Sudah 19 hari 200-an warga Suku Anak Dalam (SAD) 113 dan petani yang berkonflik dengan PT Asiatic Persada menginap di pendopo Kantor Gubernur Jambi.
Mereka sedang menunggu kepastian atas nasib mereka. Pasalnya, konflik agraria yang melilit kehidupan mereka sejak tahun 1987 belum kunjung selesai. Padahal, konflik tersebut telah merampas tumpuan kehidupan warga SAD 113, yaitu tanah ulayat seluas 3550 hektar.
Baru-baru ini, tepatnya 17 Maret 2016, warga SAD bersama ratusan petani Jambi dari Kunangan Jaya I dan II (Batanghari) dan Mekar Jaya (Sarolangun) menggelar aksi jalan kaki menuju Jakarta. Mereka ingin menuntut pemangku kebijakan di Jakarta bisa menyelesaikan konflik agraria yang melilit mereka.
Namun, setelah 20 hari berjalan kaki, petani Jambi ini mendapat respon dari pemerintah. Khusus untuk warga SAD, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala BPN-RI mengeluarkan Surat Instruksi Nomor 1373/020/III/2016.
Surat tersebut ditujukan kepada Kanwil BPN Jambi untuk segera mengambil langkah konkret penyelesaian konflik agraria antara SAD 113 dengan PT Asiatic Persada dengan mengacu pada Surat Keputusan Kepala BPN RI no 3946/16-I-300/X/2012. Surat tersebut juga memberi batas waktu pengembalian tanah ulayat SAD 113 hingga September 2016.
Surat Menteri ATR/Kepala BPN itu disambut oleh warga SAD dengan suka cita. Pasalnya, surat tersebut memberikan titik terang bagi penyelesaian konflik agraria yang dialami SAD 113.
“Surat itu memerintahkan BPN Jambi membuat detailing kerja untuk pengembalian tanah ulayat SAD 113 seluas 3550. Itu merupakan kemenangan awal bagi SAD,” kata koordinator aksi SAD, Joko Supriadinata, kepada berdikarionline,com.
Untuk mengawal surat Menteri ATR/Kepala BPN tersebut, sejak tanggal 7 Maret 2016, ratusan warga SAD pun datang ke Ibukota Provinsi Jambi. Mereka menginap di pendopo Kantor Gubenur Jambi.
Tak hanya menginap, mereka juga menggelar aksi di kantor BPN Jambi untuk memastikan Surat Menteri ATR itu dijalankan. Ironisnya, pada pertemuan 8 Maret 2016, Kanwil BPN Jambi justru mengabaikan surat Menteri ATR/Kepala BPN itu.
Puncaknya, pada pertemuan multi-pihak pada 14 Maret di kantor BPN Jambi, pihak PT Asiatic Persada terang-terangan menolak untuk menjalankan Surat Keputusan Menteri ATR/Kepala BPN RI tersebut. Anak perusahaan Wilmar Group itu bahkan menulis surat penolakan resmi melalui Kanwil BPN Jambi.
“Ini bukti bahwa perusahaan asing telah membangkang pada Surat Pemerintah Pusat. Kalau ini dibiarkan, negara bisa menjadi rapuh,” ujar Hambali, salah seorang warga SAD 113.
Menurut Hambali, pemerintah pusat harus mengambil tindakan tegas atas pembangkangan ini. Sebab, jika dibiarkan begitu saja, bisa menjadi preseden buruk di masa mendatang.
Selain itu, warga SAD juga menyesalkan pernyataan Gubernur Jambi Zumi Zola yang meminta SAD menyelesaikan konflik agrarianya melalui jalur hukum.
“Ini sama saja dengan pemerintah melepas tanggung jawabnya terhadap rakyatnya,” ujar Joko Supriadinata selaku koordinator aksi SAD menanggapi komentar Zumi Zola tersebut.
Menurut Joko, Gubernur Zumi Zola seharusnya menghadirkan negara dalam menyelesaikan konflik agraria SAD. Apalagi, penyelesaian konflik agraria menjadi salah satu janji kampanyenya.
“Pak Zumi Zola seharusnya mendahulukan kepentingan rakyatnya ketimbang kepentingan pemilik modal,” tegasnya.
Warga SAD 113 pun mendesak Gubernur Zumi Zola segera menyatakan keadaan darurat agraria dan membentuk Panitia Penyelesaian Konflik Agraria di Jambi.
Mereka juga mendesak Gubernur yang baru dilantik 12 Februari 2016 itu untuk berani membuat surat rekomendasi pencabutan HGU PT Asiatic Persada.
Hingga sore (25/4), warga SAD masih bertahan di pendopo Kantor Gubernur Jambi. Kondisi mereka memprihatinkan: bahan makanan terbatas dan oba-obatan sangat terbatas. Kendati begitu, mereka mengaku akan terus bertahan di pendopo Kantor Gubernur Jambi hingga tuntutan mereka terpenuhi.
Muhammad Idris