Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) menguraikan tiga penyebab kenapa potensi kemenangan calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah (Pemilukada) sangat rendah.
Ketiga faktor itu meliputi: (1) ketiadaan mesin politik yang terorganisasi, sehingga kesulitan untuk berkompetisi dengan calon dari parpol, (2) pasangan calon independen kesulitan memobilisasi sumber daya, khususnya finansial, dan (3) dukungan yang terkumpul saat pemenuhan syarat kandidat independen, semisal 3% untuk kabupaten/kota berpenduduk 1 juta jiwa, tidak berkorelasi dengan dukungan real pada saat pemungutan suara.
Menurut Koordinator Kajian KIPP, Girindra Sandino, dari keseluruhan pelaksanaan pemilukada di seluruh provinsi dan kabupaten/kota, persentase kemenangan calon independen masih di bawah 2%.
Hal itu terjadi di Kabupaten Rote Ndao (NTT), Kab. Batubara (Sumatera Utara), dan Kab. Garut (Jawa Barat). Sedangkan kemenangan calon independen di pemilukada provinsi terjadi di Nangroe Aceh Darussalam (NAD).
Untuk kasus DKI Jakarta, seorang calon independen diharuskan mendapatkan 3% atau 350 ribu orang dari jumlah penduduk sebesar 8.524.190 jiwa. Calon independen, kata Girinda, akan kesulitan mendapatkan dukungan sukarela sebanyak itu, belum lagi berhadapan dengan partai dengan basis massa kuat seperti Partai Demokrat, PKS, PDIP, dan Golkar.
Potensi Kecurangan
Girindra Sandino juga membeberkan sejumlah potensi kecurangan yang menghantui pelaksanaan Pemilukada DKI Jakarta.
Akan terjadi penyenggaraan buruk, katanya, jikalau ada kekacauan pada Daftar Pemilih Sementara maupun Daftar Pemilih Tetap, seperti nama atau pemilih ganda, tidak terdaftar sebagai pemilih pada yang bersangkutan adalah basis dari parpol tertentu, orang meninggal masih terdaftar, dan NIK yang salah.
Potensi kecurangan lainnya adalah politik uang terbuka ataupun tertutup, kampanye hitam antara parpol, dan penggelembungan atau pengurangan suara.
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid