Lima Alasan Mengapa Proyek Bela Negara Perlu Dihitung Ulang

Pemerintah akan mewajibkan seluruh warga negara untuk ikut program bela negara. Nantinya, seluruh warga negara, tanpa batasan umur dan profesi, wajib ikut bela negara.

“Konsep bela negara ini tidak ada batasan umur. Yang umurnya 50 tahun ke atas dan ke bawah itu disesuaikan saja porsi latihannya,” ujar Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu seperti dikutip laman detik.com, Senin (12/10/2015).

Bela negara ini wajib bagi seluruh warga negara. Tidak peduli apapun profesinya. Dari tukang ojek hingga rektor wajib ikut serta dalam program bela negara. Kalau tidak mau, warga bersangkutan disuruh angkat kaki dari Republik ini.

“Kalau tak suka bela negara di sini, tidak cinta tanah air, ya angkat kaki saja dari sini. Kita bangkit dan hancur harus bersama” ujar Ryamizard.

Menurut Mantan KSAD ini, program ini merupakan gagasan pemerintah untuk mempersiapkan rakyat menghadapi dua bentuk ancaman, yakni ancaman militer dan non-militer.

“Kalau kedaulatan kita disinggung, kalau perlu kita perang. Kalau perang, seluruh komponen harus mempertahankan negara. Itu namanya perang rakyat semesta,” ujarnya.

Disamping itu, program ini punya tujuan mulia: memupuk rasa nasionalisme di kalangan rakyat. Juga menanamkan sikap dan mental disiplin di kalangan rakyat. “Hanya bangsa yang disiplin bisa menjadi negara besar,” tegas Rymizard.

Tetapi Kemenhan menolak bila bela negara disamakan dengan wajib militer. Dalam bela negara, warga sipil bukan dilatih untuk menjadi militer, melainkan untuk memupuk rasa nasionalisme. Porsi latihan fisik pun sedikit, lebih banyak ke aspek ideologis. “Fisik cuma baris berbaris saja. Rohaninya yang kita isi dengan jiwa nasionalisme,” kata Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Pertahanan, Mayjen TNI Hartind Asrin.

Materi bela negara meliputi: pemahaman empat pilar negara, sistem pertahanan semesta, dan pengenalan alutsista TNI. Juga ditambah lima nilai cinta tanah air, sadar bangsa, rela berkorban, dan Pancasila sebagai dasar negara.

Saya setuju bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam bela negara. Tetapi, bagi saya, bentuk-bentuk bela negara harus disesuaikan dengan konteks yang dihadapi bangsa ini. Tidak melulu dirancang dengan perspektif ancaman perang.

Berikut beberapa alasan kenapa ide bela negara yang digulirkan oleh Kemenhan untuk konteks sekarang perlu dihitung ulang.

Pertama, mobilisasi warga negara dalam program semisal bela negara berpotensi diselewengkan untuk kepentingan pemerintah yang sedang berkuasa. Terutama untuk menjaga dan mengamankan kebijakan pemerintah berkuasa.

Kita tentu masih ingat kisah Pertahanan Sipil alias Hansip. Organisasi pertahanan sipil yang berdiri sejak tahun 1960-an ini diniatkan sebagai bagian dari sistim Hankamrata. Namun, mau diapa, pengabdian Hansip berbeda-beda sesuai rezimya. Di bawah Orba, Hansip menjadi alat pemerintah untuk mengontrol warga di lingkungan masing-masing.

Taruhlah sekarang. Pemerintah sekarang getol memanggil investor untuk berlomba-lomba menanamkan modalnya di Indonesia. Tentu saja, kehadiran investasi membutuhkan jaminan keamanan. Boleh dikatakan, mengamankan investasi menjadi politik pemerintah sekarang ini. Jangan sampai terjadi, kader bela negara dipakai untuk menghadapi warga yang menolak investasi.

Apalagi, sebelumnya sudah ada omongan dari Menteri Koordinasi Bidang Politik, Hukum, dan HAM (Polhukam) Luhut Binsar Pandjaitan: “ada yang bikin gaduh, saya libas seperti di Papua.” Dan sudah jamak terjadi, kehadiran investasi selalu membutuhkan jaminan stabilitas politik dan keamanan.

Kedua, banyak pengalaman yang mengajarkan bahwa nasionalisme tidak bisa tumbuh subur hanya dengan indoktrinasi. Sebaliknya, sentimen nasionalisme sangat terkait dengan interaksi antara manusia dan lingkungan sosialnya.

Sebagai misal, sangat sulit menyulut api nasionalisme di tengah minimnya keberpihakan negara terhadap rakyatnya. Banyak kebijakan negara yang merugikan rakyat. Belum lagi, tekanan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi.

Aneh juga, negara—dalam hal ini pemerintah—menuntut warganya punya jiwa nasionalisme, sementara sedikit sekali kebijakan ekonomi dan politik pemerintah yang berjiwa nasionalistik. Kita lihat, bagaimana negara ini begitu patuh dihadapan korporasi asing dan lembaga supra-nasional (IMF, Bank Dunia, WTO, dll).

Nasionalisme seperti apa yang mau diajarkan oleh negara yang justru merombak hukumnya demi kepentingan investor asing, menghapus kewajiban penggunaan bahasa Indonesia bagi pekerja asing, bergantung pada utang luar negeri, dan sedikit-sedikit mengimpor barang kebutuhan nasionalnya dari luar negeri.

Ketiga, program bela negara membutuhkan dana yang tidak sedikit. Politisi PDI Perjuangan, TB Hasanuddin, sudah membuat hitung-hitungan. Menurut dia, jika dalam kurun waktu lima tahun ke depan dilatih 50 juta orang dengan anggaran pelatihan Rp 10 juta per orang, maka dibutuhkan anggaran sekitar Rp 500 triliun.

Saya kira, jika negara punya anggaran sebesar itu, ada baiknya digunakan untuk investasi sosial dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Ada baiknya uang sebesar itu dipakai untuk membangun sekolah dan fasilitas kesehatan untuk daerah perbatasan dan daerah yang masih terpinggirkan. Ini juga sesuai dengan janji Jokowi: membangun Indonesia dari pinggiran dan desa-desa. Saya kira, ini justru mendatangkan keuntungan ganda: satu, mengurangi ketimpangan pembangunan; dan dua, membangkitkan kembali rasa bangga dan kecintaan rakyat di perbatasan/pinggiran terhadap bangsanya.

Keempat, krisis nasionalisme sebetulnya bukan terjadi di rakyat, melainkan di kalangan pejabat dan aparatus negara. Di negeri ini, banyak orang yang berlomba-lomba menjadi aparatus negara bukan untuk mengabdi pada negara dan melayani rakyat, melainkan untuk mengejar gaji dan status sosial.

Begitu juga mayoritas pejabat negara. Tidak sedikit pejabat negara yang menggunakan kekuasaan politiknya hanya untuk kepentingan pribadi. Jalan yang digunakan adalah korupsi, menggunakan kekuasaan untuk membangun kerajaan bisnis, atau menjadi pelayan kepentingan bisnis.

Bagi saya, merekalah yang mendesak untuk di-revolusi mental. Kalau memang bela negara dibutuhkan, maka sasarannya adalah pejabat dan aparatus negara. Dari prajurit rendahan hingga Jenderal; dari pegawai bisa hingga pejabat tinggi.

Kelima, selama ini aparatus negara, terutama TNI dan Polri, gagap membedakan antara politik pemerintah dan politik negara. Akibatnya, seringkali TNI dan Polri dijadikan alat pemerintah, seperti nampak sekali pada era Orde Baru.

Saya kira, negara dan pemerintah jelas berbeda. Negara adalah organisasi kekuasaan, sedangkan pemerintah hanyalah administrasi/pengelenggara kekuasaan. Negara meliputi rakyat, teritori, dan pemerintahan. Sedangkan pemerintahan hanyalah satu entitas dalam negara.

Politik pemerintah belum tentu sejalan dengan politik negara. Sebagai contoh, ambillan Republik Indonesia. Politik Republik Indonesia adalah UUD 1945. Seringkali politik pemerintah, yang berwujud kebijakan ekonomi dan politik, bertolak belakang dengan mandat UUD 1945. Di masa Orba, misalnya, kehidupan demokrasi diberangus habis-habisan. Padahal, UUD 1945 menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul.

Nah, karena salah persepsi itu, bisa jadi bela negara pun salah kaprah. Bisa-bisa bela negara jadi bela pemerintah.

Mahesa Danu

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid