Tolak Kenaikan Harga TDL!

Pada bulan April 2012, untuk kesekian kalinya, pemerintah kembali akan menaikkan harga Tarif Dasar Listrik (TDL). Rencana ini, menurut Menko Perekonomian Hatta Radjasa, sudah hampir pasti. Katanya, kenaikan sebesar 10% sudah hampir pasti, tinggal soal metode kenaikannya.

Kami tidak akan membahas soal opsi-opsi kenaikan itu. Sebab, terlepas dari opsi mana yang ditempuh pemerintah, kenaikan TDL sudah dipastikan akan berdampak signifikan terhadap ekonomi rakyat dan industri dalam negeri.

Yang justru menarik untuk digeledah adalah ‘selusin’ alasan pemerintah di balik kenaikan harga TDL ini. Sebab, menurut pandangan kami, sebagian besar alasan itu hanya jualan kecap belaka. Itu tidak lebih dari ‘trik’ menjaga popularitas dan mencegah kemarahan luas massa rakyat.

Pertama, kenaikan harga TDL karena subsidi listrik terus membengkak. Akhirnya, dari tahun ke tahun, alokasi subsidi terus dipangkas. Pada APBN 2012, subsidi listrik hanya Rp 45 triliun. Dengan kenaikan TDL sebesar 10%, dalam bayangan pemerintah, terjadi penghematan sebesar Rp 8,9 triliun. Bukankah anggaran untuk mendandani aparatus negara ini justru ‘pemborosan’?

Baiklah, kita lihat ilustrasi berikut: pada APBN 2012, anggaran untuk membiayai 4,7 juta orang aparatus negara mencapai Rp. 215,7 trilyun atau meningkat Rp 32,8 trilyun dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan subsidi BBM, yang meliputi ratusan juta rakyat dan usaha kecil, hanya berkisar Rp 45 triliun.

Belum lagi, setiap tahunnya APBN kita disandera oleh utang. Alokasi pembayaran utang luar negeri pada APBN 2012 mencapai mencapai Rp 122,2 trilun. Angka ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Padahal, seperti kita ketahui, sebagian besar utang itu tidak ada manfaatnya bagi rakyat.

Pertanyaannya: jika memang APBN terancam defisit, kenapa pemerintah tidak memangkas pos anggaran yang sangat boros: belanja aparatus negara dan pembayaran utang. Kenapa pemerintah tidak berani melakukan moratorium pembayaran utang luar negeri. Juga, kenapa pemerintah tidak  berani melakukan moratorium pembangunan gedung/kantor baru pemerintah, mobil dinas baru, rumah dinas baru, moratorium kenaikan gaji pejabat, dan lain-lain.

Kedua, kenaikan TDL untuk memaksimalkan pasokan dan kualitas layanan. Selama ini, pasokan listrik oleh PLN belum maksimal. Pemadaman listrik bergilir masih sering terjadi di berbagai wilayah Indonesia.

Terkait pasokan ini, persoalan dasarnya ada dua: soal bahan bakar (energi) dan pembangunan infrastruktur. Untuk persoalan bahan bakar, persoalannya terletak di pundak pemerintah sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir, PLN mengalami krisis bahan bakar: BBM, gas, dan batubara. Anehnya, ketiga jenis bahan bakar itu cukup melimpah di negeri kita dan sanggup kita produksi.

Yang menjadi masalah: hampir semua ladang minyak, gas, dan batubara kita dikuasai oleh perusahaan asing. Sekitar 85-90% ladang minyak kita dikuasai perusahaan asing, 90% produksi gas kita dikuasai oleh 6 perusahaan asing, dan sekitar 70% produksi batubara kita dikuasai asing.

Produksi energi kita berada di tampuk asing. Akibatnya, pemerintah tak punya kuasa untuk memastikan pasokan bahan bakar untuk PLN. Akibatnya, dari tahun ke tahun, PLN dipaksa membeli bahan bakar dengan harga cukup tinggi. Inilah penyebab anggaran subsidi menjadi boros.

Disamping soal pasokan energi, pemerintah juga minim dalam melakukan pemeliharaan (maintenance), pembangunan infrastruktur, dan inovasi teknologi. Pada tahun 2011, misalnya, kementerian ESDM hanya memberi Rp 9,18 triliun kepada PLN untuk pembangunan infrastruktur. Angka itu sangat kecil, tentu saja.

Ketiga, mendorong elektrifikasi 100% di seluruh wilayah Indonesia. Sudah 66 tahun bangsa Indonesia menghirup udara kemerdekaan, tapi masih ada 80 juta rakyat Indonesia yang hidup gelap-gulita. Kita sangat faham akan kebutuhan elektrifikasi 100% ini.

Akan tetapi, yang kita persoalkan adalah caranya. Bagi pemerintah, cara untuk mempercepat proses elektrifikasi adalah dengan mengundang swasta, termasuk pemilik modal asing. Dengan liberalisasi, pemerintah yakin bahwa investasi akan menjamur, terjadi pembangunan infrastruktur dimana-mana, dan terjadi kompetisi yang akan memperbaiki kualitas.

Masalahnya: listrik adalah kebutuhan dasar rakyat, sedangkan motif utama kehadiran swasta adalah mencari keuntungan. Jika swasta hendak terlibat dalam bisnis listrik, maka harga listrik harus dilempar pada mekanisme pasar.

Belum ada sejarahnya privatisasi layanan listrik, termasuk di negeri maju, yang menuai keberhasilan. Di Amerika Latin, pada tahun 1990-an, hampir semua proyek liberalisasi kelistrikan yang dijalankan oleh pemerintahan kanan tidak membawa kemajuan: janji investasi tidak terealisasi, tidak ada persaingan pasca liberalisasi, krisis dan ketidakstabilan ekonomi, harga listrik meningkat drastis, dan makin memburuknya kinerja perusahaan listrik.

Sebetulnya, jika kita amati, kenaikan harga TDL pada April 2012 adalah ‘agenda tertunda’ dari rencana untuk membuat harga BBM di dalam negeri sesuai dengan ‘harga pasar dunia’. Selain itu, nantinya, mereka juga akan menuntut privatisasi PLN. Sebab, hanya dengan begitu, monopoli PLN dalam layanan listrik bisa diakhiri. Setelah monopoli PLN berakhir, maka perusahaan listrik asing pun bisa berebut pangsa pasar.

Dan, liberalisasi sektor kelistrikan ini tinggal menunggu waktu, sebab perangkat Undang-Undangnya sudah disediakan: UU No.30/2009 tentang Ketenagalistrikan. Padahal, jika kita baca baik-baik konstitusi kita, khususnya pasal 33 UUD 1945, sektor ketenagalistrikan termasuk dalam cabang produksi yang tidak boleh diserahkan kepada swasta dan mekanisme pasar.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid