Mengapa Taliban Bisa Menguasai Afghanistan?

Dalam tempo yang singkat, hanya sekitar 10 hari, Taliban berhasil merebut satu per satu Provinsi di Afghanistan. Dan puncaknya, pada 15 Agustus 2021, mereka berhasil merebut Ibu kota Afghanistan: Kabul.

Kembalinya Taliban mencengangkan dunia. Ada banyak mulut yang serempak bertanya: kok bisa?

Di atas kertas, Taliban hanya diperkuat sekitar 60-80 ribu pejuang. Itu pun, pejuang-pejuang mereka tak didukung persenjataan yang modern. Namun, mereka sangat militan dan ditopang oleh keyakinan ideologis yang sangat kuat.

Sebaliknya, pemerintah Afghanistan punya 300.699 orang tentara. Mereka diperkuat oleh persenjataan yang lengkap dan canggih. Sudah begitu, mereka dilatih langsung oleh militer AS dan NATO.

Sejak 2002 hingga Maret 2021, demi mendandani militer Afghanistan, AS telah menggelontorkan duit sebesar 88,3 milyar USD atau setara dengan setara Rp 1.260 triliun (Rp 1,26 kuadriliun).

Kenyataannya, jumlah kekuatan yang besar itu, dengan sokongan dana ribuan triliun, hanyalah sebuah “rumah kartu”.

Digerogoti Korupsi

Dari sekian banyak penjelasan tentang betapa rapuhnya Afghanistan, yang paling dominan adalah isu korupsi.

Penjelasan ini ada benarnya. Di tahun 2020, bila merujuk laporan Transparency International (TI), indeks persepsi korupsi Afghanistan menempati peringkat 165 dari 180 negara. Bahkan, di tahun 2012, Afghanistan sempat menghuni peringkat paling bawah di dunia.

Beberapa hari lalu, kita mendapat kabar tentang Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani, yang melarikan diri dari istananya dengan menggunakan helikopter berisi tumpukan uang.

Ada juga video yang memperlihatkan rumah seorang jenderal Afganistan yang diambil alih oleh pasukan Taliban. Rumah super-mewah itu berisi perabot yang terbuat dari emas.

Hamid Karzai, Presiden Afghanistan kesayangan AS yang berkuasa dari 2001 hingga 2014, memimpin negeri itu dalam balutan politik patron-klien dan korupsi. Beribu-ribu triliun anggaran asing untuk membangun Afghanistan justru jatuh ke tangan Karzai dan keluarganya lewat proyek-proyek yang dikuasai keluarga Karzai.

Tahun 2010, Afghanistan digemparkan oleh skandal korupsi di bank terbesar negeri itu: Kabul Bank. Sekitar 900 juta hingga 1 milyar USD  uang mengalir secara ilegal ke tangan segelintir orang, termasuk saudara laki-laki Karzai.

Korupsi yang menggurita ini membawa efek korosif yang menggerogoti sistem politik dan ekonomi Afghanistan. Korupsi membuat alokasi sumber daya menjadi timpang dan menumpuk di tangan segelintir elit.

Di satu sisi, elitnya hidup bergelimang kemewahan. Di sisi lain, rakyatnya hidup dengan layanan publik dan infrastruktur yang sangat buruk. Untuk diketahui, lebih dari separuh rakyat Afghanistan (57 persen) menderita buta huruf.

Dalam konteks hari ini, korupsi berkontribusi besar menggerogoti militer Afghanistan. Ketika AS menggelontorkan jutaan dollar untuk membentuk pasukan militer Afghanistan, sejumlah komandan korup memanfaatkannya. Mereka menyebut mereka punya ribuan pasukan yang butuh dipersenjatai, diberi makan, dan digaji. Belakangan, setelah di investigasi, kebanyakan klaim itu fiktif. Praktek busuk inilah yang dijuluki “tentara hantu” alias “ghost soldiers”[1].

Ada banyak laporan tentang tentara Afghanistan di garis depan yang kekurangan peluru, makanan, dan bahan bakar. Bahkan tak sedikit tentara-tentara itu yang belum dibayar gajinya.

Seperti ditulis oleh Thomas Gibbons-Neff, Fahim Abed dan Sharif Hassan di New York Times, 13 Agustus 2021: “pos-pos kecil di daerah pedesaan, yang dijaga oleh polisi dan tentara yang kekurangan peluru dan makanan, terkepung oleh pejuang Taliban yang menjanjikan “keselamatan” asalkan mereka mau meninggalkan pos dan persenjataan mereka[2].”

Jumlah tentara Afghanistan yang desersi alias meninggalkan tugasnya cukup tinggi: sekitar 5000 orang per bulan[3].

Korupsi juga menciptakan kesenjangan sosial yang sangat lebar antara petinggi (komandan dan jenderal-jenderal) dan prajurit rendahan.

Kenyataan-kenyataan di atas menjatuhkan moral juang tentara Afghanistan. Mereka tidak memiliki alasan ideologis yang kuat untuk membela sampai mati pemerintahan kotor penuh korupsi.

Pendudukan AS dan NATO

Sepanjang sejarahnya, Afghanistan selalu menjadi sasaran penaklukan dan intervensi. Mulai dari serangan Alexander yang agung, Arab-Muslim, Mongol, Inggris, hingga Uni Soviet.

Setelah Soviet terusir, Afghanistan terjerembab dalam perang antar faksi mujahidin. Perjanjian Peshawar 1992 tak berhasil membuat semua faksi yang dulu melawan Soviet bisa bersatu membangun Afghanistan.

Berbagai intervensi asing itu hanya menjadikan Afganistan sebagai palagan perang. Kekacauan dan ketakutan menyelimuti negeri ini sepanjang sejarahnya. Hal itu juga yang membuat negeri ini tidak berhasil menuntaskan “nation building”-nya.

Lalu, pada 2001, sebagai respon terhadap “serangan 11 September 2001, AS menuding Taliban menjadikan Afghanistan sebagai tempat persembunyian Osama Bin Laden dan Al-Qaeda-nya.

Akhirnya, pada Oktober 2021, koalisi AS-NATO menggempur Afghanistan dengan dalih melenyapkan Taliban dan ancaman terorisme. Belakangan, ada dalih tambahan: menjadikan Afganistan sebagai negara demokratis.

Namun, seperti pernah dikatakan oleh Sukarno, tidak ada bangsa bisa lebih baik mengurus bangsa lain. Hanya bangsa itu sendiri yang tahu dirinya dan apa keinginannya. Karena itu, setiap bangsa berhak menentukan nasibnya sendiri.

Kehadiran AS dan sekutunya di Afghanistan dengan proyek demokrasinya hanya menambah runyam proyek nation-building bangsa yang dihuni oleh banyak suku-bangsa itu.

Malahan, selama 20 tahun tentara Afghanistan-NATO mondar-mandir di seantero negeri itu, sembari memuntahkan peluru, menyerbu kampung-kampung, menjatuhkan bom, hingga menyerang menggunakan drone, telah meninggalkan memori buruk bagi rakyat Afghanistan.

Data PBB menyebutkan, perang yang digerakkan oleh AS dan NATO itu telah membunuh lebih dari 100.000 orang dalam 10 tahun terakhir. Sebagian besar perempuan dan anak-anak.

Memori itu tak hanya terbenam dalam memori rakyat Afganistan, tetapi juga dunia. Serangan drone yang membunuh dua anak tak berdosa di provinsi Helmand. Atau serangan drone yang membunuh 29 petani tak berdosa pada 2019 lalu. Atau serangan drone terhadap sebuah rumah sakit dan membunuh 42 orang tak berdosa di dalamnya.

Faktor Taliban

Perlu digarisbawahi, Taliban bukanlah sekelompok pemberontak yang tiba-tiba muncul sesaat setelah AS mengumumkan akan menarik seluruh pasukannya dari Afghanistan.

Pejuang-pejuang Taliban adalah orang Afghanistan. Mereka punya akar dan dukungan yang kuat di banyak rakyat Afghanistan. Mereka sangat berbeda dengan kelompok jihadis lain, seperti ISIS di Suriah, yang kebanyakan beranggotakan orang asing.

Sejarah kemunculan Taliban tak bisa dilepaskan dengan faktor ekonomi dan politik yang melilit Afghanistan sejak invasi Soviet.

Setelah Soviet angkat kaki, Afghanistan kembali terjerembab dalam perang antar faksi atau kelompok pejuang Mujahidin. Kekacauan menjalar ke seantero negeri: perkosaan, penjarahan, pembunuhan, pemerasan, dan lain-lain.

Di tengah kekacauan dan korupsi yang merajalela, pada 1994, 50 orang santri yang dipimpin oleh Mullah Muhammad Omar mendirikan kelompok baru: Taliban. Dalam bahasa Pashtun, Taliban berarti murid atau santri.

Bermula dari kelompok kecil di Provinsi Kandahar, mereka berjanji untuk membersihkan Afghanistan dari para raja perang, pengacau, dan koruptor.

Tahun itu juga, dengan sokongan Pakistan, Taliban berkembang menguasai kota Kandahar. Menariknya, setelah di tangan Taliban, Kandahar menjadi lebih aman, korupsi diberantas, dan pelanggar hukum dihukum, dan jalanan menjadi aman. Ekonomi dan kehidupan rakyatnya berdenyut kembali.

Sejak itu, dalam waktu yang singkat, dukungan dan simpati terhadap Taliban mengalir deras. Hingga, pada 1996, mereka berhasil menyingkirkan semua kelompok yang bertikai dan menjadi penguasa Afghanistan.

Namun, di bawah Taliban, nasib Afghanistan memang tidak menjadi lebih baik. Rakyat Afghanistan masih hidup di tengah pusaran konflik. Taliban juga dituduh melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Afghanistan yang dianggap lawan politiknya.

Selain itu, penerapan aturan-aturan yang merujuk pada hukum syariah yang ketat, yang banyak memberangus hak dan kebebasan manusia, terutama hak-hak perempuan, juga merupakan persoalan besar. Juga tindakan brutalnya terhadap kelompok minoritas, terutama etnis Hazara.

Namun, menjungkalkan Taliban dengan menggunakan tangan AS dan NATO, tentu bukan jawaban yang tepat.

Buktinya, setelah 20 tahun di bawah rezim pseudo-demokratis yang dikendalikan oleh AS dan NATO, nasib sebagian besar rakyat Pakistan tetap tak membaik. Dengan garis kemiskinan 2 USD per hari, sebanyak 90 persen rakyat Afganistan dikategorikan miskin[4].

Ketimpangan membelah Afghanistan bukan hanya berdasarkan garis kaya dan miskin, tetapi juga kota versus wilayah pedalaman. 4 dari 5 orang miskin Afghanistan tinggal di pedalaman. Sebagian besar orang buta huruf Afghanistan bermukim di pedalaman.

Sementara kota-kota sudah terhubung dengan internet, orang-orang di pedalaman masih susah menemukan sekolah, klinik kesehatan, listrik, air bersih, dan hak-hak dasar lainnya.

Di tengah kekecewaan itu, dukungan terhadap Taliban sangat kuat. Terutama di daerah pedesaan, yang menjadi tempat tinggal bagi lebih dari 70 persen rakyat Afghanistan.[5]

Jadi, kembalinya Taliban ke tampuk kekuasaan bukan semata-mata karena mereka pejuang yang ideologis dan militan, tetapi juga karena ada basis sosial yang cukup besar di belakangnya.

Selain itu, ada kondisi ekonomi-politik yang memungkinkan mereka dianggap harapan oleh sebagian orang Afghanistan yang sudah jenuh dengan korupsi, kekacauan, kemiskinan, dan ketimpangan.

Meskipun Taliban belum tentu bisa menyelesaikan beragam persoalan-persoalan itu, mengingat tidak adanya komitmen mereka terhadap hak azasi manusia, kesetaraan gender, dan demokrasi.

Sebab, tanpa demokrasi dan penghargaan terhadap hak azasi manusia, tak mungkin ada kesejahteraan dan keadilan sosial.

RAYMOND SAMUEL


[1] https://www.esquire.com/news-politics/politics/a37331487/afghanistan-military-ghost-soldiers-corruption/

[2] https://www.nytimes.com/2021/08/13/world/asia/afghanistan-rapid-military-collapse.html

[3] https://www.aljazeera.com/opinions/2021/8/17/why-did-the-afghan-army-disintegrate-so-quickly

[4] https://tolonews.com/business/ministry-confirms-90-afghans-live-below-poverty-line

[5] https://foreignpolicy.com/2020/09/24/taliban-kabul-rural-afghans-join-peace-deal/

Leave a Response