Selama ini, indikator yang sering dipakai untuk mengukur kemajuan ekonomi suatu negara adalah Produk Domestik Bruto (PDB). Mereka bilang, semakin besar angka PDB berarti semakin makmur pula ekonomi dan rakyat negeri tersebut.
Itulah sebabnya, Indonesia dianggap makmur. Sebab, dalam beberapa tahun terakhir, angka PDB Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2004, PDB Indonesia masih US$ 645 miliar. Tetapi sekarang ini angkanya sudah mencapai US$ 1,1 triliun. PDB perkapita juga meningkat: dari US$ 1,1 triliun (2004) menjadi US$ 3.592 (2012).
Pertanyaanya kemudian, kalau PDB telah meningkat begitu spektakuler, mengapa rakyat kita masih bergelut dengan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan ekonomi?
GDP mengukur akumulasi nilai pasar seluruh barang dan jasa yang diproduksi di suatu negara dalam periode tertentu. Termasuk barang dan jasa yang dihasilkan oleh orang atau perusahaan asing yang melakukan aktivitas ekonomi di negara tersebut.
Konsep PDB ini sebetulnya sudah lama. Menurut Lorenzo Fioramonti, penulis buku bertajuk Gross Domestic Problem: The Politics Behind the World’s Most Powerful Number, konsep PDB pertama kali diterapkan oleh pemerintah AS untuk mengatasi dampak depresi besar.
Tak lama kemudian, ketika Perang Dunia kedua berkecamuk, AS kembali memungut konsep itu. Saat itu, pemerintah AS menggunakan hitungan pendapatan nasional, yang menjadi basis penghitungan PDB, untuk memetakan wilayah ekonomi yang belum termanfaatkan dan yang sudah dimanfaatkan secara penuh. Dengan begitu, AS punya hitungan yang matang terkait kemampuan sumber daya mereka untuk bertahan dalam perang. Selain itu, AS berhasil mengkonsolidasikan ketahanannya dalam perang melalui penggenjotan konsumsi internal dan penguatan produksi sektor industri.
Jadi, bagi Fioramonti, PDB menekankan pertumbuhan ekonomi harus dicapai dengan konsumsi dan produksi dengan biaya apapun. Artinya, jika anda hanya berproduksi untuk kebutuhan sendiri, itu dianggap bukan produksi. Sebagai konsekuensinya, kata Vandana Shiva, aktivis anti-globalisasi India, ‘pertumbuhan’ diukur dengan keberhasilan mengubah segala potensi alam menjadi profit/kas; atau mengubah segala hal menjadi komoditi.
Dalam paradigma ini, kata Vandana Shiva, mereka yang berproduksi untuk kebutuhan dianggap tidak berproduksi. Oleh karena itu, semua orang yang berproduksi untuk kebutuhan keluarga, anak, komunitas atau masyarakat dianggap “tidak produktif”. Petani yang hanya mengejar produksi pangan untuk kebutuhan keluarga dan masyarakat dianggap subsisten dan tidak berkontribusi pada ekonomi.
Tak hanya itu, hutan yang dibiarkan lestari juga dianggap tidak berkontribusi pada pertumbuhan. Namun, jika pohon hutan itu ditebang dan dijual, lalu bekas hutan itu diubah menjadi perkebunan sawit, itu baru dianggap “pertumbuhan”. Sumber air yang dipelihara sebagai milik umum dan dipergunakan untuk umum dianggap tidak ekonomis. Namun, ketika Danone mengubah mengusai sumber air itu dan memproduksi air mineral kemasan, maka itu dianggap ekonomis.
Jadi, demi mengejar pertumbuhan, setiap aktivitas ekonomi yang alami–sekedar memenuhi kebutuhan hidup–harus dipaksa berproduksi untuk pasar. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dieksploitasi untuk keperluan pasar dan menghasilkan keuntungan. Bersamaan dengan itu, manusia dipaksa melakukan konsumsi tanpa batas. Dulu orang merasa cukup bila sudah punya satu mobil dan satu motor, tetapi sekarang ini dianggap sukses bila punya lebih dari satu mobil dan motor.
Layanan publik, seperti kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih, transportasi umum, dan lain-lain, harus diprivatisasi demi mendorong akumulasi profit–dengan sendirinya dianggap mendorong pertumbuhan ekonomi. Mereka tidak peduli bila rakyat mengeluarkan uang lebih banyak demi mengakses layanan publik tersebut. Padahal, setiap praktik komersialisasi dan komiditifikasi layanan publik akan membuat biaya hidup menjadi tinggi.
Pada kenyataannya, pada negara-negara yang mengejar pertumbuhan, para pemangku kebijakannya memanggil investor swasta, baik domestik maupun asing, untuk mengeruk kekayaan alam yang ada dan mengubahnya menjadi komoditi ekspor. Dari situ, pemerintah merasa sangat beruntung karena mendapat pajak dan royalti.
Di sisi lain, pemerintah tidak menyadari, bahwa eksploitasi alam secara ugal-ugalan itu menyebabkan kerusakan ekologi (polusi dan dan degradasi ideologi), menipisnya cadangan sumber daya, merusak keanekaragaman hayati, dan lain sebagainya. Eksploitasi alam berorientasi pasar/profit ini membawa masalah sosial, seperti perampasan lahan milik petani, monopoli benih oleh korporasi, penghancuran pertanian subsisten dengan pertanian komersil, dan lain-lain.
Bagi Vandana Shiva, model ekonomi seperti ini sangat anti-kehidupan. Di satu sisi, eksploitasi hutan, tambang, sumber air, dan lain-lain menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang mengesankan. Tetapi di sisi lain, terjadi perampasan ruang hidup bagi mayoritas penduduk dan makhluk hidup yang menempati ruang alam tersebut.
Tak hanya itu, bagi Vandana Shiva, model ekonomi semacam itu juga melahirkan tiga bentuk kekerasan: Pertama, kekerasan terhadap bumi atau alam raya, yang termanifestasikan dalam krisis ekologi; kedua, kekerasan terhadap rakyat, yang termanifestasikan dalam pemiskinan, pemelaratan, dan pemindahan paksa penduduk; dan ketiga, kekerasan dalam bentuk konflik dan perang akibat pertarungan perebutan sumber daya.
Lebih jauh lagi, konsep PDB ini juga tidak mewakili kemakmuran atau kemajuan ekonomi yang sebenarnya. PDB menghitung semua output aktivitas ekonomi yang dilakukan di Indonesia. Termasuk output yang dihasilkan oleh orang atau investor asing.
Masalahnya, dalam kasus investasi asing, sebagian besar keuntungan atau profit dari aktivitas ekonomi korporasi asing itu tetap jatuh ke kantong pemilik saham yang notabene orang asing. Sementara rakyat Indonesia hanya menikmati porsi sangat kecil melalui gaji, royalti, dan pajak. Nah, semua itu–termasuk profit si korporasi asing–dimasukkan dalam angka pendapatan PDB itu. Artinya, dalam struktur pendapatan PDB itu, sebagian besar bukanlah milik bangsa kita, melainkan milik alias keuntungan investor/korporasi asing.
Persoalan lainnya, PDB indonesia disumbang oleh ekspor komoditi dan bahan mentah. Model ekonomi semacam ini sangat merugikan: kita bergantung pada pasar eksternal, nilai tambahnya kecil, mempercepat eksploitasi dan pengrusakan alam, dan mengabaikan pembangunan industri dalam negeri.
Selain itu, dari segi pengeluaran, PDB Indonesia dibentuk oleh komsumsi yang dibiayai dengan kredit konsumsi. Model PBD semacam ini bisa mewariskan beban utang. Bahkan, bila melihat kasus Eropa dan AS, model semacam ini bisa memicu krisis utang: pemerintah dan rumah tangga.
Kemudian, PDB perkapita juga tidak mencerminkan laju kemakmuran rakyat Indonesia secara keseluruhan. Sebab, PDB perkapita tidak menangkap realitas ketimpangan pendapatan di dalam masyarakat. Misalkan, meminjam data majalah Forbes, ada 40 orang terkaya Indonesia dengan kekayaan Rp 850 Triliun atau setara dengan 10 persen PDB kita. Di sisi lain, kekayaan 40 orang itu setara dengan kekayaan 60 juta orang (seperempat dari jumlah penduduk Indonesia). Artinya, PDB perkapita itu tidak mencerminkan kekayaan rata-rata keseluruhan rakyat Indonesia.
Dua ekonom peraih Nobel, Joseph Stiglitz dan Amartya Sen, mengakui bahwa konsep PDB tidak dapat menangkap kebutuhan pembangunan manusia. Keduanya menganjurkan perlunya mencari alat ukur baru yang mencerminkan kemakmuran rakyat bangsa-bangsa.
Model pembangunan dengan pengejar pertumbuhan PDB ini tidak sesuai dengan prinsip konstitusi kita (UUD 1945). Berdasarkan konstitusi, kemakmuran rakyat tidak diukur dengan angka agregat, melainkan pemastian bahwa seluruh rakyat benar-benar bisa hidup sebagai manusia Indonesia yang merdeka dan bermartabat: punya pekerjaan, kebutuhan dasarnya (sandang, papan, perumahan, dll) terpenuhi, mendapat pengajaran yang mencerdaskan, terpenuhi kebutuhan rohani, dan bisa mengembangkan kebudayaan.
Dalam konstitusi kita, khususnya pasal 33 UUD 1945, pembangunan ekonomi dan pengelolaan kekayaan alam seharusnya tidak berorientasi mengejar keuntungan belaka, melainkan memenuhi kebutuhan dan sebesar-besarnya kemakmuran bagi rakyat. Di sini, pembangunan ekonomi harus memperhitungkan aspek ekologis dan pemeliharaan keanekaragaman hayati bangsa kita.
Rudi Hartono, pengurus Komite Pimpinan Pusat– Partai Rakyat Demokratik (PRD); Pimred Berdikari Online
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid