Memperkokoh Semangat Kebangsaan Melalui Bahasa

Bahasa merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan suatu bangsa. Sebagai instrumen interaksi antar manusia, bahasa memegang peranan peting dalam proses persatuan sebuah bangsa melalui komunikasi intensif diantara warganya. Sehingga salah satu ciri yang harus ada dalam sebuah bangsa ialah adanya bahasa yang dipakai bersama (common language).

Dalam sejarahnya,bangsa Indonesia telah melewati dinamika yang begitu panjang dalam proses pembentukan suatu common language. Secara historis diakui bahwa pada momentum Sumpah Pemuda 20 Oktober 1928 telah ditetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Konsekuensinya ialah bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan dari bangsa Indonesia,bukannya bahasa Jawa atau bahasa suku bangsa lain di nusantara yang berjumlah sekitar tiga ratus suku bangsa menurut perkiran Clifford Geertz, seorang Antropolog Amerika.

Bahasa Indonesia yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional ketika Indonesia merdeka berakar dari bahasa Melayu. Melalui proses difusi budaya yang agak lama,bahasa Melayu diterima sebagai bahasa ‘penghubung’ berbagai suku bangsa yang ada di nusantara. Dalam ilmu filologi, bahasa Melayu tergolong dalam rumpun bahasa Austronesia. Awalnya bahasa ini digunakan oleh penduduk Riau (Sumatera) yang mayoritas bermata pencaharian sebagai nelayan dan pedagang.

Dalam aktivitasnya sehari-hari, penduduk Riau tidak hanya menggunakan bahasa ini diantara sesama mereka, tetapi juga dengan rekan-rekan dagangnya dari berbagai bangsa. Hal ini membuat bahasa Melayu yang menjadi dikenal tidak hanya oleh penduduk Riau dan sekitarnya, namun juga oleh para pedagang dari semenanjung Malaya, Tumasik (Singapura), Jawa hingga India (Vlekke, 2008). Sekitar abad XV, bahasa Melayu telah menjadi alat komunikasi para pedagang (lingua franca) di pusat-pusat perniagaan Asia Tenggara dan Asia Timur (Ricklefs, 1991). Fakta sejarah ini menunjukkan bahwa bahasa Melayu yang merupakan cikal-bakal bahasa Indonesia awalnya digunakan sebagai bahasa dagang.

Pada era Pergerakan Nasional, bahasa Melayu kian membumi. Penggunaan bahasa Melayu semakin intensif terutama melalui dunia pers dan sastra. Karya-karya sastra para sastrawan dan budayawan tanah air. Karya-karya sastra tersebut juga berfungsi sebagai propaganda perjuangan politik kaum nasionalis dalam upayanya melawan kolonialisme.

Para pemimpin pergerakan nasional pun menyadari kebutuhan akan adanya bahasa peersatuan yang dapat dijadikan sebagai alat pemersatu seluruh rakyat dalam melawan kolonialisme Belanda. Maka, bahasa Melayu lah yang dipilih sebagai bahasa persatuan. Salah satu faktor dipilihnya bahasa Melayu sebagai common language adalah guna menghindari adanya kesan dominasi suku Jawa yang merupakan suku mayoritas di Indonesia. Bahasa Melayu inilah yang kemudian bertransformasi menjadi bahasa Indonesia. Eksistensi bahasa Indonesia semakin diperteguh oleh ikrar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang menegaskan bahasa Indonesia dijunjung tinggi sebagai bahasa persatuan.

Pasca kemerdekaan,pembentukan persepsi bersama mengenai bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional masih terus berlanjut. Hal ini disebabkan masih tetap eksisnya bahasa dari berbagai suku bangsa yang digunakan dikalangan masyarakat sebagai bahasa ibu (mother language). Kondisi ini tentu merupakan konsekuensi logis dari masyarakat multikultur seperti Indonesia.

Meskipun begitu,sosialisasi tentang pentingnya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional tetap dirasa perlu untuk dilakukan. Sebab seperti yang telah disinggung sebelumnya,bahasa yang digunakan bersama oleh seluruh warga bangsa ialah ciri khas yang harus ada pada sebuah bangsa. Proses ini memang tidak mudah, apalagi di era globalisasi yang mengusung paradigma modernitas seperti sekarang ini  cenderung memarjinalkan peran dan fungsi bahasa Indonesia.

Contoh konkret marjinalisasi bahasa Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat kini ialah munculnya peraturan di beberapa sekolah negeri yang menyandang status Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) tentang penggunaan bahasa Inggris pada hari dan jam pelajaran tertentu. Kenyataan ini mencerminkan goyahnya rasa kebangsaan yang ironisnya justru terjadi di institusi pendidikan milik negara.

Hal lainnya yang merefleksikan rendahnya kesadaran akan arti pentingnya pendidikan bahasa bagi anak-anak bangsa ialah minimnya pendidikan sastra di sekolah-sekolah negeri. Perlu diketahui bahwa Indonesia adalah satu-satunya negeri di dunia yang sekolah-sekolahnya tidak mewajibkan siswanya untuk membaca sekian banyak novel,syair atau puisi karya sastrawan Indonesia. Maka tidak heran bila generasi muda,khusunya para remaja, banyak yang tidak mengenal nama-nama seperti Pramoedya Ananta Toer dan Sitor Situmorang.

Tidak terselesaikannya proses pembudayan bahasa Indonesia sebagi bahasa bersama seluruh warga bangsa merupakan cerminan belum selesainya pembentukan sebuah bangsa yang bernama Indonesia. Hal tersebut menjadi tanggung jawab bersama seluruh pihak, terutama pemerintah. Salah satu implementasi dari internalisasi nilai-nilai kebangsaan melalui bahasa dapat diawali dengan memperbanyak materi pengenalan sastra Indonesia di sekolah-sekolah. Hal ini penting dilakukan demi memperkokoh rasa kebangsaan melalui pendidikan bahasa dan sastra Indonesia secara intensif,serta melanjutkan proses pembangunan karakter bangsa (nation & character building) seperti yang dicita-citakan oleh bapak bangsa kita, Bung Karno.

HISKI DARMAYANAPenulis kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)  Cabang Sumedang dan alumni Antropologi Universitas Padjajaran.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid