada Soekarno, hingga menyediakan kain panjang untuk keperluan layar panggung Sandiwara Soekarno. Apakah tokoh Martin sengaja dihidupkan sekedar untuk mengesankan adanya aktivitas bawah tanah menyokong perjuangan Soekarno di Ende? Entahlah.

Memang, di dalam buku otobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Ia menceritakan ada orang yang menawarinya ‘kabur’ dari Ende. Tapi tidak disebutkan bahwa orang itu bernama Martin Paradja. Soekarno hanya bilang ‘seorang stokar berbadan tegar lagi kekar’.

/3/

Saya kira, ada beberapa pelajaran berharga yang ditunjukkan di film KBDE ini. Pertama, soal strategi Soekarno keluar dari kekangan penguasa kolonial dan kemudian berhasil membangun panggung gerakan di Ende. Kedua, ada banyak pesan atau nilai-nilai, yang mengalir deras melalui dialog-dialog di film KBDE, yang berguna bagi bangsa kita saat ini.

Soal strategi, Soekarno cukup brilian. Di tengah kontrol ketat kolonial, juga kondisi sosial masyarakat yang agak acuh, Soekarno tetap berhasil menciptakan sebuah panggung politik. Saya kira, inilah nilai seorang pejuang politik.

Untuk menciptakan panggung gerakan, Soekarno menempuh beberapa langkah. Pertama, ia mengadakan pengajian rutin di rumahnya. Dengan cara ini, Soekarno berhasil mengumpulkan orang. Tak hanya itu, cara itu juga pelan-pelan memangkas jarak yang diciptakan kolonial untuk memisahkan dirinya dengan massa di sekitarnya.

Kedua, Soekarno juga menjalin persahabatan dengan pastor SVD di Ende, yakni P. Johanes Bouma (Regional atau pemimpin SVD Region Sunda Kecil) dan P. Gerardus Huijtink (Pastor Paroki Ende). Dengan begitu, Soekarno terus mematahkan politik isolasi yang dijalankan oleh Belanda.

Ketiga, Soekarno membentuk kelompok Tonil (sandiwara). Para pemainnya adalah rakyat jelata. Sebagian diantara mereka buta-huruf dan tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik. Bayangkan tingkat kesukarannya, tetapi Soekarno berhasil.

Soekarno menamai kelompok sandiwaranya “Kelimoetoe Toneel Club”. Kelimutu adalah nama sebuah gunung di Flores. Ide nama itu berasal dari Inggit Garnasih. Jumlah anggotanya 47 orang. Di kelompok sandiwara itu Soekarno bertindak sebagai pelatih, penulis naskah drama, penata panggung, pembuat iklan pementasan, hingga menjual karcis pertunjukan. Selama pembuangan di Ende, yakni 1934-1938, Soekarno menghasilkan 13 naskah drama. Antara lain: Rahasia Kelimutu (dua seri), Tahun 1945, Nggera Ende, Amuk, Rendo, Kutkutbi, Maha Iblis, Anak Jadah, Dokter Setan, Aero Dinamik, Jula Gubi, dan Siang Hai Rumbai.

Melalui sandiwara, Soekarno memasokkan kesadaran-kesadaran perlawanan. Misalnya, drama “Rahasia Kalimutu” mencoba mengajarkan rakyat untuk tidak percaya takhyul. Atau drama berjudul “Dokter Setan”, yang diadopsinya dari novel Mary Shelley, Frankenstein, yang mengajarkan bahwa tubuh Indonesia yang sudah tak bernyawa bisa dibangkitkan dan dihidupkan kembali. “Itu perlambang perjuangan. Sesuatu yang sudah mati bisa hidup kembali. Semangat yang sudah mati bisa hidup kembali asal ada kerja keras dan keinginan,” kata Soekarno. Tak hanya itu, Soekarno juga mengajarkan lagu “Indonesia Raya” melalui kelompok sandiwara itu.

Film KBDE juga kaya dengan pesan-pesan ideologis. Misalnya, dialog antara pater Huijtink dengan Soekarno. Huijtink menanyakan, “apakah anda membenci Belanda?” Soekarno menjawab, “masalahnya bukan bangsa Belanda, melainkan imperialisme.” Ini pandangan Soekarno sejak awal terjun ke gelanggang pergerakan. Sebagai seorang nasionalis, ia menyadari bahwa kolonialisme tidak bisa dipisahkan dari nafsu imperialisme, yakni kepentingan negara kapitalis maju untuk mengeksploitasi ekonomi negara jajahan, dengan menjadikan negara jajahan sekedar sebagai penyedia bahan baku bagi industri negara kapitalis maju, penyedia tenaga kerja murah, sebagai pasar bagi produk industri negeri kapitalis maju, dan tempat penanaman modal asing.

Dari pater Huijtink, Soekarno juga dititipi dua pertanyaan besar: pertama, di mana tempat mamamu yang beragama Hindu itu di dalam negara yang mayoritas Muslim?; kedua, di mana tempat orang-orang Flores yang mayoritas Katolik ini dalam negara yang Marxis dan mayoritas Muslim itu? Dua pertanyaan penting itu menjadi bahan renungan Soekarno dalam mencari konsep atau dasar ideologis untuk menyatukan Indonesia sebagai sebuah bangsa sekaligus negara merdeka.

Ende sangat mempengaruhi Soekarno. Terutama dalam merumuskan dasar negara Indonesia kelak, yakni Pancasila. Kehidupan rakyat Ende, yang berasal dari berbagai suku bangsa dan agama tetapi hidup rukun dan damai, benar-benar memperkaya imajinasi Soekarno terhadap Indonesia merdeka kelak. Bahkan, itu menjadi bahan renungannya setiap hari di bawah sebuah pohon sukun.

Film ini, yang disponsori oleh Kemendikbud RI, memperlihatkan betapa kentalnya pengaruh marxisme terhadap Soekarno. Sesuatu yang banyak disangkal oleh kaum marhaenis dewasa ini. Sesuatu yang juga dicap “sesat” di masa Orba. Hanya saja, dalam sebuah dialog dengan Asmara Hadi di film ini, Soekarno menegaskan: “Marxisme saya itu adalah marxisme yang di dalamnya menggema suara Tuhan.” Apa maksudnya, entahlah.

Tetapi, Soekarno memang seorang marxis. Ia terpengaruhi marxisme sejak belia hingga matinya. Dan Soekarno berkali-kali mengakui, bahwa teori marxisme merupakan teori yang paling kompeten untuk memecahkan soal sejarah, politik, dan sosial-kemasyarakatan. Dan karena marxisme pula, nasionalisme Soekarno menentang fasisme dan chauvinisme, tetapi sangat dekat dengan cita-cita demokrasi dan keadilan sosial.

/4/

Terus terang, ketika mendengar nama Baim Wong disebut-sebut akan memerankan Soekarno, saya agak ragu. Apalagi, seperti diakuinya sendiri, Baim buta dengan sosok Soekarno. “Saya salah satu orang yang tidak tahu soal Soekarno, saya juga buta soal kemerdekaan,” kata Baim dalam Konferensi Pers Peluncuran Produksi Film Soekarno di Jakarta, Kamis (5/9/2013).

Namun, Baim tak menyerah. Ia mulai melahap buku-buku mengenai Soekarno. Nah, begitu melihat akting Baim Wong di film KBDE, saya agak terperangah. Saya langsung lupa dengan Baim yang banyak bertebaran di sinetron dan FTV. Tidak sempurna memang. Tapi cukup memuaskan. Bagi saya, dibandingkan dengan Ario Bayu, Baim lebih menjiwai Soekarno.

Sementara karakter Inggit yang diperankan oleh Paramita Rusady kurang menggigit. Di film ini, Inggit banyak meneteskan air mata. Padahal, berdasarkan sejumlah literature, Inggit yang lebih tua 12 tahun dari Soekarno dikenal sebagai sosok perempuan yang tangguh dan sangat mendukung perjuangan kemerdekaan. Di saat-saat Soekarno sedang rapuh, Inggit-lah yang menguatkannya.

Secara keseluruhan, film ini memang datar. Tidak ada bumbu percintaan di dalamnya. Tidak ada konflik keras yang memicu emosi penonton. Yang banyak kita saksikan hanya pergulatan batin Soekarno. Jumlah pemainnya juga sedikit. Jadinya, penonton harus bersabar karena hanya melihat wajah pemain yang itu-itu saja.

Tetapi kelihatannya kita harus memaklumi hal itu. Pertama, film yang diproduksi oleh Kemendikbub ini memang lebih ditujukan untuk pendidikan dan pengenalan pemikiran Soekarno. Jadi, semacam film propaganda pemerintah. Kedua, waktu pembuatannya sangat singkat: mulai diproduksi tanggal 28 September 2013 dan diluncurkan tanggal 28 november 2013. Ketiga, anggarannya cukup terbatas. Konon, KBDE hanya dibiayai Rp 8 miliar. Bandingkan dengan film karya Hanung yang menghabiskan Rp 25 miliar.

Saya sendiri mengapresiasi film ini dengan catatan: kedepan, kalau ada pembuatan film semacam ini lagi, pengerjaannya harus lebih serius. Jangan tergesa-gesa bak mengejar setoran.

Dan, sebagai penutup, mari teriakkan salam nasional kita: Merdeka!

Rudi Hartonopengurus Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (PRD); Pimred Berdikari Online

Sekedar informasi: Film “Ketika Bung Di Ende” bisa ditonton di Youtube. Ini linknya: http://www.youtube.com/watch?v=eP66pvW06vg

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid