Tujuh Alasan Izin HGU PT. Asiatic Persada Harus Dicabut

Setelah berlangsung selama 27 tahun, perjuangan Suku Anak Dalam 113 (SAD 113) akhirnya mulai menemui titik terang. Pada tanggal 24 Oktober 2013, Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Jambi mengeluarkan Surat Rokomendasi Peninjauan Ulang Izin HGU PT. Asiatic Persada kepada Gubernur Jambi, dan pada tanggal 25 Oktober 2013 ditindaklanjuti dengan Surat Rokomendasi Peninjauan Ulang Izin HGU PT. Asiatic Persada oleh Pemerintah provinsi Jambi kepada BPN RI di Jakarta.

Dalam surat tersebut Pemprov Jambi merekomendasikan kepada BPN RI untuk segera meninjau ulang sertifikat HGU No. 1 PT. Asiatic Persada di Kabupaten Batang Hari, Provinsi Jambi.

Ketua Komite Pimpinan Wilayah Partai Rakyat Demokratik (KPW PRD) Jambi, Mawardi, dalam rilis yang diterima Berdikari Online menyebutkan bahwa sikap ini diambil setelah perusahaan yang bernaung dalamWilmar Group tersebut mengkhianati hasil keputusan tiga pihak, yakni Lembaga Negara, PT. Asiatic Persada, dan Suku Anak Dalam (SAD 113) tanggal 26 Maret 2012. Tiga pihak tersebut sepakat untuk mengembalikan tanah adat SAD 113 sesuai peta mikro. Dalam ijin HGU PT. Asiatic Persada disebutkan adanya lahan perladangan, pemukiman, belukar milik rakyat seluas 3.550 Ha, namun selama ini lahan tersebut diklaim oleh pihak perusahaan.

Menurut Mawardi, dialog yang diakhiri dengan membuat surat kesepakatan sudah ratusan kali dilakukan, namun perusahaan asal Malaysia itu tidak menunjukkan itikad baik.

Dengan perkembangan ini Mawardi mendesak pemerintah pusat cq BPN RI untuk mengambil sikap tegas. Berikut ini tujuh alasan yang dikemukakan Mawardi:

Pertama, PT. Asitic Persada/AMS berusaha lari dari tanggungjawab dengan mengalihkan kepemilikan manajemen perusahaan secara diam-diam dari PT. Asitic Persada kepada PT. Agro Mandiri Semesta, agar seluruh hasil kesepakatan-kesepatan sebelumnya gugur (karena pergantian nama tersebut). 

Kedua, PT. Asitic Persada/AMS mengingkari kewajiban hukum untuk mengembalikan tanah adat SAD 113, dengan membujuk warga SAD menerima sogokan “koperasi kemitraan”. Padahal, PT.Asiatik Persada diwajibkan untuk menyetor biaya pengukuran lahan seluas 3.550 Ha. 

Ketiga, PT. Asitic Persada/AMS tidak mengindahkan surat teguran yang dilayangkan oleh Pemerintah Provinsi Jambi yang akan memberikan sanksi hukum berupa surat rekomendasi pencabutan ijin HGU perusahaan. 

Keempat, PT. Asitic Persada/AMS melecehkan kredibilitas institusi negara yang terlibat dalam penandatangan hasil keputusan bersama: (BPN-RI, DPR-RI, DPD-RI, Komnas HAM, Polri, Pemda Jambi, Pemda Batanghari, dll). 

Kelima, PT. Asitic Persada/AMS tidak memberikan perbaikan nasib dan keadilan bagi masyarakat adat SAD. Sebaiknya, melakukan pelanggaran HAM, pengusiran warga dari Kampungnya (Tanah Menang, Pinang Tinggi, Padang Salak), bahkan banyak masyarakat adat dipenjarakan karena laporan perusahaan. 

Keenam, PT. Asitic Persada/AMS tidak menghormati proses penyelesaian konflik ala pemerintah, dan selalu melibatkan CAO (Complain Advisor Ombudsman) sebagai kepanjangan tangan asing/Bank Dunia di Indonesia untuk melemahkan pemerintah.   

Ketujuh, PT. Asitic Persada/AMS tidak menghormati kedaulatan bangsa Indonesia (Otonomi Daerah), serta konstitusi (Pasal 33 UUD 1945 dan UU Pokok Agraria No 5/1960).

Mawardi menambahkan, pencabutan ijin HGU perusahaan oleh Pemerintah bukan saja dapat menyelesaikan berbagai konflik masyarakat adat SAD dan Petani dengan PT. Asitic Persada/AMS, tapi juga dapat mensejahterakan lebih dari 10.000 keluarga petani di Jambi.

Mahesa Danu

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid