Sering Disebut Sukarno, Apa itu Machtsvorming?

Kalian yang sering membaca risalah-risalah Sukarno, atau sering mendengar pidato-pidatonya, tentu akrab dengan kata dari bahasa Belanda: machtsvorming.

Sayang, sekalipun kata itu bertaburan dalam risalah dan pidato-pidato Sukarno, tetapi penjelasan dan elaborasi tentangnya kurang terang-benderang.

Tidak jarang, dalam konteks aktivisme dan perjuangan politik belakangan ini, kata itu diadopsi tak lebih dari jargon kosong melompong. 

Apa itu Machtsvorming?

Secara harfiah, machtsvorming berarti pembentukan kekuasaan. Kata ini merujuk pada gerakan politik yang membangun jalan untuk berkuasa dan mewujudkan cita-cita politiknya.

Sukarno mengadopsi istilah ini dari tulisan-tulisan maupun pamflet kaum sosialis dan komunis Belanda. Meskipun di asalnya, penggunaan kata ini tidak merujuk pada kelompok politik atau ideologi tertentu.

Namun, di tangan Sukarno, kata ini diracik dan dikembangkan sehingga punya makna tersendiri dan lebih luas. Di tangan Sukarno, machtsvorming lebih mendekati sebuah strategi politik.

Dalam pidato pembelannya di pengadilan kolonial, Indonesia Menggugat, Sukarno mencoba menjelaskan pengertian dari machtsvorming. Di situ, dia menjelaskan machtsvorming sebagai “pembentukan kekuasaan”.

Lalu, di risalah berjudul Non–cooperation Tidak Bisa Mendatangkan Massa-Aksi dan Machtsvorming, Sukarno mengelaborasi lebih lanjut istilah itu.

Machtsvorming berarti pembikinan kuasa; penyusunan tenaga; penyusunan kuasa. Dalam konteks politik, pembikinan kuasa atau penyusunan kuasa diperlukan sebagai cara mendesakkan kepentingan di dalam ruang kekuasaan politik.

Dalam bahasa sederhana, machtsvorming bisa dipahami sebagai proses mengakumulasi kekuatan untuk menaikkan daya kuasa politik. Kekuatan di sini bisa bermakna penambahan jumlah anggota, perluasan pengaruh, penambahan dukungan, penerimaan gagasan secara luas, dan lain-lain.

Mengapa Machtsvorming?

Sukarno memahami politik sebagai ruang pertentangan antar berbagai kekuatan politik untuk memenangkan kepentingan-kepentingannya. 

Cara memahami politik semacam ini mengingatkan kita dengan seorang pemikir politik Jerman di awal abad ke-20, namanya: Carl Schmitt. Bagi Schmitt, hakikat politik adalah pertentangan atau antagonisme. Dalam hal ini, Schmitt mereduksinya menjadi pertentangan antara kawan versus musuh.

Sukarno juga demikian. Dia sering menggunakan istilah “kaum sana” versus “kaum sini”. Atau antara si penjajah dan si terjajah. Antara kaum marhaen dan proletar versus kapitalis dan imperialis. Pertentangan keduanya bersifat antagonistik dan tak terdamaikan.

“Tidak ada persesuaian antara sana dan sini. Antara sana dan sini ada pertentangan sebagai api dan air, sebagai serigala dan rusa, sebagai kejahatan dan kebenaran,” kata Sukarno.

Nah, dalam konteks pertentangan itulah Sukarno berbicara soal machtsvorming: strategi membangun atau mengakumulasi kekuatan agar punya daya kuasa untuk memenangkan kepentingan politiknya.

Menurut Sukarno, machtsvorming hadir sebagai cara kaum sini mendesakkan kepentingannya kepada kaum sana. “Machts­vorming adalah jalan satu-satunya untuk memaksa kaum sana tunduk kepada kita,” katanya.

Kenapa harus mengakumulasi kekuatan?

Pertama, dalam pertentangan kepentingan itu, Sukarno merujuk Karl Marx: “tidak ada kelas berkuasa di mana pun yang mau melepaskan kekuasaan dan hak-hak istimewanya secara sukarela.”

Karena itu, berhasil dan tidaknya kita mendesak kaum sana untuk menerima atau takluk atas tuntutan kita sangat bergantung pada seberapa besar kekuatan kita mengungguli mereka.

Kedua, berbicara pertentangan kaum sana versus kaum sini berarti berbicara tentang imbangan kekuatan. Atau dalam istilah pemikir Italia, Antonio Gramsci: korelasi kekuatan.

Korelasi kekuatan berarti perimbangan (hitung-hitungan) kekuatan antara kekuatan sosial dan politik yang membentuk “kaum sini” dengan kekuatan yang membela atau mempertahankan “kaum sana”.

Selama perimbangan kekuatan menguntungkan pihak sana, maka perjuangan pihak sini haruslah bersifat pengikisan. Sebaliknya, ketika perimbangan kekuatan sudah menguntungkan pihak sini, maka perjuangannya seharusnya sudah pada penggulingan.

Ketiga, kemampuan “kaum sana” atau kelas berkuasa mempertahankan kekuasaannya tidak melulu karena penggunaan koersif/paksaan, tetapi juga penggunaan cara-cara persuasi/hegemoni.

Seringkali, hegemoni bertahan karena kekuatan politik berkuasa bisa memenangkan ide-ide atau visinya kepada rakyat banyak. Sehingga terjadi semacam konsensus.

Untuk meruntuhkan hegemoni itu, perjuangan tidak bisa sekali pukul. Tidak bisa konfrontasi terbuka. Jalan yang harus ditempuh adalah: mengakumulasi kekuatan kaum sini, sembari mengikis kekuatan kaum sana.

Prinsip Machtsvorming

Agar mencapai tujuannya, yaitu memenangkan kekuasaan rakyat, maka machtsvorming tidak bisa dijalankan dengan cara berpolitik yang lunak. Politik yang berharap pihak sana berbaik dan berubah pikiran. 

Pertama, Sukarno menganjurkan agar machtsvorming dijalankan di atas prinsip radikalisme.

Radikalisme berarti perjuangan yang mendesakkan perubahan hingga ke akar-akarnya. Sebuah perubahan yang mengubah tatanan ekonomi, politik, dan sosial suatu masyarakat menjadi sama sekali baru. Bahasa lainnya, radikalisme menghendaki revolusi sosial.

“Berjuang habis-­habisan tenaga membongkar pergaulan hidup sekarang ini sampai keakar-akarnya untuk mendirikan pergaulan hidup baru di atas akar-akar yang baru,” tulis Sukarno di risalah Mencapai Indonesia Merdeka.

Kedua, machtsvorming dijalankan dengan prinsip non-koperasi. 

Non-koperasi adalah sebuah prinsip politik yang menolak bekerjasama dengan musuh (negara penjajah). Prinsip non-koperasi ini mencakup penolakan untuk bekerjasama, penolakan bantuan dana, hingga penolakan berpartisipasi di dalam parlemen/pemerintahan buatan penjajah.

Strategi Machtsvorming?

Machtsvorming adalah kerja politik jangka panjang, yang membutuhkan keuletan dan ketelatenan. Medan kerja politiknya juga sangat luas dan beragam.

Pertama, mendorong rakyat untuk berhimpun dalam berbagai organisasi atau serikat-serikat perjuangan, baik yang bersifat sosial ekonomi maupun politik. Sebab, tanpa berhimpun dan berserikat, rakyat tak bisa menjadi kekuatan apa pun.

“Orang seorang-seorang tidaklah bisa mengembangkan kekuasaan yang besar. Maka manusia seorang-seorang itu lantas berkumpul, menggabungkan diri satu sama lain, – suatu perkumpulan lahirlah ke dunia,” tulis Sukarno di Indonesia Menggugat.

Kedua, terlibat dan memimpin perjuangan rakyat sehari-hari (perjuangan sosial-ekonomi), seperti seperti perjuangan menuntut kenaikan upah, menurunkan pajak, menghapus kerja rodi, dan lain-lain.

Mengintervensi perjuangan rakyat sehari-hari bukan saja memberi kesempatan bagi kaum revolusioner untuk berpropaganda, tetapi juga berpotensi merangkul massa yang resah dan marah itu ke dalam organisasinya.

Selain itu, Sukarno juga membaca medan perjuangan sehari-hari sebagai suatu schooling, suatu training, suatu gemblengan tenaga untuk melatih rakyat menuju perjuangan yang lebih besar.

Ketiga, menggalang kegiatan atau menciptakan ruang yang mengumpulkan massa dalam jumlah besar, seperti rapat-rapat umum (vergadering), mimbar bebas, pawai, dan lain-lain. 

Keempat, memanfaatkan atau menciptakan berbagai ruang untuk berkampanye seluas-luasnya. Ada alat kampanye yang manual, seperti famplet, majalah, koran, risalah-risalah (buku-buku), dan lain-lain. Ada juga yang modern, seperti media sosial, podcast, diskusi daring, petisi online, dan lain-lain.

Kelima, memajukan kesadaran politik massa lewat pendidikan, diskusi-diskusi politik, dan kursus-kursus politik yang terorganisir.

Keenam, machtsvorming harus bermuara pada perjuangan politik yang konkret untuk mengubah perimbangan kekuatan, sehingga bisa memenangkan kepentingan dan kekausaan rakyat. 

Dalam konteks sekarang, perjuangan itu harus bermuara pada partisipasi dalam berbagai pemilihan, baik pemilihan eksekutif maupun legislatif, nasional maupun lokal, untuk memenangkan agenda politik kerakyatan.

Karena itu, pada bentuk praksisnya, machtsvorming tidak mungkin tanpa sebuah alat politik yang menghimpun rakyat sebanyak-banyaknya.

RUDI HARTONO

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid