Liberalisasi Hilir Migas Dibalik Kenaikan Harga BBM

Pemerintah akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar Rp 1.500 per liter mulai tanggal 1 April 2012.  Sesuai ‘tradisi’, alasan yang dikemukakan pemerintah terkait dengan kebijakan  tersebut adalah penghematan anggaran negara yang dirasakan terlalu ‘boros’ dalam mendanai subsidi.   Sejak jauh hari, Wakil Menteri  Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Widjoyono Partowidago menyatakan bahwa penghematan anggaran subsidi BBM  akan memajukan pembangunan nasional (Kompas.Com, 11/1/2012).

Selain itu, kenaikan harga minyak dunia juga dijadikan alasan oleh pemerintah untuk menaikkan harga BBM.  Kenaikan harga minyak memang tampak dari pergerakan harga di pusat bursa komoditi internasional New York, NYMEX (New York Exchange Mercantile), ketika harga minyak naik dari kisaran harga $70 per barel pada Oktober 2011 menjadi lebih dari $106 per barel pada Maret 2012.

Konflik antara Iran dan dunia Barat yang sempat diwarnai dengan ancaman penutupan Selat Hormuz oleh Iran juga dijadikan salah satu faktor penguat argumentasi pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Benarkah hanya alasan-alasan itu yang melandasi munculnya kebijakan pengurangan subsidi BBM oleh pemerintah?

Kepentingan Ritel Asing

Kebijakan kenaikan harga BBM ini sebenarnya merupakan ‘konversi’ dari kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi yang direncanakan pemerintah sejak awal tahun ini. Serupa dengan kebijakan kenaikan BBM, program pembatasan BBM bersubsidi juga menggunakan basis argumentasi yang sama, yakni  penghematan anggaran subsidi.

Alasan penghematan anggaran selalu digunakan pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan terkait konsumsi minyak oleh publik. Dalam kebijakan kenaikan harga BBM di tahun ini, misalnya, pemerintah beralasan jika subsidi energi, khususnya BBM, pada tahun 2011 telah melampaui target. Target penghematan subsidi BBM pada tahun 2011 adalah 3,2 juta kilo liter, yang senilai dengan  Rp 5,84 triliun. Namun kenyataannya, subsidi di tahun 2011 justru 3,3 persen lebih besar dari batas yang telah ditentukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P)  2011.

Subsidi energi (BBM dan listrik) pun telah  meningkat 2 kali lipat dari Rp 140 triliun di tahun 2010 menjadi sekitar Rp 390 triliun pada tahun 2011,  meningkat  Rp 250 triliun dalam jangka waktu dua tahun. Hal ini dianggap sebagai ‘pemborosan’ oleh pemerintah. Argumentasi ‘standar’ yang sering digunakan oleh pemerintah dan para ekonom ber’garis’ ideologi Neo-Liberal.

Sementara itu, bila harga BBM bersubsidi/premium dinaikkan, konsekuensinya  ialah ditetapkannya harga premium hampir mendekati harga pasar.  Dengan kenyataan ini, maka yang diuntungkan adalah pihak yang ‘bermain’ di bisnis ritel BBM. Lalu, bukankah Pertamina selaku pelaku bisnis ritel milik negara yang akan diuntungkan?

Penting untuk dicatat, bahwasanya kini Pertamina bukanlah satu-satunya pelaku bisnis di  sektor hilir  minyak Indonesia. Sejak dikeluarkannya Undang-undang tentang Minyak dan Gas (UU Migas) No.22 tahun 2001, pihak swasta (termasuk asing) diberi keleluasaan untuk berkiprah dalam bisnis migas dari hulu ke hilir. Dalam pasal 9 ayat 1 lah peluang itu diberikan, yang berbunyi sebagai berikut :

Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir Migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh :

a. badan usaha milik negara;

b. badan usaha milik daerah;

c. koperasi; usaha kecil;

d. badan usaha swasta.

Pasal inilah yang mengakhiri monopoli Pertamina dalam sektor hilir migas sekaligus juga menandai dimulainya era liberalisasi hilir migas di Indonesia.

Sebagai dampak dari dimulainya ‘era baru’ itu, tiga korporasi asing telah menjadi ‘pemain’ resmi dalam bisnis hilir migas sejak tahun 2005. Ketiga perusahaan itu adalah Shell (Belanda), Petronas (Malaysia) dan Total (Perancis). Kini, saluran pengisian bahan bakar umum (SPBU) milik ketiga perusahaan asing itu telah ‘bertebaran’ di wilayah Jabodetabek, dan akan merambah ke kota-kota lainnya di Jawa dan Bali. Shell misalnya, kini telah membuka 35 SPBU di Jabodetabek dan Surabaya. Sedangkan Petronas telah memiliki 20 SPBU di Jabodetabek. Sedangkan untuk Total yang keberadaannya relatif baru dibandingkan kedua perusahaan tersebut saat ini  baru memiliki 5 SPBU di Jabodetabek. (VivaNews.Com,2010).

Namun, bukan hanya ketiga perusahaan itu yang akan ‘bermain’ dalam bisnis hilir migas Indonesia.  Pasca pemberlakuan UU Migas No.22/2001 telah  ada sekitar  105 perusahaan migas asing yang memperoleh izin mendirikan SPBU. Masing-masing perusahaan diberi ‘jatah’ membangun sekitar 20 ribu SPBU di seluruh Indonesia! (Majalah Trust, edisi 11/2004). Kenyataannya, hingga kini baru Shell, Petronas dan Total yang membuka SPBU di Republik ini.

Jenis BBM yang dijual oleh SPBU-SPBU milik ketiga perusahaan tersebut didominasi oleh bensin oktan tinggi yang sejenis dengan Pertamax. Shell mengandalkan bensin beroktan 92 dan 95 sebagai komoditi utamanya. Begitu juga Petronas. ‘Pertamina’nya Malaysia ini menjual bensin beroktan 92 dan 95 yang dinamakan Primax 92 dan Primax 95. Sementara Total memperdagangkan BBM bermerk Performance 92 dan Performance 95. Keduanya merupakan bensin beroktan 92 dan 95.

Selama ini, mereka memang belum  menjual bensin sejenis Premium, kecuali Solar yang bisa didapat di bebetapa SPBU milik Shell dan Petronas. Hal ini dikarenakan harga bensin jenis Premium masih disubsidi oleh pemerintah sehingga dianggap tidak  profitable bagi mereka. Kini, setelah harga BBM Premium hampir disetarakan dengan harga pasar oleh pemerintah, tentu mereka tidak  akan melepaskan kesempatan yang ‘menggiurkan’ ini.

Apalagi bila mengingat kesiapan korporasi minyak asing yang mengandalkan pihak  trader dari luar negeri (terutama Singapura) sebagai penyuplai minyak bagi mereka. Ditambah lagi dengan begitu mudahnya   perusahaan-perusahaan  asing  tersebut untuk ‘bermain’ dalam bisnis ritel negeri ini tanpa disertai persyaratan tertentu seperti kewajiban untuk berinvestasi dalam pembangunan kilang minyak. Tentu ini akan berpengaruh pada harga penjualan mereka yang bisa ‘bersaing’ dengan harga premium milik Pertamina.

Pesanan  Asing

Korelasi antara kenaikan harga BBM dengan kepentingan asing memang kentara, khususnya bila meninjau keterkaitan antara kebijakan ini dengan liberalisasi sektor ritel migas.  Hal ini sebetulnya tidak mengejutkan karena kebijakan ini  sangat  terkait dengan  UU Migas No.22/2001 yang mengamanatkan liberalisasi hilir migas. Sementara, kelahiran UU Migas itu sendiri sangat kental didominasi peranan lembaga  asing.

Bukan rahasia lagi, bila pada tahun  2001, lembaga donor milik pemerintah Amerika,  USAID memberikan donasi  senilai 4 juta dolar AS (Rp 40 miliar) untuk membantu Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan ‘reformasi’ sektor migas . Hal itu diakui sendiri dalam dokumen mereka. Dokumen yang sama juga  menyebutkan bila  pada 2001 USAID  merencanakan menyuplai dana senilai  850 ribu dolar AS atau  Rp 8,5 miliar untuk menyokong lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan beberapa universitas dalam melakukan kajian mengenai pencabutan subsidi BBM dan bensin bertimbal.

Sebagian dari dana ‘bantuan’ itu mengalir dalam proses perumusan UU No.22/2001 yang hasilnya  teramat liberal. Apalagi sebelum Mahkamah  Konstitusi (MK) membatalkan pasal  28 ayat 2 dan 3 tentang penyerahan harga pada  mekanisme pasar di tahun 2004. Meskipun begitu, pemerintah tetap ‘bertekad’ untuk menetapkan harga sesuai dengan harga pasar secara perlahan.

Seperti yang dinyatakan ekonom Ichsanudin Noorsy,  kebijakan ‘penyesuaian’ harga dengan mekanisme pasar tetap menjadi program pemerintah sesuai dengan  instruksi lembaga-lembaga donor semacam Bank Dunia. Hal itu termanifestasi dalam Blue Print Badan Pengelola Migas (BP Migas) tahun  2004-2020. Berdasarkan blue print tersebut, tahun  2010 ditetapkan sebagai tahapan  pasar bebas dalam industri migas nasional, khususnya di level harga (MetroTV News.com, 9/3/2012).

Jadi, jelaslah bila kebijakan kenaikan harga BBM  adalah ‘pesanan’ pihak asing yang ingin mendominasi bisnis ritel BBM di Indonesia. Alasan  ‘mulia’ dibalik kebijakan ini, seperti penghematan anggaran  tampak tak lebih dari penyesatan belaka, karena APBN justru lebih terbebani oleh utang negara. Berdasarkan data yang dikeluarkan Kementerian Keuangan per 31 Desember 2010, APBN telah dibebani cicilan dan bunga  utang pemerintah hingga mencapai 1.676 triliun. Jumlah itu setara dengan 25% dari alokasi APBN. Dan hal ini tidak pernah di’utak-atik’ oleh pemerintah.

Hal lainnya yang juga krusial adalah dominasi korporasi asing atas sektor hulu indutsri minyak nasional. Kini, sekitar 80% industri hulu minyak Indonesia dikuasai perusahaan asing yang bekerja sama dengan negara melalui skema  production sharing contract (PSC). Dominasi asing ini semakin massif setelah  pemerintah melelang 15 blok migas kepada  10 perusahaan asing akhir tahun lalu (Warta Ekonomi, 9-22 Januari 2012). 15 blok migas tersebut memiliki  kapasitas produksi 1,15 miliar standar kubik per hari gas alam serta 35.200  barel minyak bumi per hari. Ketertundukan pemerintah pada pihak asing ini harus dibayar mahal oleh rakyat dengan pengurangan subsidi BBM. Ini adalah bentuk ‘kesesatan’ lainnya dari perilaku pemerintah dalam mengelola industri minyak nasional.

Berdasarkan ‘kesesatan-kesesatan’ tersebut, maka kebijakan kenaikan harga BBM sebagai bagian dari upaya  liberalisasi hilir migas ini harus ditolak. Kebijakan ini hanyalah ‘lampu hijau’ bagi pihak asing untuk meraup keuntungan dari industri migas nasional. Disamping itu, kampanye penolakan kenaikan harga BBM itu harus dibarengi dengan tuntutan pencabutan  UU Migas No.22/2001 yang berhaluan liberal. Sebab UU inilah yang menjadi akar dari problem pokok yang ‘membelit’ industri migas negeri ini, yakni dominasi asing dari sektor hulu hingga hilir.

HISKI DARMAYANA

Penulis adalah kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang dan saat ini bekerja di media berita tambang dan energi, Petromindo.com*)

(Tulisan ini adalah opini pribadi penulis)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid