Faktanya, Jokowi bukan harapan. Dia hanya keberlanjutan dengan versi yang lebih brutal dan lebih ugal-ugalan dari agenda neoliberalisme di Indonesia.
Soal Investasi Asing, Ini Beda Jokowi di Pemilu 2014 dan Sekarang
Tahun 2014, ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkampanye sebagai Calon Presiden, ada kritik yang meluas terhadap kebijakan liberaliasi investasi.
Penyebabnya, setelah 15 tahun (1999-2014) Indonesia mendorong liberalisasi investasi yang lebih massif, ada dampak yang merusak: menguatnya penguasaan asing, deindustrialisasi, pertanian makin tertinggal, dan ketimpangan yang kian melebar.
Hampir semua Calon Presiden di pemilu saat itu, termasuk Jokowi, menyadari hal itu. Karena itu, dalam debat Capres/Cawapres, Jokowi menekankan perlunya mempersulit investasi asing.
“Pasar domestik jangan dimasuki dari luar, caranya seperti apa, hal-hal berkaitan dengan perizinan misalnya, daerah harus berikan kecepatan kalau itu investor lokal, domestik, tapi kalau yang dari luar, enggak apa-apa lah sedikit disulit-sulitin,” kata Jokowi, seperti dikutip Kompas.com (15/6/2014).
Jokowi pun bicara perlunya barrier atau penghalang, yang bisa berbentuk regulasi atau kebijakan. Dia bahkan berusaha menyakinkan bahwa di negara lain pun ada barrier-nya.
Sayang seribu sayang, ketika Jokowi berkuasa sebagai Presiden, dia justru melakukan sebaliknya: liberalisasi investasi. Di masa jabatan pertama, Jokowi menggeber investasi asing. Sampai keluar 12 paket kebijakan ekonomi untuk memuluskan jalan bagi arus-masuk investasi asing.
Ketika Jokowi jadi Presiden, dia lupa kata “barrier”. Yang kerap dia dengunkan, lalu didorong menjadi kebijakan utama untuk menarik investasi asing, adalah deregulasi.
Deregulasi berlawanan dengan barrier. Deregulasi justru mencoba menyingkirkan semua regulasi yang menghalangi atau menghambat investasi asing. Kebijakan daftar negatif investasi (DNI) diubah-ubah. Semakin banyak bidang usaha yang boleh dikuasai asing hingga 100 persen. Jadi, alih-alih dipersulit, justru dipermudah.
Di periode keduanya, kita berharap Presiden berubaha haluan. Nyatanya, tidak. Yang terjadi, Jokowi makin agressif untuk membuat rumah ekonomi Indonesia tak lagi berpintu dan berdinding, sehingga bisa dimasuki investasi asing dari segala sisi.
Alih-alih membuat barrier, Jokowi justru ingin menghapus Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Padahal, AMDAl adalah hasil perjuangan aktivis lingkungan untuk memaksa kebijakan Negara, termasuk pembangunan, lebih menghargai lingkungan.
Bukan itu saja. Baru-baru ini, di acara Rakornas Indonesia Maju antara Pemerintah Pusat dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), di Bogor, Presiden Jokowi meminta kepala daerah untuk tutup mata saat memberikan izin investasi.
“Kalau ada investasi yang orientasinya ekspor, sudah tutup mata, tanda tangan izinnya secepat-cepatnya. Enggak usah ditanya-tanya,” kata Jokowi, seperti dikutip katadata.co.id, Rabu (13/11/2019).
Rupanya, ketika saya cari jejak digital pernyataan ini di mesin pencarian google, setidaknya di tahun ini sudah 3 kali Presiden Jokowi mengeluarkan pernyatan semacam ini, yakni Maret, Juli dan November 2019.
Dan yang terbaru, pemerintahan Jokowi akan menghapus Daftar Negatif Investasi (DNI) pada Januari 2020. Jadi, semua sektor usaha akan dibuka bagi investor asing, termasuk pemilikannya boleh 100 persen. Ngeri nggak?
Apa yang bisa kita simpulkan?
Ketika berkampanye di Pemilu 2014, dengan retorika nasionalisme ekonomi, banyak orang yang menjadikan Jokowi sebagai harapan agar ekonomi Indonesia lebih berdikari, berdaulat, dan berkeadilan sosial.
Faktanya, Jokowi bukan harapan. Dia hanya keberlanjutan dengan versi yang lebih brutal dan lebih ugal-ugalan dari agenda neoliberalisme di Indonesia.
Kita tentu tidak anti investasi asing. Hanya saja, seperti yang dibilang oleh Bung Hatta, bapak Proklamator kita, pedoman bagi kapital adalah keuntungan. Karena itu, investor akan mencari segala macam cara untuk menumpuk keuntungan.
Di sini seringkali terjadi masalah. Demi menumpuk keuntungan, investor terkadang menuntut upah murah. Penyediaan tanah untuk investasi terkadang didahului dengan penggusuran/penyingkiran paksa. Seringkali objek investasi dan model operasinya merusak lingkungan. Alih-alih menaikkan penerimaan negara, terkadang investor dibujuk dengan beragam insentif dan fasilitas pajak yang meringankan.
Dan yang terpenting, terkait dengan aspek kedaulatan dan cita-cita ekonomi berdikari, seperti ditegaskan Bung Hatta: “kalau kapital didatangkan dari luar, maka tampuk produksi terpegang oleh orang luaran.”
Ketika DNI akan dihapus, semua lapangan usaha boleh dikuasai asing 100 persen, bahkan nanti tanah boleh dimiliki asing, kemudian IMB dan AMDAL juga dihapus, maka bersiap-siaplah bangsa ini menjadi kuli di Negeri sendiri. Sementara generasi masa depan hanya akan mewarisi cerita tentang sebuah Negeri yang pernah indah, hijau dan kaya raya.
Bangkit Nusantara
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid