Chavez Dan Banjir

Setiap banjir datang melanda dan merendam Jakarta, tempat tinggal sekaligus Ibukota Negeriku, saya selalu teringat almarhum Comandante Hugo Chavez.

Semasa hidupnya, Chavez merupakan Presiden di dunia yang punya kepedulian terhadap korban banjir. Tak hanya itu, dia juga pejabat politik yang punya terobosan paling radikal bagi korban banjir.

Akhir 2010 lalu, hujat lebat mengguyur Venezuela selama berminggu-minggu. Akibatnya, sebagian besar wilayah negeri terendam banjir. Banyak jalan yang rusak, jembatan putus, pertanian hancur, dan 100.000 lebih keluarga kehilangan rumah.

Tak hanya mendatangkan banjir, hujan lebat itu juga menyebabkan longsor. Sebagian besar korbannya orang miskin. Maklum, sebagian besar rakyat miskin Venezuela, terutama di Caracas, tinggal di pemukiman padat (barrio) di atas perbukitan.

Pemerintah Venezuela menyebut banjir kali ini sebagai banjir terparah dalam 40 tahun terakhir. Hujan tersebut, yang dikaitkan dengan fenomena La Niña, menyebabkan 35 orang tewas, menghancurkan rumah sebanyak 5000 kepala keluarga, dan 70.000 orang mengungsi.

Yang menarik, Chavez tidak tinggal diam. Dengan helikopter, ia memantau seluruh negeri. Siang dan malam. Terkadang, dengan menggunaan kendaraan militer, ia menerobos daerah-daerah yang terkena bencana.

“Mereka bilang padaku, banyak yang tidak mau tinggalkan kota ini sebelum Presiden datang. Baik, aku ada di sini sekarang,” kata Chavez kepada sejumlah warga yang tidak mau dievakuasi. Jadi, bukan hanya petugas atau relawan, tetapi Chavez sendiri yang turun meminta rakyatnya untuk mengevakuasi diri.

Chavez juga mengirimkan tentara dan milisi Bolivarian–semacam sukarelawan rakyat–untuk membantu korban banjir. Partai yang didirikan oleh Chavez, Partai Persatuan Sosialis Venezuela (PSUV), berada di garda depan untuk menolong korban bencana alam.

Ribuan tempat penampungan darurat didirikan. Lusinan sekolah membuka pintu untuk menampung korban bencana. Di Caracas, hotel swasta menyerahkan 850 kamar untuk pengungsi.

Yang paling spektakuler: Chavez membuka pintu Istana Kepresidenan Miraflores untuk para korban banjir dan longsor. “Hari ini aku memerintahkan mereka (korban banjir) pinda ke Miraflores…kebetulan baru-baru ini kami membangun kamar, unit perumahan kecil, untuk kawan-kawan keamanan (staff),” kata Chavez.

Istana Miraflores, yang dibangun abad ke-19 oleh seorang bangsawan Italian untuk seorang diktator kala itu, sudah menjadi Istana Kepresidenan selama lebih dari satu abad. Di masa sebelum Chavez, rakyat miskin Venezuela sulit menginjakkan kaki di Istana Miraflores.

Chavez juga memerintahkan agar kantor Wakil Presiden dan kantor pemerintah lainnya merombak satu lantai dari bangunan kantornya untuk perumahan darurat korban banjir.

Respon cepat Chavez terhadap bencana mendapat pujian. Survei Social Investigation Group XXI (GIS) mengungkapkan, sebanyak 80% responden mengaku puas dengan respon darurat pemerintahan Chavez terhadap banjir.

Setelah banjir mereda, Chavez tidak diam. Ia segera meminta Majelis Nasional, semacam DPR di Indonesia, untuk mengesahkan sejumlah Rancangan Undang-Undang yang ia ajukan. Sebagian besar RUU itu berupaya memberi kewenangan kepada Presiden untuk mengambil langkah darurat dalam situasi kritis.

UU ini, misalnya, memberi kewenangan penuh kepada Chavez untuk mengatasi kebutuhan manusia yang paling vital dan mendesak akibat kondisi sosial (kemiskinan) dan bencana alam (banjir, longsor, dan bencana alam lainnya).

UU ini juga memungkinkan pemerintah untuk menyusun tata ruang yang baru, yang memungkinkan mengurangi kepadatan demografis di daerah tertentu atau memindahkan penduduk dari daerah/pemukiman yang rawan bencana. Di sini juga pemerintah melakukan perombakan terhadap moda peletakan infrastruktur dan layanan publik agar lebih demokratis dan humanis.

Salah satu output dari UU ini adalah, pada tahun 2011, Chavez meluncurkan program perumahan rakyat atau sering disebut “Gran Misión Vivienda Venezuela”. Proyek ini, yang pendanannya berasal dari keuntungan perusahan minyak negara (PDVSA), bercita-cita membangun sedikitnya 2 juta rumah untuk rakyat Venezuela hingga 2017. Prioritasnya: tuna wisma, warga miskin, pekerja berpendapatan rendah, dan korban bencana alam.

Tetapi, program ini tidak bisa dipahami hanya sebagai program perumahan biasa. Chavez sendiri menyebut proyek perumahan ini sebagai bagian dari proyek “Sosialisme Abad 21”, yang bercita-cita merevolusionerkan akses rakyat terhadap perumahan yang layak,  sehat, dan manusiawi.

Untuk diketahui, di bawah rezim neoliberal, masalah perumahan diserahkan kepada mekanisme pasar. Sementara pembangunan kota, termasuk Caracas, mengacu pada logika akumulasi kapital. Kombinasi dua hal tersebut menciptakan kota: pusat dan pinggiran (peripheri).

Pusat kota ditetapkan sebagai pusat bisnis, kawasan pemukiman elit, Residen, Apartemen, dan lain-lain. Alhasil, mereka yang punya uang bisa memilih perumahan elit di tengah kota, yang notabene nyaman, aman dari bencana, dekat dengan layanan publik, dan lain-lain.

Sementara orang-orang miskin, yang notabene tidak punya daya beli, terlempar ke pinggiran. Sebagian besar mendiami perbukitan yang mengelilingi kota Cacaras. Alhasil, pemukiman padat penduduk (barrio) berdiri di seantero perbukitan Caracas. Di sana tidak ada infrastruktur dan layanan publik yang memadai. Bahkan, bila hujan deras datang, kawasan itu rawan longsor.

Program perumahan Chavez merombak konfigurasi itu. Ratusan ribu rumah-rumah baru, termasuk apartemen, dibangun di dalam kota yang bebas dari bencana. Rumah-rumah ini disediakan gratis bagi korban bencana alam dan kaum miskin. Penduduk yang tinggal di daerah rawan bencana direlokasi ke rumah-rumah baru ini.

Kebijakan ini punya dampak revolusioner: warga kota, yang selama ini ditempatkan di pinggiran dan merasa tidak punya hak atas kota, kini menjadi bagian dari warga kota. Ruang-ruang kota juga terdemokratiskan. Termasuk infrastruktur dan layanan publiknya.

Hujan tak bisa ditolak. Namun, menyelamatkan rakyat dari potensi bencana yang diakibatkan oleh hujan sangat mungkin dilakukan. Dan Chavez berhasil melakukan itu.

Sayang, komitmen dan terobosan seperti yang dilakukan Chavez tidak dimiliki elit politik di Indonesia. Di negeri ini, elit politik lebih senang saling lempar kesalahan kalau banjir sudah datang. Sudah begitu, program penanggulangan banjir tidak pernah menyentuh ke akar persoalan: model pembangunan kota yang mengikuti logika akumulasi modal.

Di negeri ini, seorang Presiden sudah merasa punya kepedulian terhadap korban bencana alam ketika mengucapkan rasa prihatin melalui jejaring sosial. Ada warga Indonesia di Sumatera Utara sana, yang sudah berbulan-bulan hidup dalam ketidakpastian akibat gunung meletus, baru dikunjungi oleh Presiden pada hari Kamis (23/1/2013).

Respon pemerintah kota juga tidak lebih baik. Seorang pemerintah kota, yang mestinya menyiapkan konsep-konsep besar, justru sibuk bicara hal yang remeh-temeh: gorong-gorong, sampah, dan lain-lain. Tanpa menapikan hal remeh tadi, pemerintah kota mestinya lebih berfikir konsep antisipasi yang lebih besar. Misalnya, bagaimana mengantisipasi penurunan muka tanah Jakarta, yang katanya, berkisar antara 0,011 m (1,1 cm) hingga 0,27 m (27 cm) pertahun. Artinya, pemerinta kota harus berani mengontrol pendirian bangunan, terutama untuk keperluan bisnis, di Jakarta.

Saya kira, logika pembangunan yang bertumpu pada akumulasi kapital telah mengubah banyak taman, hutan kota dan ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta, yang mestinya menjadi penangkal banjir, menjadi perumahan elit, apartement, mall, pusat perbelanjaan, kawasan perkantoran perusahaan, dan lain-lain.

Selain itu, gerak akumulasi kapital ini, yang mengeliminasi teritori atau wilayah sosial yang tidak menguntungkan dan memusatkan kapitalnya di daerah yang benar-benar menguntungkan, telah memicu migrasi penduduk dari daerah-daerah yang kurang menguntungkan. Karena ketiadaan dukungan dari pemerintah, misalnya menciptakan ruang yang layak bagi mereka, kaum urban ini tidak sedikit yang memilih membuat ruang hidup di pinggiran sungai atau waduk. Mereka kemudian dicap sebagai “pemukim ilegal” oleh pemerintah kota. Padahal, mereka masih rakyat Indonesia yang punyak hak konstitusional untuk mendapat ruang hidup yang layak sebagai warga negara.

Jadi, bagi saya, tanpa merombak logika pembangunan yang bertumpu ke kapital ini, proyek penanganan banjir dan visi pembangunan kota yang humanis hanya “isapan jempol” belaka.

Raymond Samuel

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid