Akhirnya, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kembali bercokol Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.
Dirancang sejak 2012, lalu masuk Prolegnas proriotas 2016, tetapi tak kunjung disahkan. Ibarat diberi di-php, eh ujung-ujungnya ditolak. Pada 30 Juni 2020, RUU PKS ditendang keluar dari Prolegnas prioritas. Jahat!
Nah, agar kita tak lagi jadi korban php, segala lini perjuangan perlu diaktifkan. Sebab, rupa-rupanya, darurat kekerasan seksual di tanah air tak cukup membuat insyaf para anggota DPR untuk mempercepat pengesahan RUU ini.
DPR kita, yang terkenal bebal dan tidak sensitif dengan isu kesetaraan gender itu, perlu diberi tekanan sehebat-hebatnya dari segala sisi.
Aksi Kolektif dan Langsung
Agar ada tekanan yang kuat kepada DPR, RUU PKS butuh aksi kolektif. Ada kesatuan gerak dari semua organisasi perempuan dan gerakan sosial. Aksi yang menggerakkan semua orang yang setuju dengan RUU ini.
Mulai dari aksi protes di jalan, panggung budaya, diskusi-diskusi publik, graffiti action, pawai, hingga rapat umum berskala besar.
Namun, kalau aksi-aksi damai ini tetap dicuekin juga, maka kita perlu mengikuti saran dari Pak Sukarno: “Kalau kata-kata saja tidak dapat menyehatkan jiwa yang keblinger, apa boleh buat, suruhlah senjata berbicara atau bahasa yg lebih kuat lagi.”
Dalam hal ini, kita perlu mengorek sedikit pengalaman Suffragette, gerakan perempuan yang memperjuangkan hak pilih di awal abad ke-20. Terutama di Inggris.
Awalnya, agar isu hak pilih perempuan didengarkan oleh parlemen, aktivis menggunakan metode aksi massa dan lobby. Namun, setelah berpuluh-puluh tahun metode itu tidak begitu membuahkan hasil, beberapa suffragette mulai melirik metode yang lebih keras.
Pada 1903, di Inggris, seorang aktivis perempuan bernama Emmeline Pankhurst mendirikan organisasi khusus perempuan untuk memperjuangkan hak pilih. Namanya: Serikat Politik dan Sosial Perempuan/Women’s Social and Political Union (WPSU).
Di bawah slogan “Deeds, not words”, suffragette bukan hanya menggelar aksi massa, tetapi juga sejumlah aksi langsung: aksi pendudukan, menyela pertemuan atau rapat-rapat resmi, memecahkan kaca-kaca kantor, hingga sabotase.
Dengan cara-cara itu, aktivis Suffragette berharap suara mereka didengar. Dan memang betul, aksi-aksi mereka menghiasai pewartaan media. Nama suffragette, begitu dipergunakan oleh Daily Mail tahun 1906, langsung menjulang tinggi.
Namun, usaha itu saja belum cukup. Raja dan parlemen tetap tutup telinga. Yang terjadi justru pengerahan polisi untuk menangkapi aktivis suffragette. Ada banyak—beberapa data menyebut ribuan—aktivis suffragette yang ditangkap.
Tetapi aktivis-aktivis perempuan ini bukan tipe manusia yang gampang menyerah. Di dalam penjara, mereka menggelar aksi mogok makan massal. Tak jarang, untuk mencegah kematian, petugas penjara memaksa para aktivis itu untuk makan (force feeding). Kalau tidak berhasil juga, mereka terpaksa dibebaskan.
Beruntung, perjuangan panjang nan melelahkan, yang penuh jerit-pedih dan pengorbanan itu, berhasil membuahkan hasil. Tahun 1928, Inggris mengakui hak pilih perempuan.
Perang Gagasan
Saya kira, salah satu perintang RUU PKS ini adalah kondisi kesadaran masyarakat kita. Tak terpungkiri, sekarang ini gagasan konservatisme sedang hegemonik.
Dalam perspektif saya, ketidakberanian partai-partai di DPR, termasuk yang berbendera nasionalis dan sekuler itu, mendesak maju pengesahan RUU PKS, karena takut berhadapan dengan angin konservatisme yang tengah menguat ini.
Tentu saja, konservatisme yang tengah menguat ini tidak muncul tiba-tiba. Ini adalah hasil gerilya kaum konservatif dalam rentang waktu yang panjang. Setidaknya pasca reformasi hingga sekarang.
Di akar rumput mereka berdakwah dari pintu ke pintu. Dari masjid ke masjid. Setiap hari, tanpa menunggu momentum pemilu. Mereka bergerilya lewat buku-buku dan novel. Mereka mendirikan lembaga-lembaga pendidikan.
Tahun 2009, ketika mereka mendapat kesempatan berkuasa, mereka mengambil Kementerian yang berkaitan erat dengan propaganda: komunikasi dan telekomunikasi.
Tentu saja, jika mau menciptakan hegemoni baru yang lebih progressif, yang memberi kondisi yang menguntungkan bagi kesetaraan gender, kita harus memenangkan ruang-ruang propaganda yang ada.
Kita harus bergerak di akar rumput, dari pintu ke pintu. Kita bisa memulainya dari yang paling sederhana dan bisa berterima: perlunya menghargai hak-hak perempuan sebagai manusia.
Kita perlu berkolaborasi dengan perempuan-perempuan yang banyak bekerja di akar rumput, seperti kader-kader Posyandu, PKK, perkumpulan ibu-ibu (arisan, senam, dll), dan lain sebagainya.
Kita harus memproduksi banyak bacaan, dari buku-buku hingga novel-novel. Setiap kita, laki-laki dan perempuan yang bersetuju dengan ide-ide kesetaraan gender, harus menjadi balatentara di Medsos.
Tentu saja, ini bukan kerja sebentar. Bukan setahun-dua tahun. Ini kerja jangka panjang. Sampai gagasan yang progressif jadi hegemonik.
Politik Parlemen
Saya pernah membayangkan, ketika RUU PKS mangkrak di DPR, maka anggota 118 anggota DPR perempuan itu akan membuat gerakan politik. Setidaknya mereka akan membikin petisi yang menekan kolega laki-lakinya untuk tidak mengesampingkan RUU PKS.
Saya membayangkan itu karena dua argumentasi. Pertama, sebagai perempuan, anggota DPR itu punya pengalaman tubuh dan pengalaman sosial yang sama dengan perempuan-perempuan lainnya: pengalaman diremehkan, didiskriminasi, dilecehkan, dan menjadi objek kekerasan. Sebab, seperti ditemukan BPS, 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun di Indonesia pernah menjadi korban kekerasan.
Kedua, para anggota DPR perempuan harus berterima kasih pada kebijakan afirmasi politik perempuan, yang mensyaratkan kuota 30 persen perempuan pada pencalegkan di setiap partai politik.
Tentu mereka sudah tahu, tujuan kebijakan afirmasi politik itu adalah memastikan isu-isu yang menyangkut hak-hak perempuan bisa terbicara di parlemen, sehingga melahirkan kebijakan yang melindungi sekaligus memajukan hak-hak perempuan.
Sayang sekali, itu tidak terjadi. Kaukus Perempuan Parlemen RI, yang terdiri dari anggota DPR perempuan lintas partai dan fraksi, hanya mengumbar pernyataan datar (silahkan ketika kata kunci “kaukus perempuan parlemen RUU PKS” di google). Bahkan, ketika RUU PKS dikeluarkan dari Prolegnas 2021, tak ada aksi politik yang konkret dari koalisi itu.
Dan yang paling pahit, RUU PKS tidak tuntas, bahwa dikeluarkan dari Prolegnas, di saat DPR dipimpin oleh perempuan.
Ke depan, karena RUU PKS kembali masuk ke Prolegnas 2021, kita perlu memastikan perempuan-perempuan di parlemen ini menunjukkan keberpihakannya pada isu-isu perlindungan perempuan dan anak. Tidak hanya dalam pernyataan, tetapi aksi politik. Deeds, not word!
Tetapi, tentu saja, kita perlu mengerti batasan-batasan mereka. Sebagian besar perempuan di DPR itu tidak berasal dari gerakan perempuan. Tak banyak dari mereka yang punya agenda politik untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak.
Mereka dihasilkan oleh proses pencalegkan yang diputuskan sebagian besar oleh laki-laki, tak sedikit dengan kewajiban menyetorkan mahar, dan persaingan pemilu yang mengharuskan biaya tinggi.
Untuk jangka panjang, menurut saya, gerakan perempuan dan gerakan sosial yang lain perlu mendiskusikan perlunya membangun alat politik alternatif. Sebuah alat politik yang menghargai kesetaraan gender.
Jadi, selain terus memperjuangkan lebih banyak keterwakilan perempuan di parlemen, ada sebuah alat politik yang layak kita titipkan agenda kesetaraan gender dan kesejahteraan bersama.
RINI MARDIKA, Ibu dari seorang anak perempuan, yang suka menulis tentang isu-isu perempuan, masalah sosial di sekitar kita, dan cerpen.
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid