“Dalam rangka membangun Negara Sosialis Indonesia tidak dibenarkan adanya Otonomi 100% untuk perguruan tinggi- perguruan tinggi,” demikian perkataan Bung Karno terkait kebijakan pembangunan semesta berencana.
Pernyataan Bung Karno di atas ada benarnya, sebagaimana juga digariskan oleh konstitusi, bahwa negara tidak boleh melepaskan tanggung-jawabnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kata “mencerdaskan bangsa” ini punya pengertian: penyelenggaraan pendidikan tidak boleh hanya mencerdaskan segolongan atau segelintir orang, tetapi penyelenggaraan pendidikan harus mencerdaskan seluruh bangsa Indonesia.
Situasi sekarang justru berbeda. Penyelenggaraan pendidikan nasional, terutama di perguruan tinggi, mulai mengarah pada otonomi. Sebagai konsekuensi dari otonomi ini, termasuk dalam penggalian dana, Universitas harus mencari sendiri sumber-sumber pembiayaannya. Sementara dalam mencari sumber pembiayaan, pihak universitas biasanya hanya punya dua jalan: membuka pintu kepada pihak swasta dan menjual (komoditi) pendidikan itu lebih mahal kepada peserta didik.
Oleh kebanyakan perguruan tinggi di Indonesia, kedua jalan itu dilakukan secara bersamaan: mengundang swasta dan mengkomersilkan pendidikan. Dalam sepuluh tahun terakhir, peranan swasta semakin terasa kehadirannya di dalam kehidupan universitas: supermarket mulai berdiri di kampus (menggantikan koperasi mahasiswa), pusat kegiatan mahasiswa mulai disewakan, kehadiran pengusaha di majelis wali amanat, dan lain-lain.
Bersamaan dengan itu, biaya pendidikan juga terus meroket naik, bahkan seolah-olah sejumlah kampus favorit berlomba-lomba menaikkan biaya masuknya untuk menunjukkan gengsinya. Biaya masuk perguruan tinggi negeri bisa mencapai angka di atas Rp 100 juta, sementara setiap semester dapat mencapai Rp 70 juta. Untuk masuk kedokteran Unair, anda harus mempersiapkan 800 juta (Kompas); kedokteran Unhas, anda harus mempersiapkan 100 juta (tribun news); dan kedokteran Unpad dihargai 175 juta (Tempo interaktif).
Kemarin, 23 maret 2010, gedung perkuliahan Universitas Negeri Makassar (UNM) disegel oleh mahasiswa. Penyegelan ini terjadi sebagai bentuk reaksi mahasiswa atas naiknya biaya pendidikan, khususnya SPP dan DPP. Beberapa hari sebelumnya, mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) juga menggelar aksi protes terkait kenakan Sumbangan Pengembangan Pelayanan Pendidikan (SP3), yang besaran kenaikannya mencapai 30% dan 100%. Sementara di Ternate, Maluku Utara, mahasiswa malah mendapat perlakuan keji saat menggelar aksi meminta penurunan biaya SPP. Seorang pembantu rektor, yang mestinya mendidik mahasiswa dengan ilmu pengetahuan, malah memukuli mahasiswa yang sedang menggelar protes.
Komersialisasi sudah di depan mata. Jika tidak segera dilawan, maka ratusan juta generasi muda Indonesia ke depan tidak akan punya kesempatan untuk menikmati pendidikan di bangku universitas. Oleh karena itu, karena kita tidak bisa berharap kepada rejim neoliberal untuk menghentikan komersialisasi ini, maka gerakan mahasiswalah yang mestinya menyusun barisan perlawanan. Mari berjuang untuk mewujudkan pendidikan sebagaimana digariskan preambule UUD 1945: mencerdaskan kehidupan bangsa.
Komersialisasi pendidikan
Sidang Putaran Uruguay 1991 1993 : “Dalang” atau “provokator” kok ketahuan.
Seorang teman menuturkan kepadaku kisah berikut ini.
Komersialisasi pendidikan -sebagaimana sudah sering saya tulis dan katakan di berbagai forum- adalah sekedar KONSEKUENSI LOGIS dari pemberlakuan UU nomor 7 tahun 1994 yang meratifikasi terbentuknya WTO dengan segenap dokumennya, antara lain liberalisasi perdagangan di bidang jasa.
Lho?
Kok WTO?
Apa hubungannya dengan pendidikan?
Perdagangan internasional -dalam cakupan WTO yang dulu ada dalam dokumen GATT (General Agreement on Trade and Tariffs)- terdiri dari dua kelompok besar, yaitu perdagangan barang (‘goods’) dan perdagangan jasa (‘services’).
Yang berkaitan dengan perdagangan jasa disebut GATS (General Agreement on Trade in Services).
TRIPs (Trade-related Intellectual Properti Rights) -perdagangan yang berkaitan dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)- termasuk dalam kelompok perdagangan di bidang jasa.
Nah, pendidikan termasuk ke dalam kelompok perdagangan jasa. Jadi sejak awal, pendidikan sudah merupakan komoditi di bidang jasa. Ini yang tidak dimengerti oleh sebagian besar warga bangsa Indonesia – termasuk para intelektual dan pejabatnya. Atau…mungkin, karena mereka memang anthek Nekolim?
Dalam rangkaian perundingan Putaran Uruguay (karena di mulai di Punta del Este, Uruguay), GATT (yang juga mencakupi GATS – General Agreement on Trade in Services) disepakati untuk melakukan liberalisasi perdagangan dunia. Rangkaian perundingan tersebut disebut Putaran Uruguay (‘Uruguay Round’) yang semula saya kira urusan persepak-bolaan yang terkait dengan PSSI. Ternyata urusan perdagangan internasional.
Perundingan Putaran Uruguay berlangsung bertahun-tahun di Geneva, Swiss, karena seret. Dimulai tahun 1991 dan diakhiri pada bulan Desember 1993. Dan saya menjadi anggota delegasi mulai tahun 1991. Kemudian ‘dilanjut-qen’ menjadi anggota delegasi RI dalam perundingan AFTA (Asean Free Trade Agreement) dan AFAS (Asean Framework of Agreement in Services) dari tahun 1995 hingga 2002.
Perundingan tersebut bagaikan arena perang. AS dan Uni Eropa serta Jepang adalah negara-negara yang mendominasi persidangan, karena kepentingannya, mereka saling bertabrakan. Cina berstatus sebagai ‘peninjau – belum menjadi anggota GATT.
Indonesia kebingungan, karena di ASEAN pun juga sangat heterogen, ada Singapura yang hidupnya hanya mengandalkan jasa perdagangan, sehingga mutlak memerlukan ‘perdagangan bebas hambatan’ – bagaikan jalan tol yang suka macet. Dan ada Indonesia yang selalu bingung, karena tanpa persiapan apapun. Itulah nasib ‘anthek’ Nekolim yang blo’on.
Dalam Sidang Umum terakhir –akhir bulan Desember 1993 yang dingin- yang berhak berbicara adalah Uni Eropa, AS, Jepang dan Kelompok-77 (negara-negara miskin – yang supaya agak ‘gagah’ atau ‘keren’ disebut sebagai ‘developing countries’ – namun lebih menyerupai ‘paguyuban kere’ dalam masyarakat bangsa-bangsa). Suara kelompok-77 hampir-hampir tidak diperhitungkan. Bagaikan angin lalu saja, tidak dihiraukan sama sekali., karena ‘bargaining power’-nya rendah. Maklum kelas ‘pengemis’.
Yang ‘menyenangkan’ dalam masa-masa akhir persidangan jubirnya/sekaligus Ketua Kelompok-77 adalah Malaysia. Ketua delegasinya adalah seorang anak muda yang sangat nasionalistik – anak didik Mahathir Mohammad.
Dia selalu bertanya kepadaku tentang berbagai hal dengan pertanyaan yang ‘sederhana’, yaitu “Cik, dalam hal ini Sukarno bilang apa?”. Juga pada sidang pleno terakhir itu.
Sungguh sangat mengagetkan tetapi menyenangkan, bahkan membahagiakan hatiku.
Di tengah berkuasanya rezim otoriter Orde Baru, delegasi RI tidak berkutik sama sekali. Namun saya, sebagai salah seorang anggota delegasi RI, mampu memanfaatkan hubunganku dengan anak muda Malaysia tersebut. Tentu saja, secara diam-diam.
Demikian juga dalam sidang pleno terakhir tersebut.
“Cik dalam hal ini Sukarno bilang apa” dia bertanya kepadaku.
Apa jawabku?
Singkat dan padat! “Sikat Nekolim!!!”.
“Beres”, sahut anak muda Malaysia.
Maka dari podium bergemalah ‘kalimat-kalimat Bung Karno’ dari mulut anak muda Malaysia – negara yang dalam era Bung Karno diganyang!
Rupanya Bung Karno memang berpikir secara dialektis. Karena akibat pengganyangannya muncullah sintesa yang berwujud Mahathir Mohammad. Dan Mahathir Mohammad melahirkan si anak muda ketua delegasi Malasyia dalam sidang Putaran Uruguay di Geneva.
Tepuk-tangan meriah menyambut si anak muda Malaysia tersebut. Bahkan hadirin memberikan penghormatan tinggi dalam bentuk ‘standing ovation’ – berdiri sambil bertepuk-tangan.
Selesai berbicara di mimbar, anak muda Malaysia tersebut langsung turun dan menghampiriku -yang duduk di barisan belakang bersama beberapa anggota delegasi negara-negara lain yang perokok. Nasib perokok!!!
“Bagaimana, cik?’, tanya si anak muda Malaysia.
“Very good! Hanya awalnya terlalu lunak”, jawab si Indonesia.
“Yaah, sopan-sopan sikitlah, Cik. Yang penting, kan, pesan anda : “Sikat Nekolim!” sudah saya sampaikan”.
Hatiku bangga sekaligus sedih.
Bangga, karena pesan-pesan Bung Karno bergema di ruang sidang WTO di Geneva, Swiss.
Sedih, karena yang menyampaikan adalah anak muda Malaysia.
Bukan warga Indonesia!
Maka delegasi yang duduk di bagian belakang -rata-rata orang bule- hampir bersamaan nyeletuk “Aah ternyata, ‘mentor’-nya disini, ya” sambil menoleh kepada diriku.
Demikianlah tutur temanku –saksi hidup dalam persidangan Putaran Uruguay dari tahun 1991 s/d 1993 di Geneva, Swiss.
Dalang atau provokator kok ketahuan!!!!
Suasana batin yang lahir dalam sidang Putaran Uruguay itu tidak pernah ‘ditangkap’ dan dimengerti oleh para penguasa Indonesia.
Itulah sebabnya, mengapa dengan secepat kilat, HM Suharto -Presiden RI- meratifikasi semua hasil perundingan Puataran Uruguay dan Pembentukan WTO.
Dan pendidikanpun menjadi komoditi di bidang jasa.
Wajarlah kalau pendidikan di Indonesia menjadi mahal, karena proses pendidikan adalah proses transaksional antara penyedia jasa dengan pengguna jasa.
Saya teringat pesan Bung Karno di masa akhir hidupnya.
“Perjuanganmu akan jauh lebih sulit dari pada perjuanganku. Kamu akan berhadapan dengan warga bangsamu sendiri”.
Ternyata Bung Karno benar belaka.
Hinu Endro Sayono
ndeso Sentul Kidul, 24 Maret 2011
Pendidikan di Indonesia tidak hanya dikomersialisasikan, tapi juga tercuri dari owner-nya (rakyat).
“Barang” miliki negara ini juga dijual kepada anak rakyat (ownernya sendiri) yang miskin. Walaupun ia lulus tes, ia pun harus menanggung biaya yang telah dinaikkan dari yang sebelumnya, uang sumbanganpun dikenakan kepada yang telah lolos seleksi yang sebelum tidak.(lihat yang diperjuangkan mahasiswa unair saat ini).
pendidikan di indonesia skrng ini,bukan untuk rakyat tetapi hanya untuk segelintir orang saja.komersial pendidikan bikin rakyat tidak bisa mengakses dunia pendidikan.karena biaya yang mahal.
pemerintah hanya mementingksn diri mereka sendiri,tidak memperhatikan rakyat.
Kita tidak pernah membuang keyakinan “pendidikan merupakan proses moderenisasi, segala yang tidak sejalan dengan moderenisasi bukanlah pendidikan”. Itulah soalnya, itulah akar masalahnya. Ini andil sejarah!!! Kemudian pendidikan menjadi “gengsi”, karena menyandang sekaligus menghasilkan atribut-atribut moderenisme. Karenanya, tenaga, uang, dan waktu harus dikerahkan ke sana. Otomatis pendidikan menjadi komoditi.