Direktur Eksekutif Seven Strategic Studies Mulyana W Kusumah menilai, sejauh ini pihak kepolisian setidaknya sudah punya tujuh bukti atau fakta hukum untuk mengungkap kasus penembakan Aipda Sukardi.
Yang pertama, kata Mulyana, adalah bukti medico-legal (kedokteran forensik) tentang waktu, luka dan cara kematian. Termasuk pula adanya luka tembak horisontal dan vertikal.
Kedua, bukti analisis balistik tentang kaliber peluru 4,5 mm dan jenis senjata yang digunakan, yakni FN Semi Otomatik, yang diduga senjata organik.
“Hasil analisis balistik tentu mengarahkan pada kelompok pelaku potensial berdasarkan kepemilikan senjata api,” ungkapnya.
Ketiga, keterangan para saksi mengenai kejadian-kejadian sebelum, pada saat dan setelah penembakan.
Keempat, modus operandi perencanaan, pengorganisasian, pengintaian, penyergapan dan penembakan.
Kelima, pelaku kelompok bersenjata terlatih secara individual maupun sebagai tim yang siap beroperasi.
“Pelaku sangat terlatih menggunakan senjata api, juga terlatih secara mental, keberanian, kalkulasi risiko, dan kemampuan menghindar dari kejaran penegak hukum,” ujarnya.
Keenam, bukti-bukti pendukung berupa rekaman CCTV KPK.
Dan yang terakhir, latar belakang sosial yang dapat ditelusuri melalui hubungan-hubungan kerja individual korban maupun institusinya.
“Pengawalan yang dilakukan oleh korban sah dan legal karena berdasarkan Peraturan Kapolri tentang Pedoman Pembinaan Badan Usaha Jasa Pengamanan yang mengharuskan adanya penyiapan petugas tetap dari Polri. Perusahaan yang meminta jasa pengawalan sudah jelas,” paparnya.
Mulyana berharap, dengan 7 fakta hukum tersebut, Pihak Kepolisian menggunakan kewenangan untuk segera melakukan tindakan hukum terhadap kelompok pelaku.
“Dengan begitu, secara internal anggota Polri yang bertugas di lapangan akan lebih percaya diri karena dilindungi secara kelembagaan, dan secara eksternal kewibawaan Polri dapat ditegakkan,” jelasnya.
Mahesa Danu