Menyimpulkan dan Menyikapi Persoalan

Kritik terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono kembali disampaikan oleh salah satu oposannya, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri, baru-baru ini di Klaten, Jawa Tengah. Satu di antara banyak kritik yang relevan adalah menyangkut kebiasaan pemerintah memunculkan, dan atau, merespon berbagai isu tanpa fokus memperhatikan kebutuhan rakyat. Situasi yang disampaikan “Ibunya Kaum Banteng” ini menarik, pertama tentang “terlalu banyak isu yang direspon pemerintah” dan kedua tentang “fokus bekerja untuk rakyat”.

Selama pemerintahan SBY berkuasa, gejala kritis ini memang sangat terasa. Rakyat terus ditindas – dan isu-isu terus bermunculan. Tiada hari sepi dari masalah, baik di bidang politik, hukum, ekonomi dan kemiskinan—dengan dampak-dampak lanjutannya di berbagai bidang, seperti budaya, sampai bencana alam. Dalam hiruk-pikuk situasi nasional ini, rakyat seakan kembali ditundukkan untuk maklum atas sekadar “rasa prihatin” yang berulangkali disampaikan penguasa ketika menghadapi masalah. Bila pun terhadap masalah tertentu ada solusi yang disampaikan, tidak pernah selesai dikerjakan. Bahkan terkesan sengaja digantung, sampai muncul isu lain yang harus menyita ruang dan waktu sosial masyarakat.

Kritik ini oleh sebagian kalangan dianggap ‘subyektif’, atau sudah dianggap bagian dari “taktik” politik SBY sekarang. Sementara neoliberalisme, dengan kebebasan menindas, kebebasan berkompetisi, kebebasan-kebebasan lainnya, hingga “kebebasan informasi”, memang menyediakan landasan bagi terjadi dan terangkatnya kontradiksi-kontradiksi sosial ke permukaan. Saat semakin banyak rakyat ditekan oleh tuntutan hidup maka semakin kuat juga persaingan untuk dapat survive dengan segala cara. Hukum kompetisi yang seharusnya berlaku sebagai syarat tumbuh dan berkembangnya kapital, sedang coba diterapkan terhadap manusia-manusia pemilik tenaga kerja.

Dapat dikatakan bahwa nyaris seluruh persoalan nasional maupun internasional saat ini mempunyai kaitan sistemik, langsung atau tidak langsung, dengan imperialisme atau neoliberalisme. Naiknya harga cabe, harga BBM, ledakan kompor gas, meningkatnya kriminalitas, memudarnya toleransi beragama, konflik horisontal, korupsi, susu terkontaminasi, susahnya akses pendidikan dan kesehatan rakyat miskin, infrastruktur yang tak beres, pajak yang meninggi, kurangnya perumahan, hancurnya produksi pertanian, hancurnya industri dalam negeri, upah rendah dan daya beli yang menurun, ‘penyederhanaan’ partai politik, politik massa rakyat dan perjuangan untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan lain-lain. Semua isu datang dan menuntut jawaban, dan memang, setiap pemerintahan harus punya jawaban untuk setiap masalah sosial.

Dengan formasi ahli-ahli di berbagai bidang, pemerintahan SBY-Boedio tampaknya sudah punya kesimpulan dalam sebuah gugus pemikiran sendiri. Pemikiran tersebut merupakan hasil perpaduan antara paksaan neoliberalisme oleh tuannya dari luar, dengan paradigma anti-perbedaan pendapat dan anti-kritik yang diwariskan orde baru. Meski konsepnya terbukti gagal dan dikritik habis-habisan, sampai hari ini pemerintahan SBY masih ngotot menyandarkan diri pada investasi asing sebagai sumber “pertumbuhan ekonomi yang akan membawa kesejahteraan bagi rakyat”.

Berangkat dari kritik terhadap pemerintahan SBY, termasuk beberapa kritik Ketua Umum PDI Perjuangan lainnya kemarin, kita harapkan lahirnya sebuah gugus pemikiran alternatif dalam kerangka perlawanan terhadap imperialisme. Di sini gagasan Tri Sakti dan Sosialisme Indonesia yang pernah disampaikan para pendahulu Republik dapat kembali dijadikan salah satu rujukan terpenting. Namun tentu disadari, gugus pemikiran alternatif ini tidak akan berkembang tanpa praktek alternatif, yakni merebut kembali ruang-ruang dan kekayaan sosial yang dikuasai oleh imperialisme sebagai basis bagi pengorganisasian masyarakat baru. Untuk itu, dalam cakupan nasional, pada tempatnya bila kita mengusulkan Ibu Megawati untuk turut mendorong terciptanya persatuan nasional yang seluas-luasnya melawan imperialisme. Hanya pemerintahan dari persatuan nasional demikianlah yang dapat mengatasi persoalan pokok bangsa Indonesia kini, dan persoalan-persoalan lain.

Leave a Response