Mahasiswa Papua asal Boven Digul, Marthen Luther Wambarop, menganggap kasus rasisme yang kerap menimpa mahasiswa asal Indonesia Timur yang tengah menempuh studi di kota Malang, Jawa Timur, terjadi karena sikap abai pemerintah.
Menurut mahasiswa Pascasarjana Universitas Merdeka Malang ini, negara terlalu sibuk mengurus investasi, sehingga abai dalam mengatasi persolan relasi antar suku atau etnis yang ada di tengah masyarakat.
“Setiap suku atau etnis kan punya tradisi dan cara pandang yang mungkin berbeda, yang berpengaruh pada cara mereka bersosialisasi dan berkomunikasi,” katanya dalam diskusi bertajuk Membongkar Stigma Etnis dan Reputasi Kota Pendidikan di Warkop Ayo Mblo di Tlogomas, Malang, Rabu (22/1/2020).
Namun, Marthen tidak menepis jika ada aroma politik yang juga memicu kasus rasisme di kota Malang, termasuk kasus rasisme terhadap mahasiswa Papua tahun lalu.
Di kesempatan yang sama, budayawan kota Malang Ebes Ratmoko menganggap warga Malang pada dasarnya merupakan masyarakat yang terbuka dan egaliter.
Sebab, kata dia, sudah sejak dahulu kala kota ini tempat menimbah ilmu banyak orang dari berbagai suku, bangsa, dan agama.
“Orang Malangan (sebutan untuk orang asli Malang) tidak mungkin rasis. Yang rasis kemarin itu (mungkin) orang pendatang,” kata dia.
Meski begitu, dia menyesalkan absennya lembaga pendidikan, dalam hal ini perguruan tinggi, sebagai jembatan antara mahasiswa dari luar Malang dengan masyarakat setempat.
Sementara pembicara lainnya, Sigit Pramono, dari Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (ISRI) menekankan pentingnya tolerasi sebagai penangkal stigma negatif dan rasisme terhadap suku atau ras tertentu.
Menurut pengajar di salah satu Sekolah Menengah Atas di kota Malang ini, toleransi tidak berarti menghapus identitas diri, melainkan kerelaan untuk saling menerima, terbuka, dan berinteraksi sebagai mahkluk sosial.
“Keragaman budaya itu harusnya diterima sebagai kekayaan, bukan untuk saling menegasikan, menekankan hegemoni, sehingga berujung pada konflik,” tegasnya.
Diskusi rutin yang dinamai “Ngopi Bareng (Ngobar) 22 ini diinisiasi oleh Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan mahasiswa Papua di kota studi Malang yang tergabung dalam Posko Menangkan Pancasila.
Rencananya, kegiatan ini akan rutin digelar dengan berbagai tema yang sedang ramai diperbincangkan oleh publik. Selain acara diskusi, nantinya Ngobar 22 juga menggelar pelatihan keterampilan dan aktivitas literasi.
“Ini akan menjadi ruang yang produktif, yang sekaligus mempertemukan antara mahasiswa dari Indonesia timur yang tengah belajar di kota Malang dengan masyarakat setempat,” jelas Ketua Panitia Ngobar 22, Febrian, kepada berdikarionline.com.
HENDRAVEN SARAGIH
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid