Otonomi Daerah Dan Neoliberalisme

Protes anti-tambang di Bima, juga kejadian serupa lainnya di Indonesia, telah memicu kembali perdebatan soal manfaat otonomi daerah. Dalam kasus Bima, misalnya, pemicu aksi protes adalah Ijin Usaha Pertambangan yang diterbitkan Bupati.

Dalam editorial kami yang berjudul “Pemerintahan Pusat dan Kekuasaan Pemerintahan Daerah”, pada 19 Januari 2012 lalu, telah berusaha disinggung dampak negatif akibat begitu berkuasanya kepala daerah. Dalam banyak kasus, sejumlah kepala daerah mengabaikan rekomendasi pejabat di atasnya.

Dalam banyak kasus, seperti pernah dikhawatirkan almarhum Gus Dur, proyek desentralisasi dan otonomi daerah telah menjadi pangkal tempat berkecambahnya agenda neoliberalisme. Ini mirip dengan kekhawatiran Bung Karno dulu, bahwa agenda federalisme telah menjadi sarana kembalinya kolonialisme.

Kekhawatiran itu benar adanya. Sejak pelaksanaan otoda, agenda neoliberal begitu deras melakukan penetrasi hingga ke tingkat lokal. Apalagi, terkuak  kabar tentang keterlibatan institusi imperialis, seperti Bank Dunia dan IMF, dalam merombak struktur politik Indonesia agar menjadi terdesentralisasi.

Di sejumlah negara di dunia, agenda desentralisasi dan otonomisasi juga menjadi sarana berkembangnya neoliberalisme. Di Chile, proyek desentralisasi sudah dimulai di era tahun 1980-an, ketika kekuasaan politik dipegang oleh rejim militer yang dikelilingi teknokrat pro-neoliberal. Di Polandia, agenda desentralisasi muncul pasca keruntuhan komunisme, yang kemudian disertai reformasi ekonomi menuju pasar neoliberal.

Di Indonesia, agenda ini muncul dengan menunggangi proses demokratisasi. Sehingga, tanpa disadari, orang cenderung mempersamakan demokratisasi dengan desentraliasi atau otonomisasi segala aspek kehidupan sosial. Proyek ini dimulai dengan mengacak-acak konstitusi nasional kita: UUD 1945.

Di mata pendukung neoliberal, desentralisasi bisa menjadi arena, sekaligus kesempatan, untuk mengubah ruang ekonomi-politik Indonesia agar sejalan dengan mekanisme pasar dan menopang proses akumulasi modal yang lebih massif. Proyek desentralisasi ini akan meminimalisasi biaya dan sekaligus memaksimalkan pencarian keuntungan.

Dalam banyak kasus, penetrasi kebijakan neoliberal juga lebih mudah dijalankan dalam tata politik negara nasional yang terpecah-pecah. Investasi asing bisa menjemput langsung sumber daya alam di tingkat lokal tanpa harus menunggu negosiasi panjang dengan pemerintah pusat.

Salah satu contohnya adalah kewenangan penuh pemerindah daerah dalam pemberian ijin usaha pertambangan (IUP) kepada investor asing. Sejak otoda dimulai hingga tahun 2011 lalu, diperkirakan sedikitnya sudah ada 9000-an IUP di seluruh Indonesia. Di Kalimantan Timur, salah satu daerah paling kaya di Indonesia, terdapat sedikitnya 1271 ijin pertambangan.

Di Samarinda, Ibukota Kalimantan Timur, sekitar 72 persen wilayahnya sudah masuk dalam areal ijin pertambangan. Namun, jika anda melihat keadaan di sana, kehadiran perusahaan tambang itu tidak membantu pembangunan dan kesejahteraan rakyat di sana. Kondisi jalan di kota Samarinda banyak yang rusak dan berlubang. Sebagian rakyatnya juga belum mengakses air bersih. Lalu, sejak 2007 hingga 2011, kota Samarinda sudah 72 kali diterjang banjir.

Gambaran di atas memperlihatkan satu kesimpulan kepada kita: otoda bukannya memudahkan rakyat di tingkat lokal dalam mengakses dan mengolah sumber daya, tetapi justru menjadi jembatan bagi pemilik modal (swasta domestik dan asing) untuk merampok sumber daya tersebut.

Otoda juga gagal menyehatkan birokrasi kita. Sudah banyak ungkapan yang menyebutkan bahwa otoda hanya menyuburkan ‘raja-raja kecil’ di daerah. Lebih parah lagi, raja-raja kecil itu berhasil menumpuk kekayaan hanya dalam waktu singkat. Isu peningkatan kapasitas aparatus pemda lebih dimaknai sebagai proyek mempersiapkan aparatur pemda yang pro-pasar. Misalnya: menyiapkan pemda yang bisa menjalankan sistim One Stop Service dalam perijinan, pembuatan legislasi yang menguntungkan modal, dan lain-lain.

Praktek korupsi juga marak. Maklum, proses desentralisasi ini tidak disertai dengan penyehatan kehidupan politik, demokratisasi dalam tata-kelola sumber daya lokal, dan pembangkitan partisipasi rakyat. Yang terjadi, seperti yang kami amati, adalah proses pemindahan praktek korupsi dari terpusat menjadi meluas di daerah-daerah.

Meski begitu, seperti sudah kami singgung di editorial sebelumnya, praktek otoda juga telah memberi kesempatan pada lahirnya terobosoan-terobosan berupa proyek-proyek pemerintahan lokal yang berorientasi kerakyatan. Ini berhasil dibuktikan, antara lain, oleh Joko Widodo di Solo, Jawa Tengah. Artinya, sebagai proyek politik, desentralisasi juga menciptakan ruang bagi kaum pergerakan untuk mempersiapkan cikal bakal pemerintahan lokal yang sanggup mengorganisasikan dan menjalankan kehendak rakyat.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid