RUU TNI POLRI: Tanda Kelahiran Neo-Orba

Diam akan mati

Berjuang pun akan mati

Tidak ada pilihan untuk hidup, Lebih baik berjuang sampai mati

Baru-baru ini wakil rakyat dan rezim mulai mempertontonkan watak otoriter dan kesewenang- wenangan dalam merumuskan RUU TNI dan POLRI, yang dikatakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sebagai RUU inisiatif. Dimaksud dengan RUU inisiatif adalah hak anggota parlemen atau DPR RI untuk mengajukan rancangan undang-undangnya sendiri, selanjutnya dibahas bersama pemerintah. Artinya DPR RI berkehendak atas perubahan UU tersebut. bahkan menjadi motor penggerak untuk menggalang kekuatan dan mengonsolidasikan pihak-pihak berwenang agar RUU segera dibahas dan disahkan.

Perubahan regulasi dan rancangan undang-undang berulang kali mengundang perhatian publik baik itu kritikan maupun dukungan. Hal ini terjadi disebabkan kurang dilibatkannya partisipasi publik dalam rumusan rancangan undang-undang sehingga muatan-muatan materiil Rancangan Undang- Undang (RUU) sering bermasalah. Secara yuridis keterbukaan dan keterlibatan publik merupakan amanat Undang-Undang (UU) yang ditetapkan sebagai Asas dalam pembentukan peraturan perundang- undangan. Apabila masyarakat luas tidak diikut-sertakan maka berdasarkan hukum formil telah gugur keabsahannya.

Saat ini banyak pihak telah mengemukakan kritikan di antaranya, kelompok mahasiswa, organisasi pemuda dan aliansi pemerhati reformasi Polri yang menganggap bahwa RUU TNI dan POLRI tidak melibatkan masyarakat serta berpotensi mengancam demokrasi dan pemberangusan ruang demokrasi akan semakin massif terjadi. Pada konteks ini penulis sependapat bahwa demokrasi merupakan ruh dalam suatu negara, jika ruh telah tiada atau sengaja ditiadakan maka penguasa lepas kontrol dan negara kehilangan tujuan. Dengan demikian keadilan dan kesejahteraan yang dinanti serta dicita-citakan masyarakat tidak akan pernah terwujud. Kepentingan aparat pemerintah (TNI dan Polri) untuk memperluas kewenangan dan kekuasaan dalam tubuh pemerintahan sebagai tanda lahirnya neo-orba bisa kita lihat dalam  pasal-pasal kontroversi dalam RUU TNI dan POLRI sebagai berikut:

a.       Keterlibatan TNI Aktif Dalam Jabatan Pemerintahan;

melalui perubahan, pada pasal 47 ayat (2) RUU TNI menjelaskan bahwa prajurit aktif diberi ruang untuk dapat menduduki jabatan dalam pemerintahan berdasarkan kebijakan dari presiden. Berikut bunyi pasal tersebut:

“Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung, serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden.

 Selain jabatan yang disebutkan di atas, pada penjelasan ayat berikutnya TNI juga dapat mengisi jabatan dalam Lembaga non kementerian atas kebijakan presiden dan permintaan pimpinan kementerian/Lembaga (K/L) dan non kementerian terkait. Selain itu tidak menutup kemungkinan prajurit aktif dapat menduduki jabatan lainnya di luar kebijakan presiden sebab tidak ada diksi “tidak diperbolehkan menduduki jabatan di luar kebijakan presiden” yang diatur secara tegas dalam pasal tersebut.

Tentu bunyi pasal di atas memiliki perbedaan dengan pasal yang sama pada UU TNI yang saat ini masih berlaku. Pada UU TNI saat ini tidak menyebutkan bahwa prajurit aktif dapat menduduki jabatan atas kebijakan presiden akan tetapi hanya atas permintaan pimpinan kementerian, Lembaga dan non kementerian terkait. Dari nomenklatur di atas, kita dapat mengambil hipotesis bahwa spirit RUU TNI mengembalikan Dwifungsi ABRI seperti masa pemerintahan Orde Baru yang bertujuan melindungi kepentingan para komprador dan oligarki dengan menggunakan pendekatan tangan besi dan kekuatan militeristik.

 

b.       Perpanjangan Usia Pensiun TNI

Pasal yang diubah selanjutnya ialah, pasal 53 ayat (1 dan 2) yang berbunyi:

“(1)Prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 60 (enam puluh) tahun bagi perwira dan paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun bagi bintara dan tamtama”

(2) “Khusus untuk jabatan fungsional, Prajurit dapat melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”

 Dari sudut pandang politik perpanjangan usia pensiun TNI sebenarnya memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan pasal 47 ayat (2) yang telah direvisi dikarenakan perpanjangan usia pensiun tidak memiliki urgensi apapun melainkan semata-mata hanya untuk memperpanjang masa jabatan di internal TNI dan rentan dengan kolusi, korupsi dan nepotisme dalam tubuh TNI maupun dengan Lembaga pemerintahan terkait yang diemban.

 

c.        Pengawasan Ruang Siber Oleh Polri

Pemberian kewenangan yang semakin luas terhadap Polri melalui perubahan UU Polri merupakan langkah yang tidak tepat. Justru rentan terjadi Abuse Power atau penyalahgunaan kekuasaan. Salah satu kewenangannya ialah pengawasan dan pengamanan di ruang siber yang tertuang dalam pasal 14 ayat (1) huruf b RUU Polri yang berbunyi:

“melakukan kegiatan dalam rangka pembinaan, pengawasan, dan pengamanan Ruang Siber.

 Pasal ini sangatlah samar dan tidak ada penjelasan lebih lanjut pada poin-poin berikutnya jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Ruang siber (cyberspace) atau siber adalah ruang tempat komunitas saling terhubung menggunakan jaringan (misalnya internet) untuk melakukan berbagai kegiatan sehari-hari. Artinya kepolisian dapat dengan bebas memantau aktivitas masyarakat baik itu akun media sosial, data pribadi ataupun aktivitas transaksi elektronik lainnya. Tentu hal ini akan menggangu privasi bagi setiap orang, dan terlebih lagi akan berdampak pada kebebasan berekspresi di media sosial. Harusnya dijelaskan terlebih dahulu terkait syarat-syarat dan unsur-unsur tindak pidana apa saja yang diberi wewenang terhadap Polri untuk melakukan pengawasan dan pengamanan di ruang siber sehingga tidak menimbulkan kerugian terhadap masyarakat luas. Di lain sisi pada ketentuan pasal ini tidak menyebutkan ada atau tidak adanya Tim Pengawas kepolisian terkait pelaksanaan pengawasan dan pengamanan di ruang siber oleh pihak kepolisian sehingga tidak ada jaminan keamanan dan perlindungan data pribadi bahkan penyalahgunaan wewenang dapat dimungkinkan terjadi.

 

d.       Penyadapan Dan Pemblokiran Di Ruang Siber

Pasal kontroversi berikutnya dalam RUU Polri ialah pemberian wewenang untuk melakukan penyadapan yang diatur dalam pasal 16 ayat (1) huruf q, berbunyi:

“melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses Ruang Siber untuk tujuan Keamanan Dalam Negeri berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi”

 Secara subtansi pasal ini tidak jauh berbeda dengan pasal 14 ayat (1) huruf b. ketika Polri diberikan wewenang untuk melakukan pemblokiran dan penyadapan di ruang siber namun, ada penambahan diksi “untuk keamanan dalam negeri” terkait tujuan penyadapan itu dilakukan. Akan tetapi pada poin ini juga masih terlihat samar seperti pasal-pasal kontroversi lainnya karena tidak adanya penjelasan dan pembatasan klausul terkait perbuatan apa yang dapat dikategorikan sebagai tindakan yang mengancam keamanan dalam negeri. Pada konteks ini dapat disimpulkan bahwa tindakan yang mengancam keamanan dalam negeri berdasarkan interpretasi Polri, sehingga tidak menutup kemungkinan demontrasi dan konten-konten kritikan terhadap pemerintah di media sosial juga dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang mengancam keamanan dalam negeri. Tentunya hal ini sangat berdampak pada ruang gerak dan kebebasan masyarakat sipil.

 

e.       Perpanjangan Usia Pensiun Polisi Hingga 65 tahun

Perubahan usia pensiun melalui RUU nyatanya tidak hanya terjadi dalam Tubuh TNI namun juga terjadi pada institusi Polri. Perubahan ini diatur dalam pasal 30 ayat (2) huruf a,b dan c. batas usia untuk bintara dan tantama maksimal 58 tahun sedangkan batas usia pensiun perwira 60 tahun dan pejabat fungsional Polri maksimal 65 tahun. Jika diperbandingkan dengan ketentuan saat ini,  batas usia Polri maksimal 58 tahun dan dapat diperpanjang dua tahun apabila anggota kepolisian memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan oleh Polri. Berdasarkan kondisi objektif, ketentuan ini masih sangat relevan dan efisien. Justru sebaliknya perubahan ketentuan di atas tidak memiliki urgensi dan tidak ada kejelasan tujuan sebab tidak didukung oleh kebutuhan materil dan kondisi objektif.

Penguraian beberapa pasal kontroversi dalam RUU TNI dan Polri di atas menandakan suatu kemunduran hukum dalam mereformasi TNI dan Polri. Semangat reformasi harusnya dimaknai sebagai agenda penting yang perlu diperhatikan oleh pemerintah. Perubahan UU di atas secara yuridis mencederai nilai dan prinsip hukum dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Mengacu pada UU no. 12 tahun 2011 pasal 5 yang menjelaskan pembentukan peraturan perundang- undangan harus berdasarkan asas kejelasan tujuan, asas kejelasan rumusan dan asas keterbukaan. Dari ketiga asas tersebut,  sebagai corong untuk menciptakan hukum yang relevan dan menjawab tantangan zaman di tengah perubahan struktur sosial yang signifikan.

Adapun secara materiilnya, pada perubahan UU tersebut di atas menghendaki TNI mengambil bagian dalam jabatan pemerintahan. Komposisi kekuasan semacam ini akan menghantarkan masyarakat kembali pada sistem pemerintahan Orde Baru yang bengis. Haruslah disadari  bahwa pemerintahan saat ini mengalami transisi dari pemerintahan era reformasi kembali ke era Orde Baru. Hal tersebut ditandai dengan sejumlah perubahan peraturan perundang-undang yakni Omnibus Law, KUHP dan aturan lainnya yang tidak pro-rakyat salah satunya RUU TNI Polri dan pelemahan lembaga yang lahir dari hasil reformasi. Paradigma kekuasaan yang selalu menggunakan politik sebagai kendaraan untuk mempertahankan hegemoni ekonomi akan selalu menjerumuskan rakyat pada ketidakpastian kesejahteraan dan keadilan; ditambah lagi dengan berbagai pasal karet dalam RUU TNI dan Polri yang mempersempit ruang demokrasi menjadi ancaman yang pasti bagi kebebasan masyarakat sipil.

Mestinya TNI dan Polri terlebih dahulu untuk dievaluasi kinerjanya sebab beberapa tahun terakhir ini banyak persoalan penegakan hukum yang tidak kunjung diselesaikan. Malahan kejahatan yang terjadi selalu melibatkan TNI dan Polri mulai dari kekerasan, penganiayaan, pembunuhan, kriminalisasi terhadap mahasiswa, penculikan dan pembunuhan aktivis, dan lain-lain. Miris rasanya jika kewenangan TNI dan Polri ditambah dan terus diperluas maka akan jauh lebih buruk kondisi demokrasi dan penegakan hukum  di Indonesia.

Tuntutan:
  1. Menolak secara tegas RUU TNI dan Polri
  2. Mendesak DPR RI segera menghentikan perumusan dan pembahasan RUU TNI dan Polri
  3. Mendesak pemerintah untuk mengevaluasi kinerja TNI dan polri

Penulis : Betran Sulani

Foto : Bing Image Creator

Leave a Response