Cerpen: Sarinah dan Perjuangannya

Mas…, kalau sudah selesai pendudukan pabrik, Sari boleh kerja lagi kan?” ucapnya lirih. Aku hanya menanggapinya dengan senyum.

“Abis kakak di rumah sudah nyuruh Sari kerja lagi dan dia sudah masukin surat lamaran Sari ke pabrik Sinar Mas”, lanjutnya. Kembali aku hanya tersenyum.

“Tapi… Sari tidak enak sama kawan-kawan di pabrik kalau Sari kerja lagi…” ujarnya lanjut.

Sekilas terbayang perkenalanku dulu dengan Sarinah. Seorang koordinator bagian dari pabrik yang aku organisir. Pendiam dan tampak lebih dewasa dibanding umur sebenarnya. Sorot matanya polos dan memancarkan rasa ingin tahu yang tinggi. Mencari pengalaman hidup, gumamku waktu itu. Dia berbeda dengan perempuan yang pernah kukenal dan sempat dekat denganku sebelumnya, rata-rata mahasiswi, yang tidurnya selalu terganggu dengan mimpi busana apa yang akan dia kenakan untuk kuliah esok, keluar masuk mall supaya tidak ketinggalan mode, tidak lupa ikut antri di depan mesin ATM dan satu lagi, ini yang paling kusuka dan tidak hilang dalam ingatanku, yakni mentraktirku kalau kencan.

“Kok melamun…? Lagi mikirain apa hayo? Pasti yang jorok-jorok?” suara Sarinah mengejutkanku.

“Ya sudah… Sari ke pabrik lagi ya, kasihan kawan-kawan” lanjutnya.

Sambil beranjak pergi ke arah pintu depan kantor kami. Tanpa sadar aku turut berdiri dan melangkah menuju pintu, mendampinginya.

“Mas jangan terlalu capek,  di minum obat batuknya loh! Udah capek-capek Sari bawain kesini, awas kalau ngga di minum!” katanya setengah mengancam.

Kembali aku tersenyum. Hening sejenak. Lalu ku buka pintu gerbang kantor yang langsung berhadapan dengan jalan umum. Ku rangkul pundaknya sambil menunggu angkutan lewat. Sebuah angkutan umum 03 jurusan Cakung – Tanjung Priok berhenti tepat di depan kami.

“Mas hati-hati ya… di minum obatnya…” serunya sambil naik angkutan.

Aku kembali tersenyum.

“He.. eh, Kamu yang hati-hati”, ujarku lirih, hampir tak terdengar.

Perlahan angkutan umum itu berjalan membawanya pergi. Masih terlihat matanya yang berbinar penuh harap menatapku dibalik kaca angkutan umum.

Aku kembali masuk kantor dan langsung duduk di depan komputer butut. Memang butut! Sebuah komputer yang masih memakai windows tahun 80’an. Hasil karya kawanku dari rangkaian rongsokan komputer di kantor pusat. Kucoba kembali melanjutkan pekerjaanku, mengetik laporan. Satu, dua, halaman notulensi tangan hasil rapat kemarin berhasil aku pindahkan ke komputer. Maklum berbagai macam ragam bentuk tulisan tangan, karenanya harus sedikit kerja keras.

Tiba-tiba sekilas wajah sederhana muncul. Tanpa kusadar, aku tersenyum sendiri.

Sarinah… Nama yang sangat mudah untuk di ingat, nama yang sama dengan nama judul buku tentang perempuan Indonesia yang ditulis oleh pendiri bangsa ini, Soekarno. Tapi, Sarinah yang ini hanya seorang anak bungsu dari tiga bersaudara, yang pernah bercita-cita ingin menjadi seorang desainer, karenanya dia sengaja mengambil sekolah jurusan, tidak seperti teman-temannya yang rata-rata memilih bersekolah di sekolah umum. Cita-cita Sarinah harus kandas setelah ayah dan kakaknya di PHK sepihak di sebuah pabrik di Tanggerang. Sarinah pun terpaksa bekerja karena harus membantu biaya ibunya yang terkena insfeksi di dalam rahimnya saat menjalankan program Keluarga Berencana (KB). Sebuah program penekanan populasi penduduk yang diwajibkan kepada setiap ibu rumah tangga di era rejim Soeharto. Bahkan di desa-desa dilakukan dengan kekerasan. Sudah puluhan juta uang yang di keluarkan keluarganya untuk pengobatan ibunya, sampai harus menjual rumah keluarga di daerah Warakas. Dan sekarang mereka harus mengontrak rumah di gang sempit, perkampungan buruh. Baru kemarin aku menyatakan perasaanku padanya, tapi rasa hormatku padanya begitu tinggi.

Tuuttt… Tuuutt…. Hp ku berbunyi.

“Mas… aku Rembun”, suara dari ujung telepon.

“Ya… ada apa, Bun?” Jawabku.

“Kata Mas Agus, kawan-kawan boleh pindah ke kantor? Kawan-kawan udah pada ngga mampu bayar kontrakan, boleh kan mas? Tapi… kontrakan kantor jadi di perpanjang kan? Ntar udah pada pindah situ, tau-tau di usir sama yang punya rumah… kan ngga lucu Mas”, cerocosnya.

Aku terdiam. Pikiranku melayang kepada kehidupan kawan-kawan buruh yang semakin hari semakin sulit. pembayaran kontrakan tak bisa ditunda-tunda. Sedangkan gaji mereka sudah tiga bulan tak dibayar pihak perusahaan. Sudah banyak dari kawan-kawan ini hidup dengan berhutang. Berharap pada negara? Sepertinya hanya mimpi di siang hari bolong.

“Hallo…”, suara Rembun mengacaukan pikiranku.

“Ada lagi Bun?” Tanyaku.

“Ya… Gimana?” Dia balik bertanya.

“Kemarin di rapat kota sudah dibicarakan, kawan-kawan boleh pindah ke sini sementara, sampai kawan-kawan dapat kerja lagi. Soal kontrakan kantor, rapat juga memutuskan untuk tetap di perpanjang. Soal dananya masih aku coba konsolidasikan…”jawabku panjang lebar.

“Ya udah kalau gitu… sampai ketemu di kantor ya Mas…” tuut, telepon terputus.

Tiit tiit… sebuah sms masuk, sebuah pesan dari kurirku di pabrik.

“Akan terjadi kesepakatan antara buruh dengan pihak KBN dan Bea Cukai, tentang pendataan aset. Kawan-kawan berencana besok akan mengakhiri pendudukan pabrik jika kesepakatan tercapai”.

Dengan refleks aku replay sms tersebut…

“Minta perjanjian tertulis, kasih tahu kawan-kawan bahwa pihak KBN dan Bea Cukai mau ambil jatah dari penjualan aset pabrik, kalau tidak ada hitam di atas putih akan sulit bagi kawan-kawan untuk mendapatkan haknya secara penuh”. Tulisku dalam sms.

Tidak lama kemudian muncul jawaban singkat.

“Ok Ndan!” tulis kurirku, Akbar di pabrik.

Pendudukan pabrik yang di lakukan kawan-kawan buruh ini sudah mencapai satu bulan lebih, pendudukan ini dikarenakan pengusaha kabur dengan alasan bangkrut. Sudah banyak pabrik yang mengalami hal yang sama, di tinggal kabur pengusaha tanpa pesangon. Terutama para pengusaha dari luar negeri. Mereka dapat seenaknya meninggalkan negeri ini bila usahanya bangkrut dan meninggalkan buruhnya begitu saja, tanpa ada tanggung jawab. Dan negara tak berbuat apapun untuk menindak pengusaha-pengusaha seperti itu.

Berbagai macam upaya dilakukan agar kawan-kawan buruh mendapatkan haknya, mulai dari aksi ke Depnakertrans, DPR sampai membuat surat pengaduan kepada Presiden, tapi tak ada satupun yang digubris. Sepertinya mereka tak mau ambil pusing dengan kehidupan kaum buruh, yang terpenting buat mereka, ada investasi. Sekali lagi, Investasi! Yang artinya duit, duit dan duit.

Pendudukan pabrik adalah pilihan terakhir agar kawan-kawan buruh mendapatkan haknya, karena hanya asset pabriklah yang tersisa dan memungkinkan buat membayar gaji kawan-kawan selama ini. Tapi bukan tanpa persoalan karena pihak pengelola kawasan industri seringkali meminta bagian yang lumayan besar. Padahal mereka tak pernah berbuat apa-apa untuk buruh, mereka hanya memastikan agar pengusaha merasa nyaman membuka investasi di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) ini, begitu juga dengan Bea Cukai sebelas dua belas istilahnya. Belum lagi harus berhadapan dengan preman-preman penguasa KBN yang juga sering memintah jatah apabila terjadi perebutan asset seperti sekarang ini.

Tidak terasa sudah jam sebelas malam, artinya aku harus segera pergi. Sedangkan Akbar dan Agus dua orang kawan organiser serikat buruhku, yang biasa menginap di kantor belum juga datang, mungkin masih di pabrik pikirku. Aku kemasi semua barangku dengan teliti. Ku hapus file di komputer rongsokan dan kupindahkan ke disket kesayanganku. Setelah semuanya beres, aku kunci pintu kantor dan kutitipkan kunci ke tetangga sebelah yang biasa kami titipi. Dan seperti biasa dia hanya tersenyum saat melihat kedatanganku.

“Terima kasih mas…” kataku sambil menyerahkan kunci kantor.

Sebuah angkutan gelap berhenti persis di depanku,  menurunkan penumpang, tanpa ragu akupun langsung naik. Asap bensin campur dari dari knalpot butut, menyengat hidungku dan membuat perih mata.  Membuatku batuk, berdahak. Mungkin tak hanya disini, hampir semua jurusan di Jakarta, fungsi angkutan umum akan digantikan oleh mobil-mobil berplat hitam setelah jam 11 malam dengan ongkos dua kali lipat dibandingkan angkutan umum. Ini tak mungkin terjadi bila tak ada kongkalikong antara pihak kepolisian dengan pengusaha angkutan gelap ini. Apalagi kalau bukan urusan duit.

*****

Kantor yang tak seberapa besar ini begitu penuh sesak oleh puluhan buruh, yang sebagian besar perempuan. Mereka akan menyelenggarakan rapat guna membicarakan tindak lanjut atas pendudukan pabrik mereka. Kawan-kawan buruh tersebut duduk lesehan dan membuat lingkaran di ruang rapat yang hanya sebesar 8 x 10 itu. Bahkan sebagian lagi harus duduk diluar dan rela berjongkok agar tetap bisa mengikuti jalannya rapat. Suara riuh-rendah obrolan seperti suara lebah yang mendengung di dalam ruangan yang panas tanpa AC. Tiga buah kipas angin yang dikerahkan guna mengatasi rasa panas, tak cukup mengusirnya.

“Kawan-kawan, mohon perhatiannya” sebuah suara yang cukup keras keluar dari Megaphone menghentikan suara dengung yang ramai tadi. Ruangan kantorpun menjadi senyap. Semua mata tertuju kepada sumber suara tadi.

Murni, perempuan mungil berjiblab mencoba menarik perhatian kawan-kawannya untuk memulai rapat siang itu. Dia telah ditunjuk oleh kawan-kawannya melalui sebuah pemilihan yang demokratis untuk memimpin perjuangan di pabriknya. Keberanian dan kepiawainannya dalam berpidato telah mampu meyakinkan kawan-kawannya untuk menempuh jalan pendudukan pabrik ini. Tanpa panjang lebar, dan dengan lugas dia langsung menjelaskan perkembangan pemogokan, hasil-hasil perundingan dengan pihak, KBN dan Bea Cukai, serta rencana-rencana kedepan yang memang telah kami persiapkan tadi malam.

“  Tiga hari lagi Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P)akan keluar, kita harus segera mengambil tindakan!” ujar Murni menutup pembicaraannya.

Seketika itu juga suara seperti dengung lebah kembali terdengar, kawan-kawan buruh saling berbisik membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang akan diputuskan P4P nanti. Seorang perempuan, berusia sekitar 40-an dan bertumbuh tambun angkat bicara. Rupanya Bu Aas, seorang buruh paling senior di pabrik. Bu Aas sudah bekerja di pabrik sejak pabrik tersebut dibuka, kira-kira 16 tahun lalu. Dan semua buruh di pabrik tersebut, takut kepadanya, tanpa terkecuali. Bahkan pihak manajemen pabrik sekalipun.

“Mba Murni. Biarkan saya bicara”! Ujar Bu Aas setengah berteriak, sambil berdiri dan mengacungkan tangannya.

“Silahkan Bu Aas…” Jawab Murni, sambil berdiri dan berjalan menghampiri Bu Aas untuk memberikan Meghaphonenya.

“Tak usah, tak usah pakai toa, suara saya sudah cukup keras!” Jawab Bu Aas lagi.

Murnipun berhenti berjalan dan kembali duduk ketempat asalnya.

“Jadi begini temen-temen! Bagaimanapun kita harus menang! Hutang kita sudah besar, tiap hari bertambah! Tapi belum juga ada kepastian akan hal ini! Sudah tiga bulan hidup kita terkatung-katung. Satu anak saya sudah berhenti sekolah karena sudah tak sanggup lagi membayar iuran sekolah! Setengah menjerit Bu Aas berbicara. Napasnya terlihat tersengal-sengal menahan amarah yang luar biasa.

Semua kawan-kawan buruh memperhatikannya, sebagian tampak mengangguk-angguk tanda setuju. Setelah sedikit mengatur napas, lalu dia melanjutkan bicaranya, kali ini lebih tenang tapi membuat bulu kudukku merinding.

“Saya siap mati untuk perjuangan ini…” lanjutnya sedikit mendesis.

“Bagaimana teman-teman? Apakah kalian siap mati semua?” Jeritnya kepada seluruh peserta rapat.

Kontan saja, secara spontan seluruh peserta rapat mengangkat tangan kirinya dan berteriak

“Siaaaaaaaaaaaap!” ruangpun kembali gaduh, tak terkendali.

Aku perhatikan Sarinah, yang duduk berdampingan dengan Murni. Dia tampak membisikan sesuatu kepada Murni, lalu mengambil Megaphone dari tangan Murni. Mungkin karena merasa diperhatikan, Sarinah menoleh kepadaku, sorot matanya tampak bersemangat. Dia tersenyum. Akupun membalas senyumnya.

“Kawan-kawan, mohon tenang… Saya mau menyampaikan sesuatu yang penting menyangkut tindakan kita selanjutnya” terdengar suara lembut namun tegas keluar dari Megaphone. Peserta rapatpun kembali tenang, semua mata tertuju kepada Sarinah.

“Tadi malam, kami, pengurus pabrik sudah mengadakan rapat dengan kawan-kawan dari Serikat, kami membutuhkan masukan dari kawan-kawan semua” lanjut Sarinah.

Sarinah kemudian menjelaskan rencana yang telah kami susun, kekuatan harus di bagi dua, sebagian besar kawan-kawan buruh harus mendatangi kantor Pengadilan untuk mengawal keputusan hakim, sebagian lagi tetap melakukan pendudukan pabrik. Pabrik tidak bisa ditinggalkan begitu saja, baik siang maupun malam karena rawan akan pencurian. Baik yang dilakukan secara terang-terangan oleh pihak pengelola kawasan maupun oleh preman-preman penguasa kawasan. Tidak sekali dua kali mereka mencoba mengambil beberapa barang di dalam pabrik, akan tetapi selama ini mampu digagalkan oleh satuan keamanan yang dibentuk oleh kalangan buruh sendiri.

“Jadi… Saya, Rembun, Bu Aas dan Mas Akbar yang akan memimpin pendudukan di dalam pabrik, sedangkan yang akan memimpin aksi kepengadilan adalah Mba Murni, Mas Agus dan Mas Pandu” terang Sarinah

Kembali Sarinah menoleh ke arahku, saat menyebutkan namaku. Dan lagi-lagi dia tersenyum. Saat rapat tadi malam, aku mengusulkan diri untuk mendampingi Sarinah menjaga pabrik. Akan tetapi di tolaknya. Alasan penolakannya bisa aku terima. Aku memang sudah masuk daftar orang yang di black list oleh pihak KBN karena aktivitasku di dalam kawasan selama ini. Mereka telah beberapa kali memergoki dan menangkapku, baik di saat membagi-bagikan selebaran, melakukan pengorganisiran pemogokan pabrik maupun di saat mengisi diskusi-diskusi di dalam kawasan, pada saat jam-jam istirahat pabrik. Entah sudah berapa kali, bibirku jontor karena dipukul oleh Satuan Pengaman yang dibentuk pengelola KBN. Mereka menyebutku “provokator” sama percis dengan sebutan bagi para pejuang demokrasi oleh rejim Soeharto dulu. Dan aku sudah terbiasa dengan cap tersebut sejak menceburkan diri dalam dunia pergerakan waktu masih dibangku kuliah.

“Untuk menjaga pabrik, kita hanya membutuhkan 100 orang saja, sisanya akan ikut ke pengadilan” lanjut Sarinah Kemudian.

“Kawan-kawan yang namanya nanti disebutkan akan bersama-sama saya menjaga pabrik. Sisanya di wajibkan berangkat ke pengadilan. Sekali lagi saya katakana, wajib! Untuk selanjutnya saya serahkan kepada Mba Murni. Silahkan Mba,” Tutur Sarinah menutup pembicaraannya.

Segera, setelah Sarinah selesai berbicara, aku bergegas keluar dari ruangan rapat untuk menghubungi kawan-kawan dipusat guna membantu rencana aksi ke pengadilan ini. Aspek kampanye sangatlah penting untuk mendukung perjuangan kawan-kawan buruh ini. Tekanan media massa terhadap sebuah kasus, sampai sekarang masih efektif untuk membantu perjuangan di tingkat bawah. Karenanya, aku meminta bantuan kawan-kawan di pusat untuk mengkampanyekan rencana ini, baik ke media-media nasional maupun internasional. Sekaligus mencari dukungan kepada serikat-serikat lain dan organisasi-organiasi yang memiliki kepedulian terhadap kasus-kasus perburuhan

Sesungguhnya, jika ditilik dari segi kasus, menurut undang-undang yang berlaku. Seharusnya kawan-kawan buruh ini bisa menang dengan mudah. Akan tetapi, di negeri ini kebenaran bisa menjadi salah, dan yang salah bisa menjadi menang. Sudah sangat banyak contohnya di negeri ini. Gerakan reformasi 1998 belum lah cukup kuat untuk merubah keadaan yang merugikan bagi kaum yang di lemahkan ini.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid