AJ Susmana alias Mono–demikian ia biasa dipanggil, dalam sebuah wawancara kecil dengan redaksi Berdikari, memaparkan ide-ide dan gagasannya berkenaan dengan nasib ribuan petani dan industri rokok yang merasa terancam oleh arus deras imperialisme Internasional. Didampingi Aip Saifullah, sekretaris perkumpulan Percik Indonesia, keduanya mengungkapkan kegelisahan dan harapannya terhadap industri rokok nasional yang dituangkan dalam wawancara berikut ini.
“Imperialisme tak akan pernah memberikan kesempatan pada Negara-negara berkembang untuk maju, untuk sejajar dengan Negara-negara industri maju. Bahkan tak segan-segan, mereka hanya menjadikan Negara berkembang tersebut sebagai pasar komoditi,” ujar AJ Susmana kepada Berdikari Online.
“Indonesia sebenarnya memiliki peluang besar untuk mengembangkan industry nasional yang tangguh, misalnya industry rokok,” tambahnya.
“Coba bayangkan, bagaimana ekonomi masyarakat bisa digerakan oleh industri rokok nasional ini. Industri rokok atau tembakau merupakan salah satu industri nasional yang integrative dari hulu sampai hilir, mulai dari penyediaan input produksi (pertanian tembakau), pengolahan (pabrik rokok), hingga sektor penjualan (ekspor rokok, perdagangan dalam negeri, pedagang kaki lima, warung kelontong, dsb.) Semua dilakukan di dalam negeri oleh pelaku-pelaku usaha nasional dengan melibatkan ribuan tenaga kerja yang terserap di dalamnya,” jelasnya.
Sambil membenarkan letak kacamatnya Mono terus berujar. Pria berkacamata dengan rambut gondrong yang terus ia pelihara semenjak kuliah di Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta beberapa puluh tahun lalu ini memang seringkali dengan keras melontarkan kritikan-kritikan pedas terhadap keberpihakan pemerintah yang tak tentu arah terhadap nasib industrynasional, semisal terhadap industri rokok.
Sementara itu, Aip Saifullah menyambung dengan mengungkapkan data-data tentang luas areal tembakau yang didominasi perkebunan rakyat sebesar 97,43%. Jumlah tenaga kerja industri rokok mencapai angka 10 juta orang atau 10% dari jumlah keseluruhan tenaga kerja di tanah air. Industri ini memberikan sumbangan terhadap pendapatan negara melalui pembayaran cukai sebesar Rp 62,75 triliun (APBN 2010). Jauh lebih tinggi dibandingkan penerimaan negara dari sektor tambang yang hanya mencapai Rp 13,77 triliun. Padahal, luas lahan yang dieksploitasi tambang mencapai 42 juta hektar, sementara lahan yg diperuntukkan bagi industri tembakau hanya 198 ribu hektar. “Tembakau sungguh bermartabat, sudah sepantasnya bangsa ini berterima kasih kepadanya,” tuturnya.
Secangkir kopi coba ditawarkan kepada team redaksi Berdikari untuk melanjutkan wawancara yang mulai terasa menarik. Tak terasa dua jam lebih kami asyik mengobrol.
“Sialnya, tembakau (dan kretek) mendapat tekanan dari rezim internasional melalui Framework Convention on Tobacco Control(FCTC), perjanjian internasional yang disepakati di bawah organisasi kesehatan dunia World Health Organization (WHO), yang dimaksudkan untuk membatasi produksi, distribusi, dan penjualan tembakau di dunia dengan alasan kesehatan,” ungkap Mono sambil membuka beberapa dokumen untuk memastikan bahwa apa yang mereka bicarakan bukanlah omong kosong belaka.
“FCTC terlibat dalam kegiatan kampanye anti-rokok secara internasional dan nasional yang dibiayai oleh Industri Kesehatan dan Farmasi Internasional. Sementara target mereka adalah bagaimana melakukan penjualan produk pengganti nikotin (yang disebutNicotine Replacement Therapy/NRT) secara massal. Bahkan program ini telah dimasukan dalam satu program pencapaian pembangunan Millennium Development Goals (MDGs),” jelasnya.
“Salah satu gerakan kampanye anti-rokok yang dicetuskan World Health Organization (WHO) adalah Hari Tanpa Tembakau Sedunia yang diperingati setiap tanggal 31 Mei. Peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia selalu dimeriahkan dengan kampanye anti-rokok dalam berbagai bentuknya oleh organisasi-organisasi di bawah pengaruh “rezim kesehatan internasional” tersebut. Pengaruh “rezim kesehatan internasional” dalam gerakan anti-rokok juga sampai kepada para pengambil kebijakan. Satu setengah tahun yang lalu ditetapkan Peraturan Pemerintah nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan,” sela Aip.
“Dengan memanfaatkan sistem otonomi daerah, rezim kesehatan internasional itu membiayai lahirnya berbagai Peraturan Daerah yang substansi aturannya jelas-jelas bersumber dari pasal-pasal yang termaktub dalam FCTC. Hasilnya fenomenal, puluhan daerah di tanah air telah secara resmi mengeluarkan Perda Anti-Rokok tanpa harus mengacu pada aturan hukum nasional yang tingkatannya lebih tinggi,” tegasnya.
“Dengan dalih kesehatan, FCTC dan arah kebijakan rezim kesehatan internasional serta meluasnya gerakan kampanye anti-rokok telah menjadi “senjata pembunuh massal” bagi petani tembakau, petani cengkeh, buruh-buruh dari industri tembakau skala kecil, menengah, dan besar, dan jutaan rakyat lain yang hidupnya tergantung pada industri yang terkait dengan industri tembakau. Banyak tenaga kerja produktif yang terancam kehilangan sumber nafkah kehidupannya. Negara juga terancam kehilangan sumber penerimaan dari industri tembakau. Kesemuanya ini tidak ditanggung dan tidak digantikan oleh proyek-proyek “rezim kesehatan internasional” melalui antek-antek lokalnya dengan segala agenda anti-tembakaunya,” ujar Mono yang diamini oleh Aip.
Kriminalisasi terhadap tembakau telah mematikan usaha-usaha rokok berskala kecil dan menengah. Akibatnya, perusahaan-perusahaan multinasional semakin agresif mengambil alih pasar nasional, baik perusahaan kecil dan menengah maupun perusahaan rokok besarnasional, seperti Sampoerna diambil alih Philip Morris Internasional tahun 2005 dan Bentoel diambil alih British American Tobacco tahun 2009.
“Masalah tembakau dan rokok tidak bisa direduksi semata-mata sebagai persoalan kesehatan, tapi juga dikembalikan keberadaannya sebagai persoalan sosial-ekonomi yang melibatkan nasib jutaan pekerja dan petani tembakau di seluruh Indonesia. Di tengah wajah industri nasional yang makin terpuruk oleh globalisasi dan perdagangan bebas, tindakan untuk turut serta mematikan industri tembakau dan rokok, apalagi dengan motif mendapatkan dana internasional, adalah tindakan yang sama sekali tidak bermartabat. Kewajiban negara adalah untuk menyediakan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi setiap warganya. Perlindungan dan pembelaan kepada para petani dan pekerja industri tembakau adalah bagian dari amanat konstitusi, mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang dapat melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,”kata AJ Susmana.
Tak terasa perbincangan sore itu diselingi dengan raut muka serius dan sesekali terdengar gelak tawa dari kami. Diluar, matahari mulai menuju peraduannya. Sementara Team Redaksi Berdikari harus segera mengakhiri perbincangan sore yang menarik itu. Sebelum Team beranjak pergi, kedua aktivis Percik itu menutup pembicaraannya dengan mengharapkan para pemilih Capres dan Cawapres mendatang untuk mereka yang berwawasan luas dan berkomitment untuk melindungi dan membela Petani Tembakau Nasional dengan langkah-langkah kongkrit serta menolak logika Kerja Pengendalian Tembakau seperti yang dirumuskan oleh Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau yang justru merugikan petani tembakau nasional dan perkembangan Industri Nasional.
“Demi Industri Nasional yang tangguh, kita perlu mencari jalan dan merumuskan sendiri,” ujarnya menutup perbincangan kami.
Kelik Ismunanto
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid