Seruan Poros Anti-Oligarki Makin Menggema

Ada keresahan yang cukup luas terhadap menguatnya dominasi oligarki dalam kehidupan politik Indonesia belakangan ini.

Keresahan itu disuarakan oleh beragam pihak, dari aktivis gerakan sosial, akademisi, pengamat politik, jurnalis, pelaku usaha kecil (UMKM), kelompok agamawan, dan beberapa politisi. 

Demi menangkap keresahan itu, agar berbuah menjadi konsolidasi gagasan dan gerakan politik alternatif, Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) berinisiatif menggelar sebuah Focus Group Discussion (FGD).

FGD bertajuk “Membangun Poros Politik Anti-Oligarki” itu diselenggarakan di Menteng, Jakarta Pusat, pada 18 September 2021, dengan menghadirkan puluhan tokoh, akademisi, dan perwakilan gerakan sosial.

Dalam diskusi itu, peserta FGD menyoroti kehidupan politik yang dikendalikan oleh segelintir orang, terutama di tangan orang yang punya jejaring bisnis. Mereka menggunakan politik untuk melayani kepentingan bisnisnya.

Nurhastuty K Wardhani, pengajar di Universitas Trisakti, menyinggung situasi perbankan Indonesia yang hanya dikuasai oleh 30 keluarga. Situasi serupa juga banyak terjadi di lapangan usaha yang lain. 

Lebih lanjut, peraih gelar gelar Ph.D bidang keuangan di University of Queensland ini juga menyinggung kebijakan perpajakan yang tak banyak berubah dalam 30 tahun terakhir.

Padahal, dalam rentang waktu yang panjang itu, ada perubahan nilai kekayaan yang signifikan. Indonesia sendiri merupakan salah satu negara dengan peningkatan orang super kaya (crazy rich) tercepat di dunia.

Merujuk ke laporan Credit Suisse, di tahun 2020 lalu, ada 171.740 orang di Indonesia dengan kekayaan di atas US$ 1 juta atau sekitar Rp 14 milyar per tahun. Angka itu meningkat 61,69 persen dibanding tahun 2019.

Kemudian, di tahun yang sama, ada 417 orang dengan kekayaan di atas US$ 100 juta atau Rp 1,4 triliun. Angka itu naik 22,29 persen dibanding tahun 2019. 

“Sayangnya, peningkatan kekayaan itu tidak berkontribusi banyak pada penerimaan pajak negara,” katanya.

Menguatnya kepentingan oligarki dalam politik juga terbaca lewat lahirnya sejumlah UU yang kontennya sangat melayani kepentingan pebisnis besar, seperti revisi UU KPK, perubahan UU Minerba, dan lahirnya UU Cipta Kerja (Omnibus Law).

Di kesempatan yang sama, Titi Anggraini dari Perludem menyinggu semakin menyempitnya ruang ruang partisipasi politik warga negara. 

“Ada semacam multiple barriers to entry dalam sistem perpolitikan di Indonesia,” kata Titi.

Penyempitan ruang politik itu tampak dari banyaknya rintangan bagi warga Negara untuk mengekspresikan kepentingan politiknya. 

Titi menyinggung persyaratan parpol peserta pemilu di Indonesia yang merupakan terberat, terumit, dan termahal di dunia. Persyaratan itu sangat menyulitkan parpol kecil dan baru.

“Biaya materai saja bisa menyentuh biaya ratusan juta rupiah. Itu belum termasuk biaya sewa kantor dan inventarisnya,” kata dia.

Setelah lolos mengikuti pemilu dan mendapat suara, belum tentu Parpol itu bisa mendudukkan wakilnya di DPR karena ada ketentuan ambang batas (parliamentary threshold) sebesar 4 persen untuk pemilu 2019. 

Sekarang ini, ada wacana dari parpol-parpol di parlemen sekarang untuk menaikkan parliamentary threshold hingga 5-7 persen dan berlaku dari nasional hingga DPRD tingkat I dan II.

Akibatnya, menurut Titi, politik yang menyempit itu hanya terbuka bagi mereka yang punya uang, kekerabatan (keluarga elit), atau bekas birokrat.

Data dari Marepus Corner, sebagian besar anggota DPR RI hanya berasal dari kalangan pengusaha (55 persen), birokrat (6 persen), dan keluarga elit (5 persen).

Sebagai respon atas situasi itu, forum FGD kemudian mengeluarkan sejumlah rekomendasi:

Pertama, pembatasan atau limitasi rekrutmen politik dengan melarang kerabat dari pejabat yang sedang berkuasa untuk mencalonkan diri/menempati jabatan publik; 

Kedua, pembatasan dan transparansi biaya kampanye parpol dari pihak ketiga, baik individu maupun badan usaha. Sebagai alternatifnya, kami mendorong pembiayaan parpol lewat APBN; 

Ketiga, penghapusan Parliamentary Threshold dan Presidential Threshold karena telah menyempitkan ruang partisipasi politik;

Keempat, pembatalan semua produk legislasi yang merugikan kepentingan publik, seperti revisi UU KPK, UU nomor 3/2020 tentang Minerba, dan UU nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja.

Kelima, mendukung penguatan masyarakat sipil dan pembangunan wadah politik alternatif;

Keenam, memperjuangkan sistem ekonomi dan politik baru yang lebih demokratis, menghargai HAM, lebih berkeadilan sosial, dan menghormati lingkungan;

Ketujuh, memandang perlu adanya sebuah konsolidasi yang lebih luas, yang melibatkan berbagai elemen masyarakat sipil, untuk menghadapi dominasi oligarki. 

Poros Anti-Oligarki

Forum FGD juga menyepakati perlunya membuat semacam poros politik yang lebih luas, yang melibatkan berbagai elemen masyarakat Indonesia.

“Isu anti-oligarki ini harus sampai ke masyarakat bawah, dengan menggunakan bahasa sederhana yang mudah dipahami, agar ada keterlibatan masyarakat,” kata Nurhastuty saat konferensi pers tentang hasil FGD, di Jakarta, Minggu (26/8/2021).

Di tempat yang sama, pakar politik dari Universitas Al Azhar Ujang Komaruddin juga mengusulkan perlunya penyadaran publik tentang dampak oligarki terhadap kehidupan rakyat sehari-hari.

“Terkadang rakyat tidak sadar kalau uang mereka hilang Rp 1-2 milyar karena bukan dari kantong mereka. Padahal, uang yang hilang uang mereka juga karena itu APBN,” katanya.

Sementara itu, Ketua Umum PRIMA Agus Jabo Priyono menyerukan perlunya sebuah konsolidasi lebih luas dalam kerangka menciptakan poros baru untuk melawan dominasi oligarki.

“Gerakan anti-oligarki ini harus menjadi sebuah kekuatan politik, sebuah poros politik baru, yang bisa memperjuangkan perubahan politik di pemilu 2024,” kata dia.

Dia juga menyerukan perlunya membuat produk legislasi yang bisa menghalangi sepak-terjang oligarki dalam mengontrol politik Indonesia dan mengeruk kekayaan nasional.

“Kita perlu sebuah Undang-Undang yang bisa membatasi ruang gerak oligarki,” tegasnya.

Ada pun tokoh, akademisi, maupun perwakilan gerakan sosial yang menghadiri FGD dan mereka yang menyetujui perlunya konsolidasi lebih luas untuk melawan oligarki, antara lain: Ujang Komaruddin (Al Azhar), Nurhastuty K Wardhani (Universitas Trisakti), Gede Sandra (Universitas Bung Karno), Nursuhud (mantan anggota DPR periode 2009-2014), Titi Anggraini (Perludem), Iwan Nurdin (KPA), Yayan Hidayat (KPA), Melissa Kowara, Extinction Rebellion (XR), Mayjen TNI (Purn) Gautama Wiranegara (Ketua MPP PRIMA), Agus Jabo Priyono (Ketua Umum PRIMA), Musdah Mulia (pendiri yayasan Mulia Raya), Nursyahbani Katjasungkana (ketua pembina YLBHI), dan lain-lain.

MAHESA DANU

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid