Melempar Batu Adalah Bagian Perjuangan Rakyat Palestina

Kekerasan yang berulang dilakukan tentara Israel terekam oleh sebuah video baru-baru ini di desa Nabi Saleh, Tepi Barat, Palestina. Diperlihatkan seorang anak laki-laki berusia 12 tahun, Muhammad Tamimi, ditangkap dengan kekerasan.

Gambar yang beredar luas ini memperlihatkan ketidakimbangan yang mencolok antara Israel dan Palestina. Diperlihatkan seorang tentara Israel bersenjata lengkap menyiksa seorang anak yang ketakutan dan tidak bersenjata.

Bisa ditebak, Israel dan pendukungnya mencoba menyalahkan keluarga Tamimi dan tetangganya yang berusaha mempertahankannya. Miri Regev, Menteri Kebudayaan Israel yang terang-terangan rasialis, bahkan berpendapat bahwa perempuan yang datang menolong anak laki-laki itu perlu ditembak.

Difitnah

Ayah dari Muhammad, Bassem Tamimi, baru-baru ini berbicara saat kunjungannya ke Amerika Serikat. Dia difitnah oleh banyak media pro-Israel karena ia memainkan peran penting dalam protes reguler di Nabi Saleh melawan pendudukan Israel.

The Washington Free Beacon, sebuah situs berhaluan kanan, telah menuding Bassem menggunakan anaknya sendiri untuk mengejek tentara Israel sehingga perilaku tentara itu terekam oleh kamera.

Ini hanya satu dari sekian banyak media pro-Israel yang berpendapat bahwa aksi melempar batu, yang kerap dipergunakan sebagai senjata perlawanan dalam demonstrasi politis di Nabi Saleh, telah memprovokasi respon keras dari pihak israel.

Klaim seperti itu senada dengan retorika yang digemakan oleh pemerintah israel. Perdana Menteri Benyamin Netanyahu telah mendeklarasi perang melawan pemuda Palestina yang melemparkan batu.

Dalam beberapa minggu terakhir, pemerintah israel telah menyetujui hukuman yang lebih berat bagi pelempar batu. Ini juga diperluas dengan aturan yang membolehkan tentara menembak demonstran yang melakukan pelemparan batu.

Hingga saat ini, tentara diperbolehkan melepas tembakan hanya jika mereka dalam bahaya. Namun, karena aturan baru ini, mereka diperbolehkan menembak demonstran jika dianggap mengancam.

Dapat diperkirakan, aturan itu akan menyebabkan lebih banyak lagi pemuda Palestina yang terbunuh.

Dalam sebuah wawancara dengan Electronic Intifada, Bassem Tamimi menegaskan bahwa melemparkan batu adalah taktik yang sudah lama dipergunakan oleh Palestina di bawah pendudukan Israel. Banyak orang Palestina menganggap melempar batu terhadap tentara Israel sebagai bentuk perlawanan tanpa senjata.

“Ya, kami menggunakan batu untuk melindungi tanah kami dan anak kami,” kata Bassem. “Ini adalah bagian dari cara kami berjuang.”

Berbeda dengan kesan yang dimunculkan oleh media pro-Israel, bukan pemuda Nabi Saleh yang memprovokasi kekerasan. Sebaliknya, sumber utama kekerasan itu adalah pendudukan Israel terhadap tanah Palestina.

Pada hari anaknya ditangkap di bulan September lalu, tentara israel menembakkan peluru karet dan gas air mata ke mana-mana. Kata Bassem, senjata Israel telah menyebabkan banyak orang Palestina mengalami luka atau tewas.

Bassem Tamimi adalah anggota Fatah, partai dominan di daerah yang dikuasai oleh otoritas Palestina.

Bassem pernah ditangkap tentara israel pada 2011. Daalam sidang di pengadilan militer, ia dihukum karena mengorganisir protes, yang di mata Israel, “illegal dan mendorong kaum muda Palestina melempar batu.”

Dipukuli Hingga Koma

Di tahun 1993, Bassem ditangkap karena dicurigai membunuh seorang pemukim Israel.

Saat interogasi, ia dipukuli berulangkali oleh petugas penjara Israel hingga koma, yang berlangsung sekitar satu minggu.

Bassem yakin bahwa israel menggunakan keterlibatannya di Fatah dan hubungannya dengan sepupunya, Rushdi Muhammad Said Tamimi, sebagai alasan penangkapan. Sepupunya kemudian divonis bersalah karena membunuh Haim Mizrahi, seorang Israel yang tinggal di Beit El, satu-satunya pemukiman Yahudi di Tepi Barat.

(Laki-laki lain bernama Rushdi Tamimi dibunuh oleh israel saat protes di Nabi Saleh di tahun 2012)

Bassem sendiri kemudian dibebaskan.

Adiknya, Bassema, tewas setelah mengunjungi dirinya semasa penahanan di Ramalah. Dia dilaporkan didorong paksa di tangga oleh seorang penerjemah yang bekerja untuk militer Israel yang menyebabkan patah leher.

Bassem telah berefleksi panjang tentang bagaimana menghadapi Israel.

“Aku mulai mengubah pandanganku dari perjuangan kekerasan menjadi perjuangan non-kekerasan di sekitar usia 11-12 tahun,” ujar Bassem.

“Hukum internasional memberi kami hak untuk melawan dengan berbagai cara, tapi cara ini harus punya tujuan,” tambahnya.

Bassem mendorong orang-orang Palestina untuk mempelajari metode protes yang digunakan oleh  Martin Luther King, Jr selama era perjuangan hak sipil di AS. Juga mobilisasi internasional melawan apartheid di Afrika Selatan.

Dia bilang, pengorganisasian akar rumput harus menjadi fokus dari perjuangan Palestina ketimbang dialog dengan Israel. Proses damai yang didorong oleg elit Palestina sejak 1990an terbukti tidak membawa banyak manfaat bagi Palestina.

Dalam beberapa dekade pasca perjanjian Oslo, Israel malah melangkah maju dengan mengkolonialisasi Tepi Barat, menempatkan Gaza dan kepungan dan serangan bom, dan diperparah dengan kebijakan diskriminasi terhadap Palestina.

“Dua puluh tahun negosiasi tidak menghasilkan apapun, justru membawa banyak kerugian bagi Palestina,” imbuhnya.

Meskipun Presiden Barack Obama menaikkan bantuan militernya bagi Israel, Bassem yakin rakyat Amerika makin simpatik terhadap penderitaan Palestina. Sebagai misal, Palestina menjadi fokus utama aktivitasme di berbagai kampus di AS.

“Amerika adalah penjaga Israel,” kata Bassem. “Dan israel adalah penjaga kepentinga AS di kawasan Timur Tengah. Tapi kami harus membedakan antara negara dan penduduk jika ingin memenangkan perjuangan ini.”

Jesse Rubin, Jurnalis Freelance di New York

Diterjemahkan dari Electronic Intifada

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid