Negara Sebagai Alat Perjuangan

Menjelang 68 tahun usia kemerdekaannya, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) justru seolah-olah sedang berjalan di lorong yang gelap. Tak jelas, apakah di depan sana ada cahaya menuju pintu keluar ataukah ini adalah lorong gelap tak berujung.

Tak heran, ketika orang merasa seperti berjalan di lorong gelap, mereka mulai mempertanyakan ulang raison d’etre­-nya negara ini. Dan pertanyaan-pertanyaan itu kian menderas tak kalah negeri ini dihujani begitu banyak persoalan: kemiskinan, korupsi, kesenjangan ekonomi, konflik horizontal, dan masih banyak lagi.

Sehubungan dengan itu, menarik untuk mendiskusikan lagi gagasan Bung Karno, bahwa negara itu hanyalah alat perjuangan. Alat perjuangan untuk apa? Kata Bung Karno, alat perjuangan untuk merealisasikan cita-cita kolektif kita sebagai sebuah bangsa, yakni masyarakat adil dan makmur.

Penjelasan Bung Karno itu merupakan bantahan terhadap pendapat yang menganggap bernegara atau memiliki negara bernama Republik Indonesia sebagai tujuan akhir. Bahkan, lebih jauh Bung Karno menegaskan, ukuran Indonesia merdeka itu tidak sesederhana “Indonesianisasi”, seperti mengganti kepemilikan perusahaan asing dengan orang Indonesia atau mengganti pegawai kolonial dengan orang-orang Indonesia.

Bagi Bung Karno, cita-cita tertinggi dari perjuangan rakyat Indonesia, yang gerakan pembebasan nasional Indonesia, adalah menciptakan sebuah masyarakat adil dan makmur, yang di dalamnya tidak ada lagi penghisapan manusia atas manusia ( I’exploitation de rhomme par I’homme) dan penindasan bangsa atas bangsa (exploitation de nation par nation).

Untuk itu, negara sebagai alat perjuangan punya dua tugas: Satu, secara eksternal, negara ini seharusnya menjadi alat untuk melindungi kepentingan nasional dari segala ancaman, khususnya terhadap neokolonialisme dan imperialisme. Dua, secara internal, negara ini menjadi alat untuk memberantas segala penyakit, khususnya feodalisme dan kapitalisme, yang menghalangi perjuangan rakyat Indonesia mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

Namun, satu hal lagi yang patut dijawab di sini. Siapa yang harus menggunakan atau menggerakkan alat bernama negara ini? Menjawab “siapa” yang memegang kuasa atas alat bernama negara ini penting, sebab masyarakat Indonesia tidak hanya satu kelas. Ada kelas buruh, marhaen, borjuis, dan ningrat/bangsawan.

Bung Karno sebetulnya sudah menjawab ini dalam risalahnya berjudul “Mencapai Indonesia Merdeka”. Menurut Bung Karno, kekuasaan politik Indonesia merdeka haruslah di tangan rakyat (kaum marhaen dan kaum buruh), bukan di tangan borjuis maupun ningrat. “Urusan politik, urusan diplomasi, urusan onderwijs, urusan bekerja, urusan seni, urusan culture, urusan apa saja dan terutama sekali ekonomi haruslah dibawah kekuasaan Rakyat itu,” kata Bung Karno.

Untuk memastikan perjuangan bangsa Indonesia menyelenggarakan negara tetap berada dalam rel menuju masyarkat adil dan makmur, maka ditetapkanlaah oleh para pendiri bangsa kita, yakni Pancasila sebagai dasar negara dan konstitusi-UUD 1945 sebagai pedomannya.

Di sinilah letak persoalannya. Sejak kontra-revolusi Orde Baru hingga sekarang ini, kekuasaan politik tidak lagi berada di tangan rakyat. Di jaman orde baru, rakyat malah dijauhkan dari politik melalui proyek “politik massa mengambang.” Saat itu, kekuasaan politik negara murni di tangan segelintir elit, terutama Soeharto dan kroninya, yang dibentengi oleh tentara/ABRI dan Golkar.

Pasca reformasi 1998, pemegang kekuasaan politik tidak berubah: tetap di tangan segelintir elit. Yang berbeda hanya orientasi mereka: jika elit orde baru cenderung kepada kapitalisme kroni, maka elit pasca reformasi lebih condong sebagai kaki-tangan kapital asing.

Sejak itu, negara kehilangan fungsinya, baik secara eksternal maupun internal. Secara eksternal, negara gagal berfungsi sebagai penjaga kepentingan nasional. Sejak orde baru hingga sekarang, kekayaan alam dan aset-aset ekonomi strategis dijarah oleh kapital asing dan keuntungannya mengalir ke kantong-kantong mereka.

Sejak orde baru hingga sekarang, Pasal 33 UUD 1945 sudah dicampakkan. Padahal, pasal 33 UUD 1945 ini merupakan prinsip dasar sistem perekonomian kita, yang mengatur penyelenggaraan perekonomian dan pengelolaan SDA agar mensejahterakan dan memakmurkan rakyat.

Ironisnya, sistem yang selalu dicap oleh pendiri bangsa kita sebagai penyakit, yakni sistem kapitalisme, justru diadopsi oleh rezim orde baru hingga rezim saat ini. Akibatnya, cita-cita masyarakat adil dan makmur gagal kita wujudkan.

Untuk itu, untuk kembali ke rel menuju masyarakat adil dan makmur, bangsa Indonesia harus memastikan bahwa penyelenggaraan negara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Selain itu, gagasan kekuasaan politik di tangan rakyat, sebagaimana inti-sari dari sosio-demokrasi, harus dikonkretkan dengan mendorong partisipasi politik rakyat secara langsung dalam pengambilan kebijakan ekonomi dan politik.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid