Lompatan Besar Kemajuan

Ada yang menarik dari Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo di depan Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tanggal 14 Agustus 2020.

Jokowi dua kali menyebutkan “lompatan besar kemajuan” sebagai hal yang perlu dilakukan dengan menjadikan krisis sebagai momentum. Persoalannya, Presiden tidak menjelaskan lompatan besar kemajuan seperti apa yang dikehendaki.

Melihat pengalaman negeri lain, istilah “lompatan jauh ke depan” (Great Leap Forward) pernah digunakan oleh Tiongkok. Ada kemiripan dengan istilah “Lompatan Besar Kemajuan”. Saat itu Tiongkok dipimpin Mao Tsetung yang baru memenangkan kekuasaannya sembilan tahun sebelumnya.Great Leap Forward dimaksudkan memajukan produksi pertanian serta industri strategisnya.

Di luar dari berbagai kritik, baik tentang ‘kegagalan’ ataupunpengorbanan yang sangat besar, “Great Leap Forward” berhasil melipatgandakan produksi baja dan pangan Tiongkok dalam waktu relatif singkat.

Dengan istilah yang berbeda, Jepang juga pernah melakukan lompatan besar yang mentransformasi negeri tersebut dari feodalisme ke modernisasi (industrialisasi) setelah restorasi Meiji yang dimulai tahun 1868.

Sejarah perubahan besar bangsa-bangsa di dunia, termasuk dua contoh di atas, mensyaratkan perubahan sistemyang tidak sederhana. Great Leap Forward di Tiongkok mengubah struktur kepemilikan tanah, memobilisasi puluhan juta tenaga kerja ke sektor pertanian dan mengkonsentrasikan investasi negara (dari surplus produksi pertanian) pada industri dasar strategis. (Victor D. Lippit, “Great Leap Forward Reconsidered”, 1975)

Demikian halnya di Jepang,pemerintah melakukan investasi besar-besaran untuk memajukan industrinya, membeli mesin-mesin modern dan mendatangkan para ahli dari Barat, mengubah struktur kepemilikan tanah, mengganti konstitusi, serta langkah-langkah fundamental lainnya. (Shunsuke Sumikawa, “The Meiji Restoration: Root of Modern Japan”, 1999)

Hindari Ambigu

Pesan tentang lompatan besar kemajuan dari Presiden Joko Widodo seharusnya mengandung konsekuensi yang tak sederhana pula. Lompatan besar kemajuan sejatinya merupakan suatu revolusi. Seruan untuk itu berarti seruan untuk melakukan revolusi, sebuah transformasi sosial yang mendasar.

Akan berbeda halnya apabila Presiden Joko Widodo hanya sedang bermain kata-kata tanpa keseriusan atau paham terhadap apa yang diucapkan. Atau penulis sendiri yang menaruh harapan terlampau tinggi pada penggunaan istilah tersebut. Namun,istilah-istilah “lompatan besar”, “strategi besar”, “transformasi besar”, dan “masalah fundamental” yang digunakan Presiden dalam konteks Pidato Kenegaraan seharusnya bukan dimaksudkan untuk hal-hal yang kecil.

Di sini, dalam hemat penulis, Presiden Joko Widodoperlu menghindari ambiguitas antara keinginan (jika benar ingin melakukan lompatan besar kemajuan) dengan arahan-arahan kebijakan yang masih normatif, parsial, dan tidak mendasar.Menghindari ambiguitas adalah juga menghindari hiperbola atau sensasi dalam sebuah pidato kenegaraan.

Memang Dibutuhkan

Pada kenyataannya, negeri ini memang membutuhkan lompatan besar, bukan sekadar untuk mengejar ketertinggalan, tapi juga untuk menyelamatkan peradaban ratusan juta manusianya.Ancaman krisis ekonomi yang dibarengi krisis kesehatan telah dirasakan dampaknya oleh bangsa ini.

Berbagai prediksi, antara lain yang disampaikan ekonom Indef, Tauhid Ahmad, mengatakan situasi dapat memburuk, terutama bila resesi tidak dapat dibendungsehingga meningkat jadi depresi. (https://www.cnbcindonesia.com/news/20200806200436-4-178076/ancaman-ri-bukan-hanya-resesi-ekonomi-tapi-bisa-depresi)

Persoalan pangan juga telah menanti, ketika sebagian negara akan menekan ekspor komoditas pangan untuk kebutuhan cadangan dalam negerinya (peringatan FAO, April 2020), sementaraIndonesia masih tergantung impor pada beberapa jenis pangan. Ini juga berhubungan dengan produksi pertanian yang terus menurun selama dua puluh tahun terakhir bila dilihat dari kontribusi terhadap PDB.

Lebih jauh ke cakrawala, dunia di tengah pandemi sedang memunculkan perubahan yang melampaui teknis bentuk hubungan antar manusia ke ranah virtual.Arundhati Roymelukiskan pandemi sebagi portal, atau pintu gerbang,antara dunia di belakang kita dan dunia baru di depan. Umat manusia mulai memunculkan perubahan kualitatif,dari nilai lama ke nilai baru. Kompetisi digantikan oleh solidaritas,kenyamanan modal diganti keselamatan manusia, “lingkungan hidup sebagai komoditas menjadi lingkungan hidup sebagai komunitas”.

Seorang kawan pernah berpesan,dibutuhkan kecermatan untuk menyimpulkan keberadaan kita sebagai bangsa di tengah arus perubahan dunia ini, sehingga arah lompatan maju yang dikehendaki sejalan dengan kebutuhan obyektif atau semangat untuk semakin “memanusiakan manusia”.

Penyimpulan yang tegas dan obyektif atas keadaan adalah penting untuk mencegah kesalahan batu pijakan yang membuat kita tergelincir. Misalnya, keinginan menggebu kita untuk melakukan digitalisasi di segala bidang, dengan semboyan revolusi 4.0,sementara ada kenyataan bagian besar dari rakyat Indonesia masih mencurahkan sebagian besar dayanya semata untuk bertahan hidup (survive).

Banyaknya kasus murid kesulitan mengakses struktur dan infrastruktur pendidikan dalam kebijakan sekolah onlineseharusnya dapat menjadi refleksi kita bersama.

Konsensus dan Kepemimpinan

Lompatan besar membutuhkan konsepsi yang besar, dan konsepsi yang besar membutuhkan kekuatan besar untuk menjalankannya. Karena itu setiap pemikiran maju dari segenap warga Negara Republik Indonesia harus dimasukkan dalam perhitungan.

Penulis coba membayangkan suatu proses yang harus dimulai untuk musyawarah besar yang dapat melahirkan konsepsi besar tersebut. Apakah dengan Sidang Istimewa MPR yang diperluas, melibatkan berbagai unsur masyarakat, ataukah sebuah proses yang berangkat dari bawah untuk mencapai konsensus di level nasional. Apapun itu, dibutuhkan kebesaran hati untuk membuka ruang seluas-luasnya bagi bertemunya gagasan-gagasan tentang transformasi sosial di negeri tercinta ini.

Demokrasi di negeri ini,dengan sifat liberalnya, bermasalah dalam konsep maupun penerapannya. Kepemimpinan negara trias politikayang dilahirkan dari demokrasi formal liberalistik tersebut menyisakan fragmentasi yang luas di antara warga negara dan kesenjangan yang lebar antara harapan pemberi mandat dan sikap politikpemegang mandat. Sementara persatuan yang coba dibangun masih rapuh karena, meskipun membawa pengaruh, masih terbatas pada elit atau tidakmengakar.

Intinya kita butuh kepemimpinan nasional yang kuat untuk melakukan “lompatan besar kemajuan”. Kepemimpinan ini tidak mesti dalam pengertian pribadiatau seseorang, melainkan suatu platformyang bisa menyatukan, dan suatu arah yang bisa menggerakkan. Sebagaimana Bung Karno menjelaskan Pancasila sebagai dasar bernegara (yang statis)dan bintang penuntun arah atau leitstar(yang dinamis).

Presiden Joko Widodo benar, bahwa ini adalah momentum. Tapi pengenalan utuh akan keberadaan kita yang menyejarah akan menentukan arah lompatan kita; apakah semakin tercebur ke dalam kubangan kapitalisme liberal (neoliberalisme),ataukahke arah yang sama sekali berbeda. Seperti dipesankan oleh Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD), Agus Jabo Priyono, dalam pidato politik tanggal 22 Juli 2020; “…Ini momentum untuk meninggalkan alam lama yang menindas, yang rakus, curang, yang menyebabkan kemiskinan, kesenjangan, pembodohan, polarisasi, kebencian, kekerasan.”

DOMINGGUS OKTAVIANUS, Sekretaris Jenderal Partai Rakyat Demokratik (PRD)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid