Melawan Pandemi Dengan Pendekatan Perang

Lewat tulisannya di Guardian, 5 Maret 2021, Direktur Jenderal WHO, Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengajak dunia menyikapi pandemi covid-19 dalam “pijakan perang”.

Setahun sebelumnya, tepatnya pada 26 Maret 2020, Presiden Joko Widodo sudah menyerukan pendekatan perang untuk menghadapi pandemi covid-19.

Penggunaan diksi “perang” tidaklah berlebihan. Sekarang ini, kita memang seperti dalam suasana perang: kita berhadap-hadapan dengan musuh yang mengancam keselamatan jiwa kita.

Merujuk worldometers, makhluk renik bernama covid-19 sudah menjangkiti 189,7 juta orang dan membunuh lebih dari 4 juta jiwa. Di Indonesia, virus ini sudah menjangkiti 2,7 juta orang dan membunuh 70,2 ribu jiwa.

Nah, ketika perlawanan terhadap pandemi disamakan dengan perang, maka strategi penanganannya pun harusnya menggunakan pendekatan perang.

Pertama, perang melawan pandemi membutuhkan kepemimpinan. Kemimpinan itu bisa mewujud dalam bentuk struktur komando, dengan Presiden berada di pucuk tertingginya.

Agar birokrasi negara bisa bergerak cepat merespon situasi darurat. Agar gerak birokrasi bisa seiring-sejalan dan saling mendukung. Agar kerja-kerja birokrasi lebih terpimpin, terarah, dan terukur.

Di sini, kepemimpinan Presiden punya dua aspek. Secara organisasional, dia menjadi pucuk tertinggi dari sebuah struktur kerja yang bertugas menangani pandemi. Secara politik, dia memimpin bangsa ini secara moral agar tetap bersatu melawan pandemi.

Ini yang tidak terjadi sejak negara kita mulai diterjang badai pandemi pada Maret 2020 lalu. Alih-alih tampil memimpin, Jokowi justru menyerahkan penanganan covid-19 ini pada kepanitian (ad-hoc)/task force: Gugus Tugas.

Yang terjadi, birokrasi bergerak lamban. Koordinasinya pun kacau-balau. Komunikasinya juga sangat berantakan. Sering terjadi, pernyataan antar pejabat berbeda-beda dan saling ralat.

Belakangan, pada 20 Juli 2020, melalui Perpres nomor 82 Tahun 2020, Presiden membentuk Kepanitian baru lagi, namanya: Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional.

Kepanitiaan baru ini dipimpin oleh Menko Perekonomian, Airlangga Hartanto. Sedangkan Menkes, selaku penanggung jawab utama urusan kesehatan di Negeri ini, hanya duduk sebagai Wakil Ketua.

Jangan heran, logika penanganan pandemi di Indonesia tunduk pada tuntutan ekonomi. Pemerintah lebih mengejar pemulihan ekonomi, tanpa terlebih dahulu mengendalikan atau meratakan kurva pandeminya.

Misalnya, pada bulan Juni 2020, kendati kurva pandemi belum melandai, tetapi kita sudah diajak memasuki new-normal. Pusat perbelanjaan, cafe/restoran, dan tempat wisata mulai dibuka. Mobilitas penduduk antar wilayah juga dilonggarkan.

Kedua, mobilisasi seluruh sumber daya nasional, dari anggaran, sumber daya manusia, sumber daya alam, industri (BUMN/Swasta), dan lain-lain, untuk kebutuhan perang semesta melawan pandemi.

Di masa perang, kapasitas pabrik didayagunakan untuk kebutuhan perang. Kapal-kapal swasta, bahkan punya nelawan, digunakan untuk mengangkut tentara dan peralatan perang (seperti di Dunkirk).

Dalam konteks pandemi, harusnya pabrik-pabrik didayagunakan untuk membutuhkan kebutuhan esensial semasa pandemi, seperti masker, hand-sanitizer, APD, ventilator, dan lain-lain.

Harusnya gedung-gedung atau perkantoran bisa dialihfungsikan sementara sebagai rumah sakit sementara atau tempat isolasi pasien.

Anggaran (APBN) seharusnya juga dimobilisasi untuk penanganan pandemi, terutama untuk memperkuat sistem kesehatan dan menjamin hak-hak dasar rakyat selama pandemi.

Belajar dari pengalaman Tiongkok, pemimpinnya berhasil membilisasi tenaga kesehatan, tentara, hingga rakyat biasa untuk terlibat dalam “perang rakyat” melawan pandemi covid-19 di Wuhan.

Faktanya, itu tidak terjadi. Di APBN 2021, anggaran infrastruktur sangat fantastis: Rp 417 triliun. Bandingkan dengan anggaran kesehatan yang hanya Rp 254 triliun.

Lihat juga anggaran untuk membayar cicilan pokok dan bunga sebesar Rp455,6 triliun. Kemudian anggaran pembangunan Ibukota baru sebesar Rp 1,7 triliun.

Bahkan, yang paling menyesakkan, bisa-bisanya pemerintah menyelenggarakan Pilkada tahun 2020 dengan menghabiskan anggaran Rp 20,4 triliun. Anggaran sebesar ini seharusnya bisa menghasilkan berjuta dosis vaksin.

Ketiga, menguatnya “sense of crisis” di kalangan pejabat penyelenggara Negara. Ada kepekaan dan empati terhadap situasi darurat.

Pada kenyataannya, ketika pandemi masih ganas-ganasnya, pemerintah dan DPR justru berkolaborasi meloloskan sejumlah UU bermasalah, seperti revisi UU minerba dan UU Cipta Kerja. Dua kebijakan ini memancing kemarahan publik dan demonstrasi di mana-mana.

Pada saat kurva pandemi sedang menaik, Presiden justru menyetujui penyelenggaraan Pilkada di 270 daerah di seluruh Indonesia. Selain memboroskan anggaran, penyelenggaraan Pilkada di tengah Pandemi bisa memperluas penyebaran virus.

Lebih parah lagi, ketika rumah sakit nyaris kolaps, tenaga kesehatan mulai kelelahan, dan banyak warga yang kehilangan pekerjaan dan sumber penghidupan, tak satu pun pejabat Negara yang mengumumkan pemotongan gaji.

Padahal, pemotongan gaji pejabat itu bisa dipakai untuk menalangi biayai hidup atau kebutuhan paling dasar warga negara yang paling rentan selama pandemi, seperti korban PHK, pelaku usaha kecil, tunawisma, dan kelompok rentan lainnya.

Boleh disimpulkan, meskipun situasi pandemi benar-benar sudah darurat, kebijakan Negara tidak mencerminkan kedaruratan. Tidak ada “sense of crisis”. Tidak ada kepekaan, kesigapan untuk bertindak, dan empati.

MAHESA DANU

Kredit foto: twitter/@indonesiavisi

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid