Sang Demokrat Di Sarang Oligarki

Kalau kamu aktivis lawas, yang sudah malang-melintang sejak 1980-an, tentu tak asing dengan nama besar sang demokrat kita: Fadjroel Rachman.

Pertengahan 1980an, ketika saya belum masuk SD, dia sudah berdiri menantang rezim Orde Baru. Karena sikap politiknya, dia pernah dipenjara berkali-kali, bahkan pernah dibuang ke Nusakambangan.

Hingga fajar reformasi tiba, aktivisme Bung Fadjroel tak surut. Dia hadir di berbagai palagan. Dari jalanan, forum-forum diskusi, talk-show televisi, hingga gugat-menggugat di Mahkamah Konstitusi. Semua itu demi cita-citanya: Indonesia yang lebih demokratis.

Saya tak pernah bersinggungan dengan aktivisme Bung Fadjroel. Namun, sebagai aktivis mahasiswa, saya pernah menemukan jejak-jejak pikirannya. Salah satu masterpiece pemikirannya, Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat, pernah menghiasi rak buku saya.

Setelah itu, agak lama saya tak mengikuti perkembangan aktivisme Bung Fadjroel. Hingga, pada Oktober 2019, saya mendengar kabar, beliau ditunjuk sebagai Staf Khusus Presiden sekaligus Juru Bicara Presiden.

Saya termasuk orang yang mendukung aktivis politik yang masuk ke dalam kekuasaan. Asalkan, agenda masuk dalam kekuasaan itu bagian dari strategi perjuangan.

Dalam konteks Bung Fadjroel, menjadi bagian dari pemerintahan harus diletakkan sebagai bagian dari strategi perjuangannya untuk mewujudkan Indonesia yang demokratis.

Nah, karena meminjam kata WS Rendra, perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata, mari menguji kesesuaian antara pemikiran Bung Fadjroel dan tindakan politiknya setelah menjadi bagian dari Istana.

Tugas Kaum Demokrat

Dari buku Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat, sepanjang ingatan saya, Bung Fadjroel menyuguhnya pikirannya tentang perjuangan demokrasi di Indonesia. Menurutnya, ada tiga tahapan menuju negara demokratis: pertama, rezim otoriter atau totaliter; kedua, transisi demokrasi; dan ketiga, memperluas dan memperdalam demokrasi.

Pasca lengsernya Soeharto, Indonesia harusnya sudah memasuki fase transisi demokrasi. Sayang sekali, gerakan reformasi hanya berhasil melengserkan kepemimpinan Soeharto. Sementara empat elemen penopang rezim Orba versi Bung Fadjroel, yaitu TNI, Golkar, konglomerasi, dan birokrasi, masih berdiri kokoh.

Padahal, kata dia, agar transisi demokrasi bisa berjalan, harus ada keterputusan (diskontinuitas) antara fase otoriter dan fase transisi demokrasi. Semua warisan era otoriter, baik individu, institusi politik, maupun nilai-nilainya, tidak boleh diikutsertakan dalam proses transisi demokrasi.

Karena itu, tugas kaum demokrat adalah: pertama, menciptakan garis demarkasi yang jelas dan tegas antara individu maupun institusi politik pendukung Orba versus kaum demokrat. Kaum demokrat tidak boleh satu sarang dengan sisa-sisa Orba.

Untuk itu, dalam perjuangannya, kaum demokrat harus pandai-pandai memetakan siapa kawan dan lawan dari demokrasi.

Kedua, dalam segala lini perjuangannya, kaum demokrat harus memperluas dan memperdalam demokrasi. Berhasil dan tidaknya perjuangan kaum demokrat dilihat dari seberapa meluas dan mendalamnya demokrasi.

Nah, Bung Fadjroel kerap mengutip Juan J. Linz dan Alfred Stepan tentang bagaimana demokrasi dikonsolidasikan dan dimenangkan.

Menurut dua pakar politik itu, agar demokrasi bisa terkonsolidasi, setidaknya ada 5 syarat: satu, masyarakat sipil yang bebas dan terorganisir, yang bisa mengekspresikan nilai dan tuntutannya; dua, masyarakat politik yang otonom, yaitu aktor-aktor politik yang bersaing memperebutkan hak yang sah untuk memerintah; tiga, semua aktor itu tunduk pada supremasi hukum; empat, birokrasi yang bersih sehingga bisa digunakan oleh pemerintahan demokratis; dan lima, lembaga ekonomi baru yang sesuai dengan demokrasi (bukan komando maupun ekonomi pasar.

Di Sarang Oligarki

Sebetulnya, begitu Bung Fadjroel memutuskan untuk bergabung dengan pemerintahan Jokowi, bahkan ketika dirinya menjadi relawan Jokowi, dia sudah melanggar prinsip tugas kaum demokrat yang pertama: harus ada garis pemisah antara kaum demokrat dengan sisa-sisa Orba.

Tak terpungkiri, Jokowi didukung penuh oleh Golkar selama dua periode. Jokowi juga didukung oleh sejumlah purnawirawan yang pernah berkiprah di masa Orba, seperti Wiranto, AM Hendropriyono, Agung Gumelar, Fachrul Razi Batubara, dan lain-lain[1].

Dan yang paling telak, Prabowo Subianto, menantu Soeharto yang dituding terlibat banyak kasus pelanggaran HAM, juga menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi.

Jadi, boleh dikatakan, Bung Fadjroel sekarang ini sedang bekerjasama dengan individu maupun institusi politik warisan Orba. Jadi, apa kabar transisi demokrasi Bung Fadjroel?

Sekarang, kita uji yang kedua, apa yang dilakukan oleh Bung Fadjroel untuk memperluas dan memperdalam demokrasi lewat jabatannya?

Yang terjadi sungguh mengenaskan. Lima arena konsolidasi demokrasi versi Linz dan Stepan justru remuk di era pemerintahan Jokowi.

Yang pertama, masyarakat sipil, yang seharusnya menjadi inti demokratisasi, justru dilemahkan. Ada banyak pembungkaman pendapat. Ada banyak pembubaran diskusi. Ada banyak kasus penyitaan buku.

Saat demonstrasi menolak UU Cipta Kerja, ada 5900-an orang yang ditangkap. Selain itu, banyak kasus serangan digital, terutama peretasan akun media sosial, yang dialami oleh jurnalis, aktivis, akademisi yang melancarkan kritik pada pemerintah.

Di masa Jokowi, UU ITE menjadi senjata efektif untuk membungkam kritik. Dan sungguh disayangkan, sang demokrat kita, Bung Fadjroel Rachman, justru mendukung UU ITE ini[2].

Lebih pahit lagi, tidak jauh beda rezim Orba yang dilawannya, Bung Fadjroel menyarakan masyarakat sipil melakukan kritik sesuai UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan.

Yang kedua, masyarakat politik kurang otonom. Pemerintahan Jokowi lebih mementingkan konsolidasi kekuasaan ketimbang konsolidasi demokrasi.

Segala cara dipakai, mulai dari merangkul oposisi hingga mengintervensi internal partai-politik, untuk menciptakan kekosongan oposisi politik. Ada indikasi keterlibatan penguasa dalam sejumlah konflik kepemimpinan Parpol, seperti Golkar, PPP, dan Demokrat.

Ketiga, komitmen pemerintah pada supremasi hukum juga melempem. Banyak kasus pelanggaran HAM tak tertangani hingga sekarang. Banyak aksi kekerasan yang melibatkan aparatus negara tak tertangani dengan terang dan berkeadilan.

Ada banyak kasus tebang pilih penegakan hukum. Pada pelanggaran yang dilakukan sipil, apalagi rakyat jelata, proses hukumnya cepat. Hukumannya juga seberat-beratnya. Tapi pelanggaran yang dilakukan aparat negara, seperti kasus Novel Baswedan, tewasnya sejumlah mahasiswa dalam demonstrasi, tewasnya sejumlah tersangka di tahanan, dan lain-lain, diproses sangat lambat dan tidak terbuka.

Yang keempat, birokrasi yang bersih masih jauh dari harapan. Kasus korupsi merajalela, bahkan di tengah masa sulit pandemi. Yang sangat menyedihkan, bansos yang mestinya untuk meringankan beban rakyat, justru jadi objek jarahan pejabat Menteri dan koleganya.

Banyak kasus besar di era Jokowi, seperti Jiwasraya, Asabri, Bansos, suap ekspor benih lobster, dan BPJS ketenagakerjaan. Belum satu pun dari kasus itu yang terang-benderang.

Yang terakhir, pengorganisasian ekonomi yang selaras dengan semangat demokrasi. Bukan ekonomi komando maupun ekonomi pasar. Faktanya, ekonomi Indonesia sangat bercorak ekonomi pasar. Bahkan dalam kadar yang ekstrem: pasar bebas.

Ada satu fakta yang benar-benar menunjukkan bahwa keberadaan Bung Fadjroel, sang demokrat kita, di dalam pemerintahan Jokowi tidak memperluas dan memperdalam demokrasi.

Fakta itu adalah menurunnya indeks demokrasi Indonesia pada 2020. Menurut laporan  The Economist Intelligent Unit (EIU), indeks demokrasi Indonesia tahun lalu hanya di skor 6,3, terendah dalam 14 tahun terakhir. Skor itu menempatkan Indonesia dalam kategori  flawed democracy (demokrasi yang cacat/berkekurangan).

Seturut dengan itu, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia di tahun yang sama juga melorot 3 poin dari 40 (2019) menjadi 37 (2020).

Tentu saja, kombinasi kualitas demokrasi yang merosot dan korupsi politik yang merajalela telah mengubur impian Bung Fadjroel untuk menuntaskan konsolidasi demokrasi di Indonesia.

Yang terjadi bukan konsolidasi demokrasi, tetapi konsolidasi oligarki. Segelintir orang, dengan memanfaatkan kekayaan dan jejaring politiknya, menguasai politik Indonesia. Mereka menguasai partai-partai, mengendalikan Pemilu, bahkan menentukan kebijakan politik.

Jadi, sudah sampai mana perluasan dan pendalaman demokrasi kita, Bung Fadjroel?

NUR ROHMAN, penulis dan warga negara biasa, tinggal di Yogyakarta


[1] https://tirto.id/rezim-militer-jokowi-dan-cengkeraman-serdadu-atas-presiden-sipil-elza

[2] https://news.detik.com/berita/d-5373144/istana-jawab-jk-soal-bagaimana-cara-kritik-tanpa-dipolisikan?single=1

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid