Menalar perspektif geopolitk dari rencana pemerintah Indonesia mengalihkan jalur pelayaran internasional dari Selat Malaka ke jalur alternatif melalui alur lintas kepulauan Indonesia (ALKI), yakni Selat Lombok, karena alasan makin padatnya traffic di selat malaka dan resiko kemungkinan tabrakan dan kemacetan di selat tersibuk di dunia itu. Kebijakan ini diharapkan oleh pemerintah mampu merangsang pembangunan ekonomi di kawsan timur Indonesia.
Selat Lombok memang tidaklah se-mainstream Selat Malaka yang dilalui lebih dari 90.000 kapal tiap tahunnya. Tetapi selat ini tidak kalah pentingnya bagi pelayaran internasional karena posisinya ikut serta menghubungkan pelayaran Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Dengan kebijakan ini, peran Indonesia akan semakin aktif sebagai penghubung samudra hindia dan samudra pasifik.
Kebijakan pergeseran jalur pelayaran internasional ini seolah sangatlah teknis, padahal sebetulnya sangatlah strategis dan mengandung unsur geopolitik. Sebab, ini merupakan bagian dari pelaksanaan skema poros maritim Indonesia yang selama ini masih belum terlihat jelas konsepsinya.
Respon Internasional
Bukanlah perkara mudah untuk suatu negara mengambil keputusan yang berkaitan erat dengan kepentingan negara-negara lain, apalagi kebijakan tersebut berpotensi merugikan suatu negara tertentu. Niscaya akan ada resistensi dunia internasional dari kebijkan tersebut.
Misalnya: Singapura, negara yang selama ini meraih banyak keuntungan dari jalur pelayaran di Selat Malaka. Dengan memanfaatkan posisi strategisnya di Selat Malaka, Singapura mampu menopang ekonomi negaranya dengan jasa maritim pelabuhan transit (transfer logistik) senilai puluhan triliun rupiah setiap tahunnya. Maka bukan tidak mungkin negara berjuluk negeri singa itu akan resisten dengan kebijakan ini.
Terobosan untuk menyiasati lamanya waktu pelayaran internasional juga datang dari negara tetanggga, Thailand, dengan isu tentang pembangunan terusan Kra. Jika terlaksana, maka jalur perdagangan dunia dari Samudera Hindia menuju laut Tiongkok selatan dan samudra pasifik tidak akan melewati Selat Malaka.
Terusan Kra di gagas dengan alasan akan mempersingkat waktu pelayaran hingga lima hari karena mengurangi jarak berlayaran sekitar 1.200 km. Saat ini pembangunan terusan Kra kembali di gagas oleh pemerintah Thailand dan akan mendapat bantuan dari Rusia dan Tiongkok untuk mendanai terusan tersebut. Nah, jika terusan ini di bangun, maka akan berimplikasi juga bagi Indonesia, karena jalur perdagangan dari eropa Samudra Hindia ke Laut Tiongkok Selatan dan samudera Pasifik tidak lagi melewati selat malaka atau jalur baru yang digagas oleh presiden Jokowidodo, yakni ALKI 2.
Poros baru
Menurut saya, visi Indonesia sebagai poros maritim dunia adalah sebuah skema baru Indonesia dalam konteks geopolitik perspektif maritim. Skema ini harus mengedepankan kepentingan nasional Indonesia di panggung internasional. Poros ini menentukan bagaimana respon Indonesia tentang Laut Tiongkok Selatan, Samudera Pasifik, Samudera Hindia, yang secara geografis ketiga lautan tersebut berbatasan dengan negara Indonesia.
Perkembangan poros maritim dunia ketemporer ini terbagi tiga. Pertama, Tiongkok dengan Jalur sutra maritim (JSM) yang mencoba membangkitkan kembali histori perdagangannya dengan menggalang kembali kerjasama dengan negara-negara yang dilintasi oleh JSM termaksud negara Indonesia. Poros ke dua adalah Amerika Serika (AS) dengan poros trans-pasifik partnership (TPP) yang berhubungan dengan kepentingan ekonomi AS di pasifik dengan mambangun poros aliansi berbasis Samudera. TPP merupakan aliansi perdagangan yang dipimpin oleh AS dengan instrumentnya adalah konektivitas perdagangan lintas negara dalam bentuk pasar bebas.
Kedua poros ini jelas mempunyai misi untuk meluaskan pengaruh ekonomi politik negara penggalang, yaitu AS dan Tiongkok, untuk mengikuti skemanya. Makanya, jika suatu negara mengintegrasikan dirinya kedalam poros ini, maka kebijakan negara tersebut harus seirama dengan kebijakan JSM dan TPP.
Poros ke tiga adalah Indonesia dengan poros maritim dunia. Poros ini masih sekedar wacana, namun ini bisa terlaksana ketika pemerintah Indonesia telah mengkonsepsikan dan mengaktualisasikan skema ini dan mempunyai kekuatan untuk menggalang negara-negara didunia masuk kedalam poros tersebut. Tentu kita tidak naïf bahwa visi ini akan terlaksanan secepat mungkin, namun harus segera dimulai dibahas skemanya. Basis terlaksananya poros baru ini sangat mungkin, dengan melihat letak geografis indonesia yang strategis sebagai penghubung antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik dan penghubung Benua Asia dan Australia. Belum lagi, Indonesia salah satu negara kaya di dunia dengan sumber daya alamnya.
Politik maritim bebas aktif
Baik poros JSM dan poros TPP memang telah mengajak Indonesia untuk menjadi bagian dalam pelaksanaan poros tersebut: di samudra hindia digalang oleh tiongkok untuk mengsinergikan poros maritim dunia dengan JSM, sedangkan di Samudera Pasifik digalang oleh AS untuk bergabung di TPP dan Indonesia pada tahun 2015 telah menyatakan akan bergabung dalam TPP.
Dengan realitas perkembangan dua poros tersebut yang begitu massif menggalang negara-negara untuk ikut bergabung, apakah Indonesia akan mengikuti salah satu atau dua-duanya; ataukah memilih jalan progresif dengan perspektif kemandirian dengan melakukan kontra skema dari kedua poros tersebut dan mengusung poros yang independen, yakni Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Maka menjadi penting bagi Indonesia untuk konsisten melaksanakan politik luar negeri berbasis maritim yang bebas aktif dalam implementasi poros maritim nya. Ini agar Indonesia bisa membuat skema baru yang lebih berdaulat tanpa digalang oleh kedua poros tersebut.
Makbul Muhammad, Direktur Maritime Research Institute (MARIN) Nusantara dan alumnus Teknik Perkapalan Universitas Hasanuddin
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid