Tahun 1917, Hari Perempuan Sedunia Jadi Revolusi

Hari Perempuan Sedunia, atau International Women’s Day (IWD), yang diperingati tiap tanggal 8 Maret, bukan hanya seremonial belaka. Pada tahun 1917, peringatan IWD berujung pada revolusi sosial.

Itu terjadi di Rusia. Aksi tanggal 8 Maret 1917, yang diorganisir oleh perempuan Rusia, menjadi pemantik berkobarnya Revolusi terbesar di awal Abad ke-20: Revolusi Rusia. Bagaimana itu terjadi?

Tahun 1910, di Konferensi Internasional Perempuan Sosialis di Kopenhagen, Denmark, Clara Zetkin, seorang sosialis, mengusulkan agar 8 Maret dijadikan sebagai Hari Perempuan Sedunia. Usulan itu diterima oleh ratusan perempuan delegasi dari 17 Negara.

Akhirnya, sejak 1911, perempuan di banyak Negara menggelar aksi memperingati Hari Perempuan Sedunia. IWD pertama digelar di Berlin (Jerman), Swiss, Austria, Denmark, Bulgaria dan Amerika Serikat. Jutaaan perempuan turun ke jalan di peringatan IWD pertama ini.

Tahun 1913, perempuan Rusia juga memperingati IWD untuk pertama kalinya. Di kalender Rusia, itu di minggu terakhir Februari 1914. Karena saat itu dunia sedang dicabik-cabik oleh perang, maka isu utamanya adalah penolakan terhadap perang Imperialis.

Tahun 1914, Rusia yang saat itu diperintah oleh kekaisan Tsar Nicholas II ambil bagian dalam perang. Lima jutaan tentara Rusia, yang sebagian besar anak kelas pekerja dan petani, digiring dalam perang tersebut.

Lama-lama rakyat Rusia sadar bahwa perang itu bukanlah tentang nasib mereka. “Itu adalah perang para bangsawan dan kapitalis. Mereka yang mendapat emas, tapi pekerja dan petani yang membayarnya dengan nyawa,” tulis perempuan Rusia dalam sebuah famplet di tahun 1917.

Tahun 1917, dampak perang itu kian terasa. Lebih dari 2 juta tentara Rusia terbunuh di medang perang. Tidak hanya itu, Rusia tercekik utang 8 milyar Rubel. Di Rusia sendiri kelaparan melanda seluruh negeri. Sebab, barang-barang dan hasil pertanian dirampas paksa untuk membiayai perang.

Kaum perempuan Rusia-lah yang paling menanggung beban itu: kehilangan anak, kerja paksa, dan kelaparan. Tidak mengherankan, perempuan Rusia lantas bergerak. Sebagian besar di bawah panji-panji Partai Buruh Sosial-Demokrat Rusia (PBSDR).

Menjelang peringatan IWD, Komite antar-Distrik PBSDR, sering disebut Mezhrayonka, di Petrogad (Ibukota Rusia saat itu), menyebarkan famplet.

“Dengan dalih perang, para pemilik pabrik ingin mengubah pekerja jadi budaknya. Biaya hidup melambung tinggi di kota-kota. Kelaparan mengetuk pintu setiap orang. Dan di desa-desa, mereka mengambil ternak dan potongan roti terakhir, demi perang,” demikian ditulis famplet itu.

Famplet itu sangat agitatif. Tetapi benar-benar mewakili keadaan yang sebenarnya. Kaum sosialis yang tergabung dalam PBSDR mengeluarkan seruan terkenal, Roti dan Perdamaian, yang menjawab keresahan umum saat itu.

Tanggal 8 Maret pagi (23 Februari dalam penanggalan Julian/Rusia), di Petrogad, kekurangan bahan bakar menyebabkan pabrik roti berhenti berproduksi. Sementara perempuan dan anak-anak mengantre untuk sepotong roti.

Perempuan yang bekerja di pabrik tekstil berhenti bekerja. Mereka mengajak pekerja yang lain untuk mogok.

Tidak mengherankan, mobilisasi IWD menarik partisipasi banyak orang. Tidak hanya perempuan, tetapi juga laki-laki. Mereka meneriakkan “roti dan perdamaian” di jalan-jalan kota Petrogad.

Siapa sangka, seruan itu menarik begitu banyak orang turun ke jalan. Beberapa sumber menyebut 90.000 orang bergabung dalam demonstrasi dan mogok hari itu juga.

Besoknya, 9 Maret, protes bertambah besar dan meluas. Jumlah mereka mencapai 200.000-an orang. Polisi dan gendarme (polisi tidak berseragam resmi) dikerahkan untuk menumpas protes. Bentrokan tidak terhindarkan.

Tanggal 10 maret, aksi mogok meluas ke seantero Petrogad. Buruh-buruh di masing-masing pabrik membentuk Soviet (Dewan Buruh). Kali ini sudah ada 250.000 buruh turun ke jalan.

Tanggal 11 Maret, Tsar mengerahkan lebih banyak tentara dan polisi untuk memukul pemberontakan. Namun, rakyat tidak bisa lagi dipukul mundur.

Banyak tentara yang mengalami demoralisasi ketika diperhadapkan dengan rakyat. Mereka bergabung dengan kaum revolusioner dan berbalik menentang Tsar.

Hari itu juga Tsar membubarkan Duma (parlemen kerajaan).

Tanggal 12 Maret, simbol-simbol monarki dibakar di jalan-jalan. Monarki sudah kehilangan kontrol atas keadaan.

Tanggal 15 Maret, Tsar Nicholas menyerahkan tahkta kepada adiknya, Michael Alexandrovich. Namun, besoknya, tanggal 16 Maret, adiknya itu menolak takhta itu. Berakhirlah Dinasti Romanov yang memerintah kekaisaran Rusia selama 300-an tahun.

Hari itu juga Pemerintahan sementara atau Pemerintahan Provinsional terbentuk.

Namun, tidak berkuasa lama, pada 7 November 1917 (25 Oktober dalam penanggalan Rusia), kaum sosialis di bawah pimpinan Bolshevik menyempurnakan Revolusi Rusia itu dengan menggulingkan pemerintahan provinsional dan membentuk pemerintahan Soviet.

Itulah revolusi paling besar dan paling berkobar di permulaan Abad ke-20. Revolusi yang memicu revolusi lain di berbagai tempat. Juga melipatgandakan semangat bangsa-bangsa jajahan untuk mengusir kolonialisme.

Oiya, revolusi juga langsung menjamin kesetaraan laki-laki dan perempuan. Mulai dari lapangan ekonomi, politik, sosial hingga di depan hukum.

Terima kasih, kaum Perempuan Rusia.

RINI HARTONO, Ibu dari seorang anak perempuan, yang suka menulis dan tertarik dengan sejarah, masalah sosial-budaya, ekonomi dan politik, serta isu kesetaraan gender.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid