Peluang dan Tantangan Partai Baru

Tiga tahun menjelang pemilu 2024, partai-partai baru mulai bermunculan dan menabur harapan. Tak hanya ingin mewarnai Pemilu 2024, tetapi juga mengikis dominasi partai-partai arus utama.

Setidaknya, sudah ada empat partai baru yang mendeklarasikan diri. Ada partai gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), yang dimotori oleh mantan aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Kemudian ada partai Masyumi baru, yang dideklarasikan oleh mantan pimpinan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Cholil Ridwan. Partai ini ingin mengulang masa kejayaan partai Masyumi di masa lampau.

Lalu, di pengujung April lalu, giliran Amien Rais dan sejumlah bekas petinggi PAN mendeklarasikan partai baru: Partai Ummat. Partai ini bertekad melawan kezaliman dan menegakkan keadilan.

Dan yang terbaru, deklarasi partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) di gedung perfileman Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta, pada 1 Juni 2021. 

Dengan mengusung tagline “partainya rakyat biasa”, PRIMA bertekad mewakili kepentingan rakyat kebanyakan dalam sistem politik Indonesia.

Lalu, seperti apa peluang dan tantangan partai-partai baru ini?

Setiap partai baru memang diperhadapkan dengan persyaratan UU pemilu yang berat agar bisa menjadi peserta pemilu 2024. Dalam hal ini: UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. 

Menurut peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Usep Hasan Sadikin, partai-partai baru harus fokus untuk menyiapkan segala hal yang dipersyaratkan oleh UU, mulai dari kepengurusan hingga administrasi.

“Ini butuh uang, tenaga, dan waktu yang tak sedikit,” kata Usep kepada berdikarionline.com, Sabtu (5/6/2021).

Usep membeberkan setidaknya tiga tantangan bagi partai baru untuk mengimbangi partai-partai arus utama atau partai-partai yang ada di parlemen saat ini.

Yang pertama, kata dia, persyaratan verifikasi faktual yang berat membuat partai baru dipaksa mengeluarkan modal yang tidak sedikit sebelum tahap kampanye atau pemungutan suara.

“Yang kedua, partai baru tidak bisa mencalonkan presiden, sehingga tidak punya efek sistemik meningkatkan elektabilitas partai,” jelasnya.

Padahal, dalam banyak survei, faktor ketokohan penting dalam menggaet dukungan pemilih. Biasanya, ketokohan itu mewujud pada calon presiden yang diusung oleh partai.

Yang ketiga, lanjut Usep, ambang batas parlemen sebesar 4 persen membuat partai baru kesulitan untuk bersaing dengan partai arus utama di tingkat nasional.

Namun demikian, kata Usep, partai-partai baru punya peluang untuk mengisi DPRD provinsi dan DPRD  kabupaten/kota.

“Tidak ada ambang batas parlemen di sini. Di tingkat lokal, faktor pengakaran partai bisa lebih menentukan,” ujarnya.

Untuk diketahui, dari 4 partai baru yang sudah deklarasi, baru partai Gelora dan PRIMA yang mengantongi SK dari kementerian hukum dan HAM.

Partai Gelora mengklaim sudah punya pengurus di seluruh provinsi, 75 persen kabupaten/kota, dan 5.500 kecamatan.

“Nanti untuk tingkat kecamatan juga akan dituntaskan sampai 100 persen, sedangkan untuk desa dan kelurahan sampai 2022 minimal 75 persen,” kata Sekretaris Jenderal partai Gelora, Mahfudz Siddiq, seperti dikutip Kompas, Kamis (3/6/2021).

Sedangkan PRIMA sudah punya kepengurusan di seluruh Provinsi, 387 kota/kabupaten, dan 3.100 kecamatan. Sekarang ini, selain memutakhirkan administrasi partai dan anggota, PRIMA sedang melakukan perekrutan besar-besaran.

“Kami sangat yakin bisa lolos pemilu 2024 dan menjadi kekuatan politik alternatif bagi rakyat banyak, rakyat biasa, demi masyarakat adil dan makmur,” kata Ketua Umum PRIMA, Agus Jabo Priyono, kepada berdikarionline.com, Kamis (3/6/2021).

Peluang

Usep menganggap kehadiran partai baru sangat penting di tengah memburuknya indeks Indonesia di berbagai hal, terutama demokrasi dan pemerintahan bersih.

“Indeks demokrasi, kebebasan, persepsi korupsi, semuanya Indonesia makin buruk,” ujarnya.

Dia menilai, partai-partai di parlemen sudah gagal menjalankan fungsinya sebagai perwakilan rakyat dan penyerap berbagai aspirasi masyarakat.

“Partai baru penting dipertimbangkan untuk mengganti partai yang selama ini tidak menjalankan kepercayaan rakyat yang sudah memilihnya,” jelasnya.

Dia menyarankan, selain menyiapkan segala hal terkait verifikasi, partai baru juga mulai menyiapkan caleg dan strategi pemenangannya.

Melihat party-ID yang rendah, yang hanya di kisaran 11 persen, ditambah mayoritas pemilih Indonesia yang merupakan massa mengambang, partai pendatang baru sangat berpotensi membuat kejutan.

Dalam sistim politik yang didominasi oleh massa mengambang, dukungan elektoral gampang berubah sekejap (volatility). Perubahan ini bisa karena hadirnya partai atau figur baru yang menarik perhatian massa.

Untuk itu, seperti diusulkan Firman Noor, Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI, di harian Kompas, partai-partai baru diharuskan untuk mulai menyiapkan basis massa yang riil, bekerja sebagai mesin yang efektif di tengah massa, punya visi dan program konkret, dukungan finansial, dan merebut dukungan tokoh sebanyak-banyaknya.

RINI HARTONO

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid